Kelompok masyarakat Sedulur Sikep (21/1) lalu mendapat penganugerahan Yap Thiam Hien Award 2018 atas upayanya menjaga harmoni alam dan interaksi sosial di wilayah Pegunungan Kendeng. Masyarakat Sedulur Sikep menekankan bahwa tanah dan air merupakan sesuatu yang perlu untuk dijaga agar lingkungan tetap dapat lestari serta agar dapat menjadi sumber kehidupan yang berkelanjutan. Hal ini sebagaimana kearifan lokal Sedulur Sikep yang memandang bahwa alam adalah Ibu Bumi.

Yosep Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers yang menjadi juri Yap Thiam Hien Award menyampaikan dalam sambutannya, Sedulur Sikep dianggap sebagai kelompok masyarakat yang jujur dalam menjaga harmoni alam dalam interaksi sosial di wilayah Pegunungan Kendeng. Prinsip Sedulur Sikep telah melahirkan nafas panjang perlawanan terhadap pertambangan dan industri semen di Jawa Tengah. “Keteladanan Sedulur Sikep sebagai masyarakat adat menjadi sangat bermakna. Masyarakat adat merupakan kelompok minoritas yang kerap menjadi korban persekusi, represi, dan tirani,” ucap Yosep.

Gunretno dan Sembilan Kartini Kendeng menampilkan kidung kendeng dalam malam penganugerahan ini. Setelah Kidung Kendeng dinyanyikan, Gunretno memberikan sambutan sekaligus bercerita tentang perjuangan masyarakat Kendeng, baik upaya hukum atau melalui pendekatan sosial budaya dalam menjaga kelestarian Pegunungan Kendeng.

Telah lebih dari satu dekade, Sedulur Sikep sudah mulai bersuara menolak pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Gresik di Kabupaten Pati. Langkah ini didasarai atas kekhawatiran bahwa keberadaan aktivitas pertambangan di wilayah Pegunungan Kendeng akan dapat merusak sumber air. Warga mengajukan gugatan atas izin lingkungan yang diterbitkan untuk PT Semen Gresik, akhirnya PTUN Semarang memenangkan gugatan warga. Semen Gresik pun berpindah dari Kabupaten Pati ke Kabupaten Rembang.

Upaya yang sama dilakukan warga saat PT Semen Gresik (berganti nama menjadi PT Semen Indonesia) mengantongi izin lingkungan dan akan beroperasi di Kabupaten Rembang. Namun, gugatan yang dilayangkan warga ke PTUN Semarang ditolak, karena gugatan dianggap kadaluarsa karena melebihi waktu 90 hari setelah izin lingkungan diterbitkan.

Warga kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Surabaya, namun juga berujung penolakan. Berlanjut dengan upaya kasasi ke Mahkamah Agung (MA), yang juga berujung penolakan. Setelah ditemukan adanya bukti baru, warga kemudian mengajukan Peninjauan Kembali ke MA dan akhirnya MA memutuskan perlunya Peninjauan Kembali terhadap izin lingkungan yang dikeluarkan gubernur terhadap PT Semen Indonesia. Namun, beberapa tahun terakhir muncul gelagat pemerintah daerah tidak mematuhi Putusan MA tersebut, pemerintah daerah belum membatalkan izin lingkungan yang sudah diterbitkan.

Kooptasi tambang semen tidak hanya berasal dari satu perusahaan saja. Muncul perusahaan lainnya, yang kembali memasuki Pati, yaitu PT Sahabat Mulia Sakti, anak dari PT Indocement. Masyarakat kemudian melayangkan gugatan kembali ke PTUN Semarang. PTUN Semarang memenangkan gugatan warga atas pertimbangan izin lingkungan tersebut bertentangan dengan RTRW Kabupaten Pati. Namun, PT SMS kemudian banding ke PTUN Surabaya, dan menang dalam upaya banding tersebut. Kalah di PTUN Surabaya, warga kemudian mengajukan upaya kasasi ke MA, namun MA menolak upaya kasasi masyarakat Kendeng.

Di penghujung 2016, masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) bertemu dengan Presiden Joko Widodo, dan meminta dibentuknya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pegunungan Kendeng. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 46/2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, masyarakat dapat meminta diselenggarakan KLHS apabila ditengarai ada Kebijakan, Rencana, Program (KRP) yang berpotensi menimbulkan dampak risiko lingkungan hidup.

Saat ini sudah dibentuk KLHS I yang mencakup Pegunungan Kendeng khusus untuk kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) di Kabupaten Rembang, dan KLHS II yang mencakup Pegunungan Kendeng di Kabupaten Pati, Rembang, Grobogan, Blora, serta beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Timur yaitu Kabupaten Tuban, Bojonegoro, dan Lamongan.

Sampai saat ini, masyarakat Kendeng masih menunggu diimplementasikannya rekomendasi KLHS I dan KLHS II di wilayah Pegunungan Kendeng, serta menantikan revisi Perda RTRW Provinsi Jawa Tengah 2009-2029 yang memasukkan rekomendasi KLHS I dan KLHS II.

Sedulur Sikep bersamaan dengan Eva Bande — pegiat lingkungan yang memperjuangkan hak petani di Toili, Luwuk, Sulawesi Tengah — terpilih dari total 20 kandidat lain yang menjadi nominasi peraih penghargaan. Penganugerahaan penghargaan ini dilakukan melalui sidang juri yang ketat yang terdiri dari sejumlah pihak, mulai dari mantan duta besar Indonesia untuk PBB di Jenewa Makarim Wibisono, pegiat isu politik dan HAM Clara Joenowo, aktivis pendidikan Henny Supolo, aktivis perempuan dan jurnalis senior Maria Hartiningsih, pegiat isu pluralisme Imdadun Rahmat, kemudian yang terakhir yaitu pegiat isu hukum dan HAM Haris Azhar.