Metrotvnews.com, Jakarta: Pembahasan Rancangan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (Migas) belum tuntas. Padahal, RUU Migas terus masuk daftar Program Legislasi Nasional (Proglegnas) selama enam tahun berturut-turut. Menurut PWYP ini menjadi akar dari permasalahan industri di sektor migas.
Ketua Badan Pengarah Publish What You Pay Indonesia (PWYP), Fabby Tumiwa mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi VII untuk segera membahas RUU tersebut. Dengan segera dibahas dan dirampungkan RUU Migas ini, persoalan disektor migas akan memiliki payung hukum yang kuat. Selama ini banyak celah yang membuat RUU migas menjadi akar dari permasalahan sektor migas itu sendiri.
“Akar berbagai persoalan sektor migas adalah payung hukum yang memiliki banyak celah, baik dari sisi perencanaan, pengelolaan, pembinaan, maupun pengawasan,” kata Fabby dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (29/5/2016).
Fabby menjelaskan rampungnya RUU Migas ini akan menyelesaikan beberapa isu kunci yang menjadi akar permasalahan. Pemasalahan seperti perencanaan pengelolaan migas, model kelembagaan hulu migas yang memungkinkan adanya proses check and balances, badan pengawas serta BUMN pengelola.
Kemudian juga terkait dengan petroleum fund, Domestic Market Obligation (DMO), dana cadangan, cost recovery, participating interest, perlindungan atas dampak kegiatatan migas, serta reformasi sistem informasi dan partisipasi.
Selain itu, dengan dibatalkannya RUU Migas terus setiap tahunnya, Fabby menuturkan akan memberikan dampak negatif bagi investor. Investor akan terkatung-katung lantaran tidak adanya kepastian hukum. Seperti sejak 2011 produksi migas Indonesia cenderung mengalami penurunan. Hal itu disebabkan salah satunya karena tidak rampungnya RUU Migas.
“Dibatalkan terus pembahasan RUU Migas menimbulkan ketidakpastian hukum dan aturan bagi investor, khususnya di sektor hulu, seperti eksplorasi sumur migas,” ujar dia.
Sumber: di sini.