Indonesia sebagai bagian dari masyarat Internasional memiliki komitmen yang tinggi dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi serta upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Salah satu wujud komitmen global tersebut adalah dengan memerangi penyalahgunaan peran perusahaan dan perwaliannya sebagai sarana melakukan korupsi serta meningkatkan transparansi kepemilikan perusahaan penerima manfaat (Beneficial Owners) dari aktifitas perekonomian.

Transparansi Beneficial Ownership (BO) menjadi isu yang sangat strategis dan lintas sektor. Pencegahan dan pemberantasan korupsi, tindak pidana pencucian uang, pendanaan terorisme, dan memperkuat penerimaan negara dari perpajakan industri ekstraktif serta investasi menjadi sektor yang nyata-nyata berkaitan.

Sebagai negara anggota G20, Indonesia telah menyepakati High-Level Principles on Beneficial Ownership Transparency yang menekankan pentingnya transparansi dan ketersediaan informasi BO yang akurat dan dapat diakses oleh lembaga yang berwenang. Sejak tahun 2015, KPK selaku focal point untuk G20 Anti-Corruption Working Group (ACWG) telah mengkoordinasikan Kementerian/Lembaga terkait dan menghasilkan rencana tertulis yang telah disampaikan pada G20 ACWG 2015. Lebih lanjut, pada tahun 2016-2017 KPK melakukan kajian transparansi Beneficial Ownership.

Keterbukaan BO merupakab bagian dari kerangka prinsip anti Penggerusan Pendapatan dan Pengalihan Keuntungan atau yang dikenal dengan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Dorongan keterbukaan informasi ini terjadi hampir di seluruh dunia terutama negara-negara maju untuk mengejar para wajib pajak mereka yang menaruh serta mengalihkan kewajiban pajaknya di negara-negara suaka pajak (tax haven). Tren global berubah sehingga seluruh negara sepakat melawan praktik penghindaran dan penggelapan pajak yang banyak dilakukan di negara suaka pajak. Hal yang sama juga dilakukan Indonesia, di mana sebelumnya telah berkomitmen dalam pertukaran informasi otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) mulai September 2018 dan akan terus berkomitmen mendukung dan ikut serta dalam gerakan yang didorong global forum terkait kepentingan perpajakan.

Di industri ekstraktif, terdapat standar global bagi transparansi penerimaan negara dari sektor ekstraktif yang dikenal dengan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). Di Indonesia, prakarsa transparansi penerimaan negara dari industri ekstraktif ini dimulai tahun 2007 ketika menyatakan dukungan bagi EITI. Peraturan Presiden mengenai Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang diperoleh dari industri ekstraktif ditandatangani pada tahun 2010. Sebagai negara anggota EITI, Indonesia telah mempublikasikan Roadmap transparansi BO pada awal tahun 2017. Publikasi tersebut dilakukan untuk memenuhi persyaratan Standar EITI 2016 yang mewajibkan negara-negara pelaksana untuk mempublikasikan Roadmap BO di akhir tahun 2016. Tahapan selanjutnya yaitu pelaksanaan langkah-langkah keterbukaan BO yang dimulai tahun 2017. Di tahun 2020, Indonesia harus dapat mempublikasikan nama, domisili, dan kewarganegaraan orang atau sekelompok orang yang mengontrol perusahaan-perusahaan industri ekstraktif dalam Laporan EITI.

Transparansi BO juga sangat erat kaitannya dengan investasi. Kepercayaan investor terhadap pasar finansial sangat bergantung pada ketersediaan data yang akurat yang memberikan transparansi terkait BO dan struktur control dari suatu perusahaan terbuka. Pentingnya transparansi tidak hanya untuk perusahaan terbuka, tetapi juga untuk perusahaan tertutup., terutama ketika bertransaksi dengan perusahaan asing yang memiliki standar compliance tentang transparansi informasi mengenai BO dari mitra kerjanya. Namun demikian, adanya BO dan hak voting yang besar memiliki insentif untuk mengatur aset dan kekuatan perusahaan untuk kepentingan investor tertentu saja. Transparansi BO tidak saja terkait dengan perkembangan perusahaan tetapi yang lebih adalah dalam rangka penegakan hukum.

Upaya pemerintah untuk mendorong kemudahaan berinvestasi sekaligus menumbuhkan kepercayaan bagi investor harus dibarengi dengan upaya menghadirkan investasi yang berintegritas sekaligus berkualitas. Jangan sampai, kemudahan berinvestasi dijadikan ruang bagi pelaku kejahatan korupsi untuk mengambil keuntungan pribadi. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mendorong pengungkapan siapa sebenarnya pemilik sesungguhnya dari suatu perusahaan yang akan melakukan investasi. Transparansi Beneficial Ownership dapat memberikan manfaat lebih jauh bagi perusahaan yang beroperasi di Indonesia, termasuk mengurangi risiko finansial.

Dalam rangka upaya mendorong transparansi BO di Indonesia, kolaborasi antar berbagai stakeholder multak diperlukan. Rangkaian pertemuan telah dilakukan yang melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, Kantor Staf Presiden, PPATK, KPK, OJK, BI, akademisi, organisasi profesi, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Transparansi International-Indonesia (TII), dan Natural Resource Governance Institute (NRGI).

Progres penerapan transparansi BO di Indonesia memperoleh apresiasi dari EITI International. EITI International meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk menjadi tuan rumah dalam konferensi global BO pertamanya. Konferensi Global tersebut dilaksanakan mulai hari ini sampai besok (23-24 Oktober 2017) bertempat di Hotel Fairmont, Jakarta. Peserta konferensi ini adalah delegasi dari 52 negara anggota EITI, Kementerian/Lembaga, BUMN, Pemerintah Daerah, akademisi, mitra pembangunan, organisasi internasional, organisasi profesi, organisasi masyarakat sipil, dan media massa.

Sebagai tuan rumah pada Konferensi Global dimaksud, Indonesia mempunyai kesempatan pembelajaran dan mengambil manfaat dari praktik BO di berbagai negara lain, sharing hambatan dan tantangan yang dihadapi, terutama penguatan regulasi yang diperlukan, sekaligus memperkuat komitmen untuk meregulasi BO melalui payung regulasi yang kuat yang meliputi seluruh sektor. Industri ekstraktif merupakan sektor yang pertama.

Dalam sambutannya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro, mengatakan bahwa keterbukaan BO penting untuk mendukung program-program Pemerintah Indonesia, termasuk AEoI. Bambang mengatakan bahwa sebagai salah satu dari 15 ekonomi terbesar di dunia dalam hal GDP, rasio pajak Indonesia masih sangat rendah dan transparansi BO bisa membantu meningkatkan tingkat rasio tersebut.

“Rasio pajak kita hanya sedikit diatas 11 persen, sangat rendah,” kata Bambang, Senin (23/10). “Bahkan jika dibandingkan dengan tetangga kita di ASEAN, apalagi negara anggota OECD.”

“Dan salah satu alasan dari rendahnya rasio pajak ini karena kita [Indonesia] tidak bisa mengejar aset yang disimpan di banyak tempat di seluruh dunia,” Bambang menambahkan.

Namun Bambang juga menyatakan bahwa komitmen global sangatlah penting agar usaha membuka informasi BO ini bisa sukses. “Saya rasa komitmen global sangatlah penting. Dan bukan hanya untuk mayoritas negara, tetapi harus didukung dan diikuti oleh seluruh negara di dunia,” katanya.

“Jika tidak […] akan ada beberapa negara yang tidak berkomitmen atau menjadi bagian dari gerakan yang akan mengambil keuntungan atas hal tersebut,” katanya.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay, mengungkapkan bahwa Pemerintah Indonesia perlu untuk mempercepat berlakunya Peraturan Presiden tentang transparansi kepemilikan manfaat. Hal ini dikarenakan dalam konteks politik, ada banyak Political Exposed Person (PEP) yang terlibat dalam kegiatan bisnis melalui perusahaan-perusahaan anonim.

“Kita juga harus mempercepat sinkronisasi peraturan di tingkat nasional, jadi akan ada daftar terbuka untuk perusahaan nasional dan internasional serta rantai pasokannya agar sesuai dengan prinsip transparansi kepemilikan manfaat,” pungkas Maryati.


Untuk informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi:

Maryati Abdullah

National Coordinator, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia

maryati@pwyp-indonesia.org

Emanuel Bria

Indonesia Country Manager, Natural Resource Governance Institute (NRGI)

ebria@resourcegovernance.org