5732053c-a024-4e15-9525-c75c6b3e670c_169

Jakarta, CNN Indonesia — Masyarakat sipil dari empat organisasi menilai negara, pemerintah Indonesia telah didikte oleh korporasi dalam mengelola sektor pertambangan khususnya di bidang mineral dan batu bara.

Hal tersebut, salah satunya tercermin dari isi usulan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1/2014 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara yang diusulkan Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan.

Gabungan masyarakat sipil dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Publish What You Pay (PWYP), Indonesia for Global Justice (IGJ) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) itu berharap revisi yang diusulkan oleh Menteri Luhut tidak dilakukan.

Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan WALHI Khalisah Khalid berpendapat, isi usulan revisi PP No 1/2014 memberi kelonggaran pada perusahaan tambang untuk melakukan ekspor tanpa membangun smelter.

“Kami menilai kebijakan ini hanya menguntungkan korporasi pertambangan. Mereka terus menguras kekayaan alam Indonesia dan menghancurkan lingkungan hidup,” kata Khalisah saat jumpa pers pada Selasa (11/10) siang.

Kepala Kampanye JATAM Melky Nahar menjelaskan, aturan mengenai kewajiban perusahaan tambang membangun smelter sebenarnya sudah diatur dalam Permen ESDM Nomor 11/2014.

Dalam peraturan itu, pemerintah memberikan toleransi pelonggaran ekspor melalui proses pembangunan smelter. Perusahaan akan mendapatkan izin ekspor bila pembangunan smelter mencapai 60 persen.

Tetapi, kata Melky, aturan pembangunan smelter itu tidak dijalankan oleh perusahaan tambang. Ia mencontohkan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia.

“Terkait dengan PT Freeport ada aturan yang sudah dilanggar. Paling fatal dengan tidak membangun smelter karena berbagai alasan,” katanya.

Melky melihat pemerintah seperti tidak berkutik ketika berhadapan dengan perusahaan tambang. Padahal, pemerintah sudah memiliki aturan yang ketat.

“Pemerintah ini seperti diatur oleh perusahaan, bukan mengatur perusahaan. Bagi kami upaya nyata pemerintah bernegosiasi dengan perusahaan belum berjalan dengan baik, karena perusahaan itu sendiri yang untung,” ujar Melky.

Manajer Advokasi dan Jaringan PWYP Aryanto Nugroho mengatakan, ketidakberdayaan itu bisa terjadi karena pemerintah masih bergantung pada perusahaan tambang.

“Ketika ekspor yang dilakukan perusahaan diberhentikan karena aturan, perusahaan di daerah Indonesia tidak akan berjalan. Sedangkan roda perekonomian di daerah itu bergerak karena perusahaan tersebut. Kejadian itu membuat seakan-akan pemerintah yang salah, sehingga memberi kelonggaran terus” kata Aryanto. (wis/rdk)