KTT Negara Negara yang tergabung dalam G20 sedang berlangsung dua hari ini di Osaka, Jepang. Pertemuan tingkat tinggi yang diadakan setiap tahun ini, membicarakan berbagai isu strategis terkait dengan kondisi perekonomian global, mulai dari perdagangan, keuangan, perpajakan, sampai pada masalah pembangunan ekonomi, iklim, energi dan lingkungan. Komitmen dan keputusan yang diambil oleh KTT G20 tersebut sangat krusial mengingat negara-negara yang tergabung di dalamnya menyumbang hampir dua per tiga dari perekonomian (GDP) dunia, yang sangat mempengaruhi arah perkembangan ekonomi dunia. Terlebih di tengah ketegangan global akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang sedang berlangsung. Bila ketegangan antara AS dan Tiongkok ini terus berlanjut, maka akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi global.

Publish What You Pay Indonesia—Koalisi nasional yang fokus pada aspek transparansi dan akuntabilitas penerimaan negara serta sumber daya alam ekstraktif dan energi menyoroti dua hal penting dari pertemuan tersebut; yakni mengenai (1) kerjasama perpajakan internasional dalam menyelamatkan sumber daya pajak dan penerimaan negara; serta mengenai (2) transisi energi, perubahan iklim dan tata lingkungan berkelanjutan.

Penguatan Kerja Sama Perpajakan Internasional dalam KTT G20

Dalam pertemuan tingkat Menteri kelompok G20 yang berlangsung dua pekan lalu, terdapat beberapa usulan untuk disepakati terkait kerjasama global dalam international taxation guna mengumpulkan penerimaan pajak yang optimal bagi penerimaan negara setiap anggota G20. Usulan kesepakatan tersebut antara lain yang menyangkut digital ekonomi, serta mengenai kerjasama pertukaran informasi AEoI (Automatic Exchange of Information) sebagai langkah mengurangi praktek penghindaran pajak berupa BEPS (Base Erosion Profit Shifting).

Di era ekonomi digital saat ini, perusahaan-perusahaan raksasa teknologi seperti Google, Amazon, Facebook, Apple menjadi perusahaan yang paling mendapatkan keuntungan. Namun, dalam forum pertemuan menteri G20 di Jepang telah menyepakati usulan agar ada aturan untuk meningkatkan beban pajak yang lebih tinggi kepada perusahaan multinasional besar. Google, Amazon, Facebook dan Apple mendapat kritikan dikarenakan melakukan pengurangan pembayaran pajak dengan dengan cara membukukan keuntungan mereka di negara-negara yang pajaknya rendah seperti Swiss, Irlandia dan negara-negara tax havens lainnya.

Rekomendasi kebijakan new nexus yang diusulkan dalam forum pertemuan menteri keuangan dan moneter di G20 yakni terkait dimana hak memajak tidak ditentukan kehadiran fisik perusahaan di suatu negara, namun berdasar kehadiran ekonomisnya (economic relevance/ economic presence) serta penerapan untuk menjamin minimum effective taxation agar perusahaan -perusahaan besar tidak lagi melakukan praktik penghindaran pajak dengan menggunakan negara/jurisdiksi yang memiliki tingkat pajak sangat rendah atau bahkan tidak ada penganaan pajak alias nol persen.

Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Maryati Abdullah, menyatakan bahwa “komitmen dan inisiatif negara-negara G20 terhadap isu perpajakan telah lama diinisiasi oleh negara negara G20, antara lain dalam kerjasama memerangi praktik Base Erosion and Profit Shifting (BEPS)/penghindaran pajak oleh perusahaan, yang juga melingkupi perusahaan perusahaan multi-nasional yang beroperasi lintas-jurisdiksi, seperti perusahaan yang melakukan kegiatan di sektor migas, pertambangan, dan kegiatan ekonomi digital yang selama ini dikuasai oleh perusahaan teknologi raksasa seperti google, amazon, facebook, apple dll” tandas Maryati.

“Pemerintah harus memperkuat kapasitas teknis dan sistem di kementerian keuangan dan kementerian terkait lainnya agar dapat memanfaatkan skema kerjasama global melalui Automatic Exchange of Information (AEoI) apalagi kerangka pelaksanaan AEoI di level nasional sudah didukung dan menjadi rencana aksi dalam strategi nasional Pencegahan Korupsi, sehingga harapannya dapat berdampak positif bagi peningkatan penerimaan negara dan mendukung pembangunan nasional” imbuhnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani dua hari lalu menyatakan “saat ini, telah terdapat lebih dari 47.000 akun dari offshore yang telah berhasil didisclose, yang nilainya diperkirakan mencapai 5 (lima) Triliun Euro yang dicatat sebagai bagian dari keberhasilan yang penting dari kerja sama AEOI selama ini”. Sementara, Global Financial Integrity (GFI), minggu lalu tanggal 23 Juni 2019 baru saja mempublikasikan laporan yang mengestimasikan Indonesia kehilangan pendapatan negara sebesar 6,5 milyar USD (sekitar 91 Triliun Rupiah dengan Kurs 14.000) di Tahun 2016 akibat miss-invoicing trade. Dimana miss-invoiicng trade ini berasal dari aktifitas perdagangan yang melakukan tindakan penghindaran pajak kepabeanan (customs duties), pajak pertambahan nilai (value added taxes) ataupun pajak perusahaan (corporate income taxes). Hal tersebut dapat terjadi melalui import-over/under invoicing, export under/over invoicing, yang mana hal tersebut menyebabkan hilangnya penerimaan negara dan terjadinya aliran uang ke luar/masuk antar-negara.

“Praktik penghindaran pajak tersebut sangatlah tidak adil, perusahaan-perusahaan multinasional dan teknologi raksasa tersebut seharusnya membayar pajak di mana mereka mendapatkan keuntungan. untuk itu sangat penting mendorong transparansi keuangan seperti country by country reporting, pembukaan data beneficial ownership yang dapat diakses antar negara, untuk mencegah dan menutup celah perusahaan untuk mengambil keutungan yang tidak adil” pungkas Maryati.

Transisi Energi, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan

Hari ini (29 Juni 2019) dikabarkan akan berlangsung pertemuan Sesi-IV yang membahas mengenai perubahan iklim, lingkungan, dan energi. Menteri ESDM dan KLHK beberapa minggu lalu telah menghadiri pertemuan tingkat Menteri yang diantaranya membahas mengenai isu energi dan lingkungan ini. Dalam pertemuan di tingkat Menteri tersebut Indonesia menekankan bahwa setiap negara memiliki cara dalam implementasi transisi energi yang berbeda-beda, oleh karena itu penting untuk mengakui keberadaan implementasi Transisi Energi yang beragam tersebut. Indonesia diantaranya membawa misi agar biofuel dapat diakui sebagai salah satu sumber energi terbarukan, setelah di banned oleh pasar Uni Eropa beberapa waktu lalu.

Di sisi lain, dorongan untuk menghasilkan komitmen yang kuat bagi negara negara G20 untuk mematuhi deklarasi Paris saat ini masih mendapat tantangan yang kuat terutama dari Amerika Serikat, yang juga menggalang dukungan untuk cenderung menjauh dari komitmen tersebut. Sementara, sebagai catatan, Presidensi Jepang kali ini mengambil isu utama yakni transisi energi yang selaras dengan perlindungan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi dalam hal ketahanan energi, efisiensi ekonomi dan lingkungan serta keamanan. Selain itu, Jepang juga memprioritaskan agenda inovasi terkait hidrogen, Carbon Capture Storage and Utilization (CCUS), Well-to-Wheel Analysis dan Nuklir serta Research & Development 20 (RD20). Dalam pertemuan tingkat Menteri tersebut juga dihasilkan komunike dan rencana aksi dalam transisi energi dan lingkungan global untuk pertumbuhan yang berkelanjutan.

Menanggapi hal tersebut, Meliana Lumbantoruan, Program Manager PWYP Indonesia menyatakan “Seharusnya pembahasan G20 tidak hanya sebatas penentuan dan pengakuan terkait jenis sumber energi terbarukan, namun yang seharusnya adalah bagaimana realisasi komitmen dan rencana aksi dari semua negara anggota G20 terkait upaya masing-masing negara dalam pencapaian kesepakatan paris. Negara-negara G20 mempunyai tanggung jawab dan peran besar untuk memimpin aksi global dalam menurunkan emisi gas rumah kaca karena negara G20 selain penyumbang 85% GDP dunia, juga sebagai penyumbang 83% emisi gas rumah kaca dunia. Selain itu, diperlukan alat ukur dan indikator Monitoring dan Evaluasi yang jelas dari pelaksanaan komitmen dan rencana aksi yang telah dihasilkan tersebut” Ujarnya.

Meliana Lumbantoruan juga menambahkan “Indonesia justru menghadapi tantangan, dimana untuk patuh pada kesepakatan Paris, seharusnya Indonesia sudah mulai mengurangi penggunaan energi fossil dalam industri nasionalnya, namun faktanya justru pembangkit listrik nasional (PLN) masih menggunakan batubara sebagai bahan bakar, ditambah produksi batubara selalu digenjot sekitar 500 juta per tahun yang mana angka ini selalu di atas target rencana umum energi nasional (RUEN) 400 juta ton pertahun. Hal ini dikhawatirkan kontraproduktif dengan upaya pencapaian Komitmen Paris. Hal tersebut menunjukkan komitmen yang diambil dalam forum G20 ternyata dalam proses implmentasi di level negara masih banyak yang tidak memenuhi target kesepakatan Paris. Oleh karena itu, penting juga untuk menyusun sanksi bagi negara yang tidak atau belum menjalankan komitmen nasioanalnya untuk pencapaian target kesepakatan Paris,” pungkas Meliana.