MoU ESDM dan KLHK Dinilai Terlalu Lemah

Jakarta, 30 April 2019 – Masyarakat Sipil menilai Nota Kesepahaman Bersama (MoU) antara Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) memiliki sejumlah kelemahan pada aspek penegakan hukum. Terutama bagi perusahaan yang abai dalam melakukan kegiatan reklamasi dan pascatambang.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah mengatakan MoU ini melemahkan kewenangan KLHK. “KLHK seperti “main aman” dan tidak mau menggunakan kewenangan dan instrumen pidana lingkungan untuk menjerat perusahaan tambang batu bara yang menyebabkan korban tewas. Padahal yang dibutuhkan oleh masyarakat yang menjadi korban lubang tambang sekarang adalah tindakan hukum bukan sekedar MoU,” tegasnya.

Menurut Merah, isi MoU juga terlalu fokus pada persoalan reklamasi dan lubang tambang di kawasan hutan dan menutup mata pada persoalan serupa di luar kawasan hutan. “Seharusnya pengawasan dan penegakan hukum mengenai kejahatan reklamasi dan lubang tambang bukan hanya di kawasan hutan saja. Pasalnya lubang bekas tambang banyak tersebar di luar kawasan hutan,” tegas Merah.

Manajer Advokasi dan Pengembangan Program PWYP Indonesia Aryanto Nugroho mengingatkan upaya penindakan yang tegas terhadap pemilik izin pertambangan harus terus menjadi prioritas utama. Saat ini masih terdapat 56% atau 3.912 IUP PMDN yang belum menempatkan jaminan reklamasi (jamrek) dan 83% atau 5.809 IUP PMDN yang belum menempatkan jaminan pascatambang.

“Kepatuhan penempatan jamrek dan jaminan pascatambang merupakan salah satu rencana aksi (renaksi) Korsup Minerba yang diinisiasi oleh KPK sejak tahun 2014. Sayangnya capaiannya belum menggembirakan,” kata Aryanto.

Dalam konteks penindakan, MoU ESDM-KLHK harus memiliki target yang jelas terkait berapa persen kepatuhan perusahaan dalam menempatkan jamrek dan jaminan pascatambang, sejauh mana target penindakan baik dari sisi sanksi administrasi maupun sanksi pidana. Di satu sisi, MoU ESDM-KLHK harus dapat menyelesaikan problem ketidaksinkronan regulasi dan kebijakan terkait reklamasi lahan tambang, khususnya di wilayah hutan.

“Sebut saja misalnya, perbedaan makna reklamasi antara ESDM dan KLHK. Di mana dalam peraturan sektor ESDM kewajiban reklamasi dilakukan untuk lahan yang dibuka, sedangkan di sektor KLHK, reklamasi tak hanya di lahan yang dibuka, namun juga sampai pemulihan DAS,” jelas Aryanto.

Selanjutnya, koordinasi ESDM-KLHK seharusnya dapat menjawab problem lahan tambang, baik yang di dalam maupun luar wilayah hutan, yang telah rusak dan menimbulkan korban jiwa. Namun, pemiliknya sudah “kabur” dan tidak diketahui dimana alamat serta pemiliknya. “Siapa yang akan bertanggung jawab dan bagaimana mekanismenya, harus dijawab oleh Pemerintah,” kata Aryanto.

Kasus korban ke-33 di lubang tambang Kaltim dan bencana banjir di Bengkulu harus menjadi prioritas utama dan sekaligus tantangan bagi ESDM-KLHK untuk dapat menyelesaikan akar persoalannya. “Publik harus diyakinkan dengan tindakan nyata di lapangan, bukan sebatas MoU di atas meja,” tegasnya

Poin lain, Merah menambahkan, MoU ini juga berpotensi menjadi lampu hijau bagi proyek energi panas bumi (geothermal) di kawasan hutan. “Model pembangunan pembangkit geothermal yang menggunakan logika ekstraktif seperti pertambangan juga melakukan tindakan perampasan lahan dan mengkriminalisasi warga yang tidak mau melepas tanahnya di beberapa tempat,” jelas Merah.

Poin lain, lanjut Merah, disebutkan tentang dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, namun MoU ini tidak memiliki langkah konkret untuk meminta Kementerian ESDM mengurangi ketergantungan energi yang berasal dari batubara melalui kebijakan moratorium tambang dan penutupan sejumlah PLTU batubara.

Contact Person:
Merah Johansyah – JATAM: 0813-4788-2228
Aryanto Nugroho – PWYP Indonesia: 0813-2660-8343