Jakarta, 16 Januari 2025 – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia diundang sebagai narasumber dalam acara seminar yang diselenggarakan Perkumpulan Tunanetra Kristiani Indonesia (PETKI) di bilangan Jakarta Pusat. Kegiatan ini bertujuan untuk membahas bagaimana perubahan iklim sebagai isu global berdampak signifikan terhadap kehidupan manusia, serta pentingnya kelompok masyarakat teman netra untuk tidak tertinggal terkait informasi yang berkaitan dengan isu-isu penting yang berada di global.

Kegiatan ini merupakan kolaborasi organisasi masyarakat sipil (OMS) dalam pengarusutamaan Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) serta isu-isu perubahan iklim. Hal yang masih perlu didorong mengingat dampak buruk dari perubahan iklim dapat sangat merugikan kelompok yang lebih rentan akibat sistem sosial yang eksklusif.

Dalam membuka acara, Mahretta Maha, Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) PETKI Jakarta menjelaskan bahwa PETKI hadir untuk mengadvokasikan hak-hak teman-teman teman netra yang tidak jarang mengalami diskriminasi berlapis sebagai minoritas. Ia berharap kelompok ini dapat lebih dilibatkan dalam setiap rantai nilai kebijakan secara bermakna.

Hadir dalam kegiatan tersebut, Muhammad Adzkia Farirahman, Staf Program Riset dan Advokasi PWYP Indonesia, yang menyampaikan materi dengan cara yang aksesibel bagi disabilitas netra dan berbagi pandangan dengan para peserta tentang apa itu krisis iklim untuk menemukan titik temu dengan pemenuhan hak-hak dasar ragam disabilitas.

Teman-teman disabilitas netra mengeluhkan bagaimana perkembangan isu terkait krisis iklim selama ini tidak berpihak kepada mereka. Bagaimana tidak, kelompok ini sering dirugikan akibat aksesibilitas yang buruk terkait hal-hal yang berhubungan dengan perubahan iklim yang sering dinilai sebagai isu yang teknokratis dan seolah-olah berjarak dan menjadi permasalahan sedikit orang saja.

Sebagai catatan, dalam isu pembangunan dan krisis iklim itu sendiri masih terdapat kesenjangan informasi yang menganggap isu lingkungan seperti perubahan iklim tidak relevan dengan kehidupan mereka. Kolaborasi antara PWYP Indonesia dan PETKI adalah upaya untuk mengubah persepsi itu serta menjadi pintu awal dalam mengenalkan isu global terkait perubahan iklim untuk meningkatkan semangat partisipasi masyarakat sipil.

Sering kali, dampak bencana alam yang memunculkan disabilitas-disabilitas baru jarang diukur oleh para pembuat kebijakan. Oleh karena itu, masalah perubahan iklim tidak dapat dilepaskan dari pengelolaan sumber daya alam dan merupakan isu yang harus dihadapi bersama, termasuk oleh kelompok penyandang disabilitas.

Seminar dimulai dengan menyoroti tiga krisis utama yang saat ini dihadapi umat manusia, yaitu: perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan penurunan sumber daya alam. Ketiga krisis ini terjadi akibat aktivitas manusia. Aktivitas yang dimaksud adalah penggunaan sumber daya energi fosil yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Untuk menggambarkan ini, peserta teman netra diajak untuk memahami grafik peningkatan suhu rata-rata bumi dan mendiskusikan implikasinya dalam kehidupan mereka.

Berbeda dari banyak diskusi publik lainnya, proses penyampaian informasi dalam kegiatan ini disesuaikan dengan kebutuhan khusus kelompok teman netra yang menjadi peserta seminar.

PETKI turut menerjemahkan bahan presentasi ke dalam format braille sehingga peserta dapat mengikuti penyampaian materi. Selain itu, penyampaian materi dilakukan secara deskriptif, terutama ketika menggunakan penunjuk visual. Ini dicapai melalui penarasian dan mengajak peserta untuk memahami dengan menggunakan anggota tubuhnya, seperti ketika menjelaskan bagaimana grafik kenaikan suhu rata-rata dari tahun 1880-2020 menunjukkan peningkatan akibat pembakaran fosil oleh manusia.

Mengingat pentingnya keterlibatan kelompok ragam disabilitas dalam kebijakan pembangunan, ke depan, keterlibatan teman netra juga berarti mendorong keterbukaan informasi secara afirmatif dan penerapan pendekatan inklusif yang memastikan akses yang setara terhadap informasi penting. Peningkatan kapasitas ini dapat dilakukan dengan kolaborasi antar sesama jejaring masyarakat sipil.

Hal ini tidak hanya memperkuat posisi kelompok disabilitas, tetapi juga memastikan bahwa suara mereka didengar dan diperhitungkan. Langkah-langkah afirmatif untuk membuka ruang diskusi yang lebih inklusif dapat membantu mengatasi hambatan struktural yang selama ini menghalangi partisipasi penuh mereka dalam mengatasi krisis global seperti perubahan iklim.


Bagikan