Jakarta, 5 Agustus 2019. Kelompok masyarakat sipil yang hadir dalam Simposium Menggagas Visi Kerakyatan dan Lingkungan Hidup Indonesia, mengritik Visi Indonesia Presiden terpilih Joko Widodo beberapa waktu yang lalu. Visi ini banyak menyorot persoalan pembangunan infrastruktur, investasi, dan reformasi birokrasi yang juga diarahkan untuk mempermudah investasi. Namun disayangkan dalam visi ini tidak terdapat pertimbangan lingkungan hidup sama sekali. Diabaikannya isu lingkungan hidup dan sumber daya alam dikhawatirkan akan terus berlanjut dalam kebijakan-kebijakan mendatang apabila tidak disikapi segera.
Simposium ini diawali dengan Diskusi Publik yang menghadirkan 4 (empat) narasumber, yaitu: Laode M. Syarif (Wakil Ketua KPK), Prof Hariadi Kartodihardjo (Ahli Kebijakan Kehutanan), Mas Achmad Santosa (Koordinator Staf Khusus Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal), dan Yuyun Ismawati (Senior Advisor Nexus 3). Para narasumber menyampaikan kritik dan masukan tentang pentingnya menaikkan kembali isu lingkungan hidup dan sumber daya alam agar kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi pada periode pemerintah 2019-2024 tetap memperhatikan perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alam.
“Investasi jangan dihadapkan dengan penegakan hukum, “jelas Laode M. Syarif, Wakil Ketua KPK yang diundang sebagai narasumber pada Simposium tersebut. “Investor paling suka dengan kepastian hukum. Apabila jelas kewajiban dan larangannya, investor baik mau tidak mau akan taat. Justru investor yang abai dan nakal yang mestinya tidak diperbolehkan untuk berinvestasi di Indonesia. Kita butuh investasi tetapi yang bertanggungjawab,” lanjutnya lagi.
Syarif menambahkan ketiadaan visi lingkungan dalam pidato Jokowi bisa jadi dikarenakan hal tersebut bukan pidato kenegaraan, masih pidato kemenangan. Perlu memastikan tim teknis pendukung dari kementerian dan lembaga menyampaikan masukan yang tepat kepada beliau dalam pidato kenegaraan nanti. Senada dengan Laode M. Syarief, Prof Hariadi Kartodiharjo ahli kebijakan kehutanan menambahkan, “Masyarakat sipil perlu memastikan isu lingkungan dan sumber daya alam disampaikan dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2019.”
“Pembangunan harus tetap memperhatikan kepentingan umum dan kualitas lingkungan. Beberapa data menunjukkan daerah yang tinggi sumber daya alam dan tinggi investasi, namun kesejahteraan masyarakat tidak meningkat. Kemiskinan malah meningkat sementara kualitas lingkungan menurun.” Prof Hariadi menambahkan.
Sementara itu, Mas Achmad Santosa menegaskan, “Memang terlalu dini bagi kita jika hanya mendasarkan pada pidato Visi Indonesia Presiden Jokowi. Namun masyarakat sipil harus tetap mengawal agar isu lingkungan hidup dan sumber daya alam masuk dalam kebijakan-kebijakan Jokowi. Ada 3 (tiga) pekerjaan utama yang perlu dikawal, yaitu terkait rule of law,perlindungan ekosistem dan sumber daya alam, serta laut sebagai masa depan bangsa. Jika tidak ada pressure dari publik (civil society), isu ini bisa saja hilang dalam pertimbangan-pertimbangan mendatang.”
Saya yakin Pemerintahan Jokowi tidak akan melupakan potensi ekonomi dari laut kita, di mana Indonesia memiliki garis pantai terpanjang nomor dua di dunia, dengan sumber daya alam laut melimpah, productive coast line, dan potensi jalur transportasi,” tambah Mas Achmad Santosa lagi.
Narasumber lainnya, Yuyun Ismawati Senior Advisor Nexus 3 menjelaskan, “Prioritas pemerintah untuk investasi dan mendorong infrastruktur dalam negeri seringkali dilakukan dengan mekanisme short cut atau jalan pintas. Sebagai contoh, ketika Presiden Jokowi melihat sampah sebagai suatu masalah, solusi yang ditetapkan adalah insinerator. Padahal insinerator menimbulkan permasalahan lingkungan sendiri.”
Contoh kebijakan lain yang dinilai bermasalah adalah terkait impor sampah plastik. “Saat ini timbulan sampah plastik sekitar 65 juta ton per tahun, tapi kita masih mengimpor sekitar 300an ribu ton sampah. Alasannya karena ada pasar dan kebutuhan industri. Sebenarnya, yang dibutuhkan adalah sinkronisasi informasi di mana pengusaha dapat memanfaatkan sumber daya dan sumber bahan baku sehingga bisa menghabiskan sumber dalam negeri. Perlu ada koordinasi yang diterjemahkan dengan baik pula oleh kementerian/lembaga agar kebijakan yang dihasilkan tidak misleading,” tambah Yuyun.
Simposium yang diselenggarakan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) bersama Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Forest Watch Indonesia (FWI), Publish What You Pay (PYWP), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Kode Inisiatif ini juga meminta Presiden Jokowi untuk Menegaskan Kembali Visi Kerakyatan dan Lingkungan Hidup dengan poin-poin sebagai berikut:
- Menuntaskan agenda pengakuan hak atas tanah, akses kelola dan ruang kehidupan bagi masyarakat terhadap sumber daya alam yang selama ini timpang.
- Menjamin transparansi, akuntabilitas, dan konsistensi regulasi dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang berpihak pada rakyat dan perlindungan lingkungan hidup.
- Memperkuat instrumen perencanaan dan pemanfaatan SDA yang memperhatikan daya dukung dan daya tampung dengan pendekatan desentralisasi, redestribusi akses, dan pembangunan berbasis ekoregion yang sensitif terhadap resiko bencana.
- Melakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu secara tegas dan terpadu untuk melindungi masyarakat dan negara dari kerugian atas tindakan-tindakan eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab.
- Memastikan adanya tindakan pemulihan terhadap setiap pencemaran dan kerusakan dengan menitikberatkan pertanggungjawaban kepada pelaku kejahatan lingkungan.
- Membangun kesadaran publik terhadap pentingnya perlindungan lingkungan hidup dan kebencanaan sejak dini.
Untuk melaksanakan 6 (enam) Agenda diatas, harus dilakukan 2 strategi, yaitu (1) pembenahan kelembagaan, tidak hanya untuk reformasi birokrasi untuk sekedar memfasilitasi investasi, melainkan perlindungan sumber daya alam yang selama ini masih diwarnai berbagai isu conflict of interest, yang rentan terhadap praktek korupsi di sektor SDA. (2) menciptakan kepemimpinan yang kuat, bersih, dan bertanggung jawab, dalam kabinet 2019 – 2024 maupun lembaga pelayanan publik yang terkait dengan sumber daya alam.
Lembaga yang hadir dalam Simposium Menggagas Visi Kerakyatan dan Lingkungan Hidup Indonesia:
ICEL, Walhi, PYWP, FWI, HuMA, ICW, Kode Inisiatif, Nexus 3, Koaksi Indonesia, KPIA, KPBB, RMI, Jikalahari, WWF, CRPG, Madani, Komunitas Earth Hour, CLUA, Ecoton, Pili Green Network, GIDKP/AZWI, FKKM, Mongabay, Walhi Jakarta, Kehati, WWF, TI Indonesia, Pattiro, KNTI, Salam Institute