Kegitan pertambangan di Kalimantan Timur ternyata tidak memberikan dampak peningkatan perekonomian yang berarti bagi masyarakat setempat. Padahal sepanjang tahun 2018 terdapat 3.025 IUP (Ijin Usaha Pertambangan Batubara) yang telah di terbitkan oleh pemerintah. Seluruh perizinan tersebut telah mengkooptasi sekitar 70% dari total daratan Kalimantan Timur dimana 34,3 % daratan di Kalimantan Timur telah menjadi area pertambangan. Dari seluruh izin yang telah diterbitkan oleh pemerintah, setidaknya ada 710 IUP yang masih bermasalah atau berstatus non CnC (Clear and Clear). Izin yang non CnC merupakan izin yang bermasalah secara administrasi atau tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung, dan tidak memenuhi kewajiban keuangan dan lingkungan yaitu reklamasi dan pasca tambang. Adanya pertambangan batubara di Kalimantan Timur malah memberikan dampak negative bagi masyarakat karena sering kali terjadi konflik dan mengganggu kegiatan perekomonian masyarakat.

Permasalahan yang terjadi di Kalimantan Timur setelah dibukanya area pertambangan salah satunya adalah konflik. Setelah adanya pertambangan batubara seringkali terjadi konflik antara perusahaan tambang dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, dan masyarakat dengan satwa liar. Terjadinya konflik antara perusahaan tambang dengan masyarakat disebabkan karena adanya perusahaan tambang yang mengganggu kegiatan perekonomian yang sebelumnya masyarakat di kawasan tambang merupakan petani. Masyarakat yang sebelumnya adalah petani merasa dirugikan karena system pengairan pesawahan mereka terganggu. Masyarakat yang pemukimannya berada di kawasan tambang juga terkena dampak secara langsung dari kegiatan pertambangan seperti peningkatan suhu udara karena kawasan yang sebelumnya merupakan hutan kini menjadi tempat galian terbuka, retaknya sebagian rumah warga karena terkena dampak peledakan dari dalam kawasan tambang, dan berkurangnya sumber pencaharian warga karena dampak dari eksploitasi perusahaan pertambangan.

Kawasan pertambangan tidak hanya mengakibatkan kerugian material dan dari aspek lingkungan saja, tapi juga korban jiwa. Setidaknya sepanjang tahun 2011 – 2018 ada 29 korban yang tercatat meninggal di area pertambangan. Mirisnya 28 diantaranya adalah anak-anak. Dekatnya kawasan tambang dengan perkampungan warga dan tidak adanya pagar pembatas diantara keduanya membuat warga sekitar pertambangan dengan leluasa keluar masuk area galian batubara. Apalagi anak-anak dengan kepolosannya yang tertarik melihat alat berat lebih dekat untuk masuk ke area tambang yang dapat berakibat fatal. Korban jiwa yang meninggal di area pertambangan biasanya tenggelam di danau bekas galian yang telah terisi air karena hujan.

Masifnya kegiatan pertambangan di Kalimantan Timur memang menjadi tanda Tanya besar. Bagaimana tidak, pemerintah secara jorjoran menerbitkan banyak sekali IUP kepada perusahaan pertambangan yang jelas-jelas tidak memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar dan secara jelas malah merusak lingkungan. Yang menjadi masalah sebenarnya peran dari pemerintah itu sendiri, dalam hal ini Dinas terkait yang menerbitkan izin pertambangan dan tidak melaksanakan kewajibannya seperti mengawasi kegiatan pertambangan dengan semestinya yang seolah-olah tidak mau bertanggung jawab setelah menerbitkan izin tersebut. Di kota Samarinda sendiri, setidaknya ada 232 lubang bekas tambang yang dibiarkan menganga begitu saja tanpa ada upaya rehabilitasi dan reklamasi pasca tambang. Perusahaan dibiarkan tidak memenuhi kewajibannya melakukan rehabilitasi lubang bekas tambang tanpa ada sangsi atau tindak lanjut berupa pencabutan IUP kepada perusahaan karena secara jelas melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan sekali lagi pertanyaan yang sangat mendasar adalah dimana peran pemerintah?.

Tidak hadirnya Pemerintah juga terlihat dari aspek partisipatif masyarakat Kalimantan Timur dalam kegiatan pertambangan. Pemberian izin usaha pertambangan batubara sepertinya hanya didasari atas peningkatan pendapatan daerah dari sektor pajak dari kegiatan pertambangan tersebut. Dari pernyataan Direktur Pokja 30 Samarinda, Carolus Tuah di Kota Samarinda dalam acara diskusi “Samarinda Bergerak Beraksi Untuk Iklim, Beralih Dari Energi Kotor Ke Energi Terbarukan!” pada Sabtu, 8 September 2018. Daya serap tenaga kerja yang berasal dari Kalimantan Timur hanya sebesar 5% , sisanya dari luar daerah dan tenaga asing. Artinya, adanya kegiatan pertambangan di Kalimatan Timur memang tidak memihak kepada rakyat Kaltim sendiri. Padahal adanya pertambangan batubara secara jelas merenggut lahan produktif yang ada di sana. Pemerintah yang menerbitkan IUP di lahan produktif milik warga harusnya dapat secara bijaksana membuat sebuah regulasi yang mengatur tentang partisipasi masyarakat lokal sebagai tenaga kerja di perusahaan pertambangan sebagai tanggung jawab dari pemerintah sebagai lembaga yang mengeluarkan izin usaha pertambangan.

Adanya kegiatan pertambangan batubara juga tidak boleh dipandang sebelah mata. Seperti melihat dari segi negatifnya saja. Energy yang bersumber dari batubara sangat dibutuhkan di era modern ini dan memberikan manfaat yang luar biasa bagi banyak orang. Batubara merupakan sumber energy yang dimanfaatkan oleh PLN (Pembangkit Listrik Negara) untuk menghasilkan listrik. Memang ada pembangkit listrik dari energy yang lain, tetapi pembangkit listrik yang sumber energinya dari batubara merupakan yang terbesar. Hanya saja yang terjadi di Kalimantan Timur memang perlu menjadi sorotan. Pasalnya dari ribuan IUP yang diterbitkan dan luas wilayah yang diberikan izin untuk dibuka menjadi area pertambangan mencapai 70% yang tidak memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat setempat. Dan yang menjadi ironi dari semua itu ialah hasil pertambangan yang lebih banyak dieksport ke luar negeri ketimbang dimanfaatkan untuk negerinya sendiri.

Sebenarnya hukum pertambangan mineral dan batubara yang ada di Indonesia bersifat administratif, hal tersebut dikarenakan pemerintah maupun pemerintah daerah mempunyai kedudukan yang lebih tinggi ketimbang pemegang IPR (Izin Pertambangan Rakyat), IUP (Izin Usaha Pertambangan), dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus). Dalam hal ini pemegang izin usaha pertambangan harus tunduk dan memenuhi persyaratan sesuai hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah dapat menolak izin yang diajukan oleh perusahaan untuk penerbitan semua bentuk izin usaha pertambangan jika pihak yang mengajukan izin tidak memenuhi syarat secara administratif. Di samping itu, pemerintah juga dapat membatalkan segala bentuk izin usaha pertambangan yang masih berlaku secara sepihak, apabila pemegang IPR, IUP, dan IUPK tidak mematuhi dan mentaati segala ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam subtansi izin dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari banyaknya pelanggaran yang terjadi sudah seharusnya pemerintah bertindak tegas dalam menyikapi masalah ini. Kita tidak mau Kalimantan yang menyandang gelar sebagai paru-paru dunia di 10 / 20 tahun lagi terkena penyakit paru-paru kronis yang berakibat hilangnya fungsi untuk menjaga keseimbangan kehidupan. Selamatkan Kalimantan dari tambang, Selamatkan Kehidupan !!!.

Penulis: Yunus Hidayat