db3cd6af-ff1f-4f5f-b073-87cee16c421c_169-1

Jakarta – Sejak dikeluarkannya UU Nomor 4 Tahun 2009, pemerintah memberikan tenggat waktu perusahaan-perusahaan tambang melakukan hilirisasi dengan kewajiban membangun smelter.

Namun, sejumlah perusahaan tambang, baik pemegang Kontrak Karya (KK) maupun Izin Usaha Pertambangan (IUP), belum juga memenuhi kewajiban membangun pabrik pengolahan mineral tersebut.

Ketua Asosiasi Smelter dan Pengolahan Mineral Indonesia, Raden Sukhyar mengungkapkan, masalah yang paling dominan menjadi batu sandungan pengusaha smelter yakni ketiadaan listrik yang seharusnya disediakan pemerintah.

“Masalah energi listrik ini yang paling berat. Itu membuat perusahaan terpaksa bangun pembangkit sendiri, makanya itu yang buat susah. Harusnya kita investasinya cukup US$ 1 miliar, karena harus bangun pembangkit sendiri keluar US$ 2 miliar, itu kan yang bikin lama, harus cari dana lagi,” terang Sukhyar dalam diskusi Tarik Ulur Kebijakan Ekspor Mineral Mentah di Restoran Tjikini Lima, Jakarta, Minggu (25/9/2016).

Namun demikian, meski tak banyak dibantu dalam ketersediaan listrik, plus infrastruktur yang kurang, nyatanya investor tetap bisa membangun smelter.

“Saya juga apresiasi investor yang sudah mau bangun. Sebenarnya ada bagian andil pemerintah dalam support energi dan infrastruktur. Tapi tanpa itu saja kita sudah ada progres yang tinggi,” jelas Sukhyar.

Data Kementerian ESDM per September 2016, dari sebanyak 84 IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang ada di pusat, sudah ada 64 smelter yang saat ini tengah dibangun.

Dengan smelter terbanyak berasal dari perusahaan tambang nikel sebanyak 34 smelter, zirkon 11 smelter, bauksit 7 smelter, besi 5 smelter, seng 4 smelter, kaolin 4 smelter, dan mangan 2 smelter.

Keseriusan investor yang sudah membangun smelter inilah, yang menurut Sukhyar, jadi bukti kepercayaan kepada pemerintah. Sehingga tak semestinya dirusak dengan aturan yang tidak konsisten, seperti rencana membuka kembali ekspor mineral mentah (ore).

Hambatan pembangunan smelter lainnya, kata Sukhyar, yakni tak semua perusahaan pemegang IUP bisa membangun smelter. Kondisi inilah yang seharusnya difasilitasi pemerintah agar perusahaan tambang besar yang membangun smelter, bisa menyerap ore dari perusahaan-perusahaan kecil tersebut.

“Kan banyak perusahaan kecil-kecil nggak cukup modal bangun smelter tapi produksi bijinya besar. Yang bisa bangun smelter hanya yang gede-gede,” tutur Sukhyar.

“Meski bukan keharusan, tugas pemerintah bisa collect secara bersama-sama IUP-IUP yang nggak mampu bangun smelter. Saat ini ada isu smelter nggak dapat pasokan biji, karena rupanya ada ketidaksepahaman dalam masalah harga,” imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Publish What You Pay (PWYP), Maryati Abdullah mengungkapkan, sudah seharusnya pemerintah konsisten memberlakukan larangan ekspor baik ore maupun konsentrat, sehingga tidak merusak kepercayaan investor yang sudah komitmen dengan hilirisasi tambang.

Di sisi lain, hilirisasi produk tambang juga bisa dinikmati industri di dalam negeri dengan penerimaan devisa yang lebih besar, dan pembukaan lapangan kerja.

“Sebagai contoh, tahun 2011 saja, harga bauksit US$ 29 per ton, jika diolah jadi alumina maka bisa dijual dengan harga US$ 274 per ton atau ada peningkatan 10,23 kali. Kemudian alumina diolah lagi jadi aluminium, harganya menjadi US$ 3.822 per ton, atau meningkat 139,23 kali dibanding harga jual dalam bentuk bauksit,” terang Maryati. (drk/drk)