Kalimantan timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang melimpah, mulai dari daratan hingga lautan, hutan salah satunya. Hampir seluruh bagian dari provinsi ini terdiri dari hutan tropis. Hutan inilah yang menjadi sumber kehidupan bagi 500 juta penduduk yang tinggal di dalamnya. Namun, di sisi lain Kalimantan timur juga memiliki kekayaan alam mineral yang melimpah yang terdapat di dalam perut bumi Kalimantan yaitu Batu Bara. Saat ini, pertambangan menjadi industri vital yang menjadi poros dalam dinamika kehidupan masyarakat di Kalimantan Timur dan memberikan kontribusi paling tinggi dibandingkan sektor lainnya sehingga pertambangan menjadi sektor sumber penyediaan bahan baku energi serta pendapatan yang menopang perekonomian bagi provinsi ini.

Kota Samarinda merupakan ibukota provinsi Kalimantan Timur yang lebih dari 71% wilayahnya sudah ditetapkan sebagai Wilayah Izin Usaha Tambang (WIUP) dari total luas sebesar 718 km2 dan sampai saat ini tercatat sebanyak 16 perusahaan tambang masih aktif (memiliki izin) yang beroperasi di Samarinda. Begitu pula dengan Kabupaten Kutai Kartanegara yang merupakan Kabupaten yang letak geografisnya mengilingi Kota Samarinda. Pertambangan batu bara merupakan sektor utama pendapatan daerah kabupaten ini. Maka tidak heran terdapat kurang lebih sebanyak 250 tambang beroperasi di kabupaten ini. Pemandangan aktivitas pertambangan, lubang-lubang bekas tambang dan kapal tongkang yang hilir mudik di sepanjang sungai mahakam membawa hasil kekayaan alam bukan pemandangan yang asing lagi di mata masyarakat. Di samping tingginya kontribusi pertambangan dalam sektor perekonomian daerah, hal ini justru berbanding terbalik dengan kerusakan yang ditimbulkannya. Konsekuensi terhadap kerusakan lingkungan selalu ditemukan dalam setiap langkah dalam siklus produksi tambang. Meskipun sebagian golongan masyarakat merasakan keuntungan dari adanya tambang seperti adanya lapangan pekerjaan, membuka peluang usaha kecil bagi masyarakat sekitar dan lain sebagainya. Namun bagaimana nasib masyarakat kecil lainnya yang hidup dikelilingi dengan tambang?

Desa Mulawarman terletak di Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara – Kaltim. Desa ini terdiri dari 3 dusun dan ditinggali kurang lebih 400 kepala keluarga. Namun saat ini beberapa warganya sudah pergi meninggalkan desa ini dan pindah ke wilayah lain. Mirisnya salah satu dusun di desa ini sudah hilang karna diambil alih oleh lahan pertambangan. Sebagian besar warga terpaksa harus menjual lahan dan rumah mereka karna tidak ada pilihan lain untuk bertahan. Mereka mengatakan bahwa lahan mereka sudah tidak bisa lagi ditanami padi bahkan air sungai pun sudah tidak sejernih dulu lagi, kini air nya keruh seperti kopi dan bahkan jika digunakan untuk mengairi sawah pun kualitas padi jadi tidak baik. “Ya mau bagaimana lagi mas, kalo kita nda jual susah juga, habis kita dikelilingin, mau lewat mana kita kalau mau ke lahan, ya mending di jual aja” kata Sulami salah satu warga di Dusun Karya Bakti. Penawaran harga beli lahan dilakukan oleh perusahaan sesuai dengan kondisi cadangan batu bara di dalam tanah. Jika lahan tersebut menyimpan banyak cadangan batu bara dengan kualitas baik maka perusahan tidak sungkan untuk memberikan penawaran harga tinggi untuk membelinya. “biasanya itu paling sedikit 1 hektar 100 juta” kata Sulami. Berbagai penawaran dilakukan oleh perusahan kepada warga seperti akan memberikan lapangan pekerjaan bagi warga sekitar, namun beberapa warga mengakui bahwa hal itu hanya janji dan tidak seperti yang diharapkan oleh warga.

Aktifitas pertambangan begitu sangat dekat dengan rumah warga, hanya dengan membuka pintu belakang rumah, warga bisa menyaksikan bagaimana lahan dan hutan yang dulu merupakan tempat mereka mencari nafkah kini berubah menjadi lubang hitam yang dalam dengan pemandangan truk dan eksavator yang terlihat layaknya mainan anak anak. Suara bising dari mesin pun sudah tidak asing lagi terdengar ditelinga mereka, bahkan suara dentuman dan ledakan ketika pekerja melakukan blasting juga sudah biasa bagi mereka. “Biasanya itu jam-jam 2-an mereka blasting, suaranya nyaring kaya bom, tanah ini begetar sampe mas, kaya gempa.” Kata Ibu Sri. Namun terkadang mereka juga merasa terganggu dengan aktifitas blasting tersebut karena pekerja juga sering melakukannya di malam hari sehingga mengganggu waktu istirahat mereka. Tak jarang ketika blasting dilakukan, beberapa rumah warga mengalami kerusakan ringan seperti kaca jendela pecah, tembok retak dan genting roboh. Pihak perusahaan melalui kantor desa melakukan survey jika terjadi kerusakan rumah warga dan membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan yang ada. Namun beberapa masyarakat mengakui bahwa terkadang pihak perusahaan tidak membayar ganti rugi tersebut. “pernah waktu itu kaca saya pecah mas, terus disurvey tapi gak ada juga dikasih duitnya katanya mau ganti tapi gak ada sampe sekarang mana.” Kata Mba Pipit.

Tidak hanya itu, warga pun juga sudah terbiasa dengan paparan debu dari aktifitas tambang di belakang rumah mereka, seolah tidak memperdulikan dampak kesehatan yang dirasakan mereka pun hanya pasrah dengan keadaan. Ijah salah satunya. Ijah masih berumur 5 tahun dan ia tinggal bersama orang tuanya tepat di tepi tambang batu bara. Sehingga setiap hari Ijah terpapar oleh debu selama 24 jam. “Dia ini suka sesak kalo malam mas, iya, bunyi juga nafasnya kaya ngik ngik gitu” Kata Ibu Sri orang tua Ijah.

Dampak kesehatan yang dirasakan oleh Ijah mulai terasa sejak Ijah masih bayi. Tidak hanya itu, orang tua ijah juga sering merasakan gatal-gatal di tangannya jika ia terpaksa harus menggunakan air sungai terdekat untuk mencuci. Adanya kontaminasi logam berat pada tanah, udara dan air di area sekitar tambang merupakan faktor timbulnya dampak kesehatan pada warga sekitar. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Juniah, dkk (2013) memperlihatkan bahwa terdapat gangguan kesehatan yang ada di masyarakat sekitar area tambang yaitu Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), gangguan kulit, diare, mual, pusing. Bahkan dalam jangka panjang, kontaminasi logam berat ini akan berdampak pada kesehatan reproduksi, bayi lahir cacat, premature, kanker atau bahkan kematian. Meski demkian Ibu Sri dan keluarga hanya pasrah dengan keadaan sekarang karna ia merasa hanya pendatang di wilayah tersebut. Dulunya dibelakang rumah mereka adalah lahan yang mereka tanami padi, namun sekarang mereka harus menyewa lahan di tempat lain untuk bertani. Dan bahkan tidak lama lagi mereka harus pindah ke tempat yang lain karena rumah mereka sudah termasuk wilayah pembebasan lahan tambang.

Aparat desa yang kami temui mengatakan bahwa kepala desa sudah menghadap ke bupati untuk mempertanyakan nasib warganya. Dan ada dua solusi yang ditawarkan yaitu seluruh warga desa akan di relokasi ke wilayah lain atau perusahaan melakukan reklamasi pasca tambang. Solusi tersebut dapat di terima oleh masyarakat asalkan masyarakat tidak direlokasi ke luar wilayah Kalimantan. Dengan begitu, besar kemungkinan bahwa tidak lama lagi Desa Mulawarman ini akan hilang dan diambil alih oleh pertambangan.

Kontribusi sektor pertambangan terhadap perekonomian memang sangat tinggi, namun hal tersebut berbanding terbalik dengan dampak yang ditimbulkannya. Sifat siklis pertambangan dan ketidakpastian dari umur aktifitasnya dapat menimbulkan implikasi serius terhadap masyarakat sekitar. Hal tersebut menghadirkan tantangan bagi pemerintah untuk merespon secara efisien dan efektif sesuai kebutuhan masyarakat. Untuk itu diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang kesehatan dan konteks kesejahteraan masyarakat yang menetap di sekitar area pertambangan. Pemahaman ini akan memungkinkan masyarakat dan layanan kesehatan untuk mempersiapkan dampak sosial, lingkungan dan ekonomi akibat aktivitas pertambangan. Terlebih sangat banyak sekali aktivitas pertambangan yang diduga tidak berijin yang beroperasi di Kalimantan Timur, sehingga membutuhkan penertiban dan penegakan hukum oleh pemerintah serta aparat lainnya yang terkait.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ike Anggraini (2018) kepada masyarakat yang tinggal di area tambang di Kalimantan Timur menyebutkan bahwa sebesar 79% masyarakat berusaha untuk menghadapi dan hidup dengan kerusakan lingkungan dan polusi akibat aktifitas tambang, namun sebesar 75% masyarakat menerima dan pasrah dengan keadaan yang terjadi. Selain itu, beberapa masyarakat juga tidak tinggal diam dengan keadaan yang terjadi. Sebanyak 53% masyarakat berfikir untuk mencari solusi dan strategi untuk menyelesaikan masalah polusi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya diam dan menyaksikan pertunjukkan yang terjadi di Kalimantan, namun perlu strategi yang tepat untuk mengatasi masalah kerusakan lingkungan akibat dari aktifitas pertambangan. Tentunya pemerintah adalah kunci utama dalam mengatasi permasalahan ini. Sudah saatnya kita beralih dari energi kotor ke energi yang bersih dan terbarukan. (YXA Camp, 2018)

Penulis: Firmansyah


Bagikan