Pengendalian produksi batu bara bisa menjadi solusi untuk menjaga harga komoditas tersebut. Namun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan proses penentuan target produksi batu bara nasional kompleks. Pemerintah tidak dapat begitu saja memangkas atau membatasi produksi batu bara yang terus meningkat tiap tahunnya.

Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Sri Raharjo menjelaskan pelaku usaha di sektor batu bara pun sudah memiliki studi kelayakan (feasibility study) untuk mengajukan jumlah produksi dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) kepada Kementerian ESDM.

Selain itu, pelaku usaha juga telah memenuhi syarat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Jika pemerintah memangkas atau membatasi produksi batu bara, ditakutkan hal tersebut akan mengganggu investasi di sektor ini.

“Jadi agak sulit bagi pemerintah untuk menetapkan atau memotong tingkat produksinya. Memang mestinya ke depan (target produksi batu bara) harus lebih realistis,” katanya saat ditemui di Jakarta, Kamis (18/7).

Dia menambahkan, selama ini batu bara sebagai komoditas ekspor juga menyumbang devisa ketika negara kekurangan devisa. Walaupun harus diakui pemerintah tidak dapat terus menerus mengandalkan sektor ini sebagai penghasil devisa. “Sehingga diharapkan target produksi dalam RPJMN 2020-2024 yang dirancang oleh Bappenas bisa lebih realistis,” ujarnya.

Untuk tahun ini Kementerian ESDM telah mematok target produksi batu bara sebesar 489 juta ton, dengan realisasi produksi batu bara tahun lalu mencapai 510 juta ton. Padahal dalam RPJMN 2015-2019 produksi batu bara hanya ditargetkan sebesar 400 juta ton.

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah mengatakan komoditas yang diekspor ke luar negeri harus menyesuikan dengan kerangka besar bersama dari berbagai macam sektor. Termasuk perijinan tambang yang diberikan kepada pemerintah kabupaten yang dinilai sudah terlalu banyak.

Hal tersebut turut berkontribusi meningkatkan produksi batu bara. “Koordinasi ini tidak jalan antar kementerian dan lembaga. Jadi implementasinya tidak searah,” ujar Maryati. (Baca: Harga Acuan Anjlok, Ekspor Batu Bara Semester I Turun 4,98%) Sementara itu, Manajer Advokasi dan Pengembangan Program PWYP Indonesia Aryanto Nugroho mengatakan bahwa pemerintah harus membicarakan kebijakan strategis yang akan diambil untuk menentukan komoditas tersebut akan dimanfaatkan di dalam negeri, atau sebagai komoditas ekspor.

“Pastikan dulu komoditas itu untuk diekspor atau jadi komoditas pembangunan nasional. Kalau mau hilirisasi, ekspornya harus dikorbankan,” kata dia.

Sumber: Katadata