JAKARTA – Pemerintah akan menerapkan skema royalti progresif untuk ekspor batu bara. Skema royalti progresif batu bara bakal mengerek penerimaan negara saat harga komoditas tersebut tengah melejit. Pakar hukum, energi, dan pertambangan dari Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi, menyebutkan kebijakan ini menguntungkan negara dan pelaku usaha.

Menurut Redi, wajar pemerintah mengharapkan manfaat yang lebih besar dari eksploitasi sumber daya yang tak mungkin diperbarui lagi. Apalagi, kata dia, harga acuan batu bara sudah menembus US$ 288 per ton. Sedangkan dari sisi pengusaha, aturan royalti progresif bisa menjadi pelindung saat harga komoditas ini anjlok di kemudian hari.

Dengan skema royalti progresif, Redi memperkirakan batu bara menjadi penyumbang terbesar pendapatan negara bukan pajak (PNBP) tahun ini. “Ada potensi kenaikan 20-25 persen dari penerimaan PNBP minerba (mineral dan batu bara) tahun ini,” kata dia, kemarin. Pemerintah menargetkan PNBP dari minerba tahun ini sebesar Rp 42,37 triliun.

Ponton pengangkut batu bara merapat di Pelabuhan Marunda, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Royalti progresif batu bara diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2022 tentang PNBP. Aturan tersebut mengatur soal besaran royalti berdasarkan harga batu bara acuan (HBA) yang berlaku. Semakin tinggi harga batu bara, semakin besar setoran ke negara.

Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Lana Saria, menyatakan skema royalti progresif berlaku untuk izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Kebijakan ini berlaku mulai 1 Januari 2022 untuk pemilik izin yang terbit sebelum tahun ini. Sedangkan pemilik izin yang terbit pada 2022 dikenai aturan royalti per 1 Januari 2023.

Menurut Lana, nilai royalti batu bara dipisahkan dalam lima kelompok tarif. Tarif terendah berlaku jika HBA lebih rendah dari US$ 70 per ton dan nilai tertinggi dipungut saat harga acuan mencapai lebih dari US$ 100 per ton.

Nilai tarifnya ditentukan berbeda antara IUPK dari perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara generasi 1 dan generasi 1 plus. Pasalnya, terdapat perbedaan pungutan pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai untuk kedua jenis izin tersebut. Itu sebabnya, sebagai contoh, tarif terendah IUPK dari generasi 1 dipatok 14 persen, sementara dari generasi 1 plus sebesar 20 persen.

Lana mengatakan tarif progresif tidak akan berlaku untuk penjualan batu bara domestik. Tarifnya ditentukan sebesar 14 persen. “Karena harga jual batu bara kami patok US$ 70 per ton. Untuk pembangkit listrik dan industri US$ 90 per ton,” ujar Lana.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia, Hendra Sinadia, menyatakan hingga saat ini belum ada sosialisasi dari pemerintah. Dia menilai peraturan baru tentang perpajakan dan PNBP ini bakal menyulitkan efisiensi perusahaan batu bara. Apalagi, menurut Hendra, sebagian besar produksi batu bara nasional berasal dari tambang tua yang beban operasionalnya tinggi. Selain itu, harga bahan bakar dan alat berat turut naik saat ini.

“Dengan akan semakin tingginya tarif royalti ditambah beban tarif perpajakan lainnya, termasuk pajak karbon, perusahaan semakin sulit berinvestasi,” ujar Hendra. Kondisi tersebut bakal mempengaruhi rencana investasi peningkatan nilai tambah batu bara yang keekonomiannya masih sulit dicapai.

Koordinator Nasional Publish What You Pay, Aryanto Nugroho, memaklumi keluhan para pengusaha lantaran royalti progresif batu bara berpotensi menambah pengeluaran. Namun dia menilai kebijakan ini sudah cukup adil bagi kedua pihak. Pasalnya, pemerintah sudah memberikan stimulus lewat Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, yaitu jaminan perpanjangan izin operasi tambang batu bara. “Artinya, sebenarnya pelaku usaha sudah mendapat insentif yang luar biasa. Kalau sekadar penyesuaian tarif, menurut saya, tidak ada masalah,” tuturnya. Sebab, penerimaan dari royalti batu bara akan disalurkan untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas.

Sumber: Tempo