Oleh Olivia Broome pada 18 November 2016
Hari Juli yang panas dan lembab di Sambutan, Indonesia. Junaidi, saudara laki-lakinya Ramadhani dan tetangga mereka Miftahul berlari dan berteriak ketika mereka berpacu di jalan tanah di lubang tambang yang berputar. Setiap anak berusaha menjadi yang pertama untuk mencapai genangan air pirus yang menggoda di dasar tambang. Mereka tiba di tepi air dan melompat untuk mendinginkan, saling percikan dan berenang ke tengah-tengah badan air yang luas.
Berjam-jam berlalu ketika anak-anak bermain di lubang yang ditinggalkan. Ketika malam tiba, ibu mereka menunggu mereka kembali tepat waktu untuk makan malam. Tanpa tanda-tanda mereka, dia dengan cemas memperingatkan tetangganya dan pihak berwenang. Pagi-pagi keesokan paginya mayat-mayat anak-anak ditemukan, mengambang di kedalaman biru dari kolam yang ditinggalkan.
Kisah-kisah seperti ini terlalu umum di wilayah Kalimantan Timur. Sejak 2011, 26 kematian anak-anak telah dilaporkan di sekitar Samarinda di mana sebagian besar lubang penambangan terkonsentrasi. Usia mereka berkisar antara 3 hingga 17 tahun.
Bagaimana banyak lubang tambang muncul? Bagaimana tanggapan organisasi masyarakat sipil? Selengkapnya.
In Media, Opinion | PWYP Indonesia | November 30th, 2016