KALTIMPOST.ID, Kampus mestinya menjadi ladang untuk tubuh suburnya idealisme. Tri Dharma perguruan tinggi hanya mengamanatkan untuk mengajar, meneliti, dan mengabdi.

Namun, tiga falsafat itu kini dibayang-bayangi industri pertambangan yang berpeluang menganggu independensi ruang-ruang akademik.

Pada 18 Februari 2025, DPR mengesahkan perubahan keempat UU Minerba. Aturan ini tak hanya mengganggu ruang akademik tapi juga menghambat transisi energi.

Menarik kampus dari tempatnya yang luhur ke pusaran bisnis ekstraktif karena menjadi penerima manfaat dari pengelolaan tambang oleh BUMN, BUMD, atau perusahaan swasta.

“Perguruan tinggi seharusnya menjadi benteng objektivitas dan ilmu pengetahuan malah dipaksa menjadi corong industri pertambangan,” kata Sartika Nur Shalati, Policy Strategist dari CERAH.

“Hal itu mungkin tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab sosial,” lanjutnya.

Pasal 51A dan 60A Ayat 1 dalam UU baru ini, memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) prioritas ke BUMN dan BUMD dan membuat perguruan tinggi menerima keuntungan dari bisnis ekstraktif tersebut.

Di tengah efesiensi anggaran yang dilakukan pemerintah pusat yang salah satunya memangkas anggaran pendidikan, lalu memberikan kompensasi dalam bentuk dana dari hasil tambang.

Alhasil, perusahaan tambang dapat menjadi pendonor dan menyetir perguruan tinggi untuk mendukung kepentingan sektor tambang dan sumber energi fosil tersebut.

Akademisi dari Universitas Mulawarman dan anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, Herdiansyah Hamzah mengatakan, ada dua motif di balik pasal-pasal itu.

Pertama, menjadikan kampus penerima manfaat dari pertambangan merupakan strategi pemerintah dan DPR untuk menundukkan kampus, membungkam dengan cara yang lebih halus.

Kedua, menjadikan smpus sebagai stempel kejahatan industri ekstraktif. “Kampus dipaksa menjadi mesin legitimasi, memproduksi pengetahuan seolah-olah menunjukkan pertambangan itu baik-baik saja,” katanya.

Pertambangan sejatinya tak pernah baik-baik saja. Di Kaltim misalnya. Lubang-lubang bekas galian dibiarkan menganga, memperkeruh kualitas udara, hingga memakan korban. Lebih banyak meninggalkan luka ketimbang manfaat.

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho menyebut, revisi UU Minerba ini membuka kembali era “jor-joran’ izin tambang.

Pemerintah seolah-olah melupakan bagaimana satu dekade lalu, ribuan izin tambang tak bisa memnuhi kewajiban keuangan, dari pajak, royalti, hingga landrent.

Tak hanya itu, kewajiban lingkungan seperti Amdal serta jaminan reklamasi dan pascatambang pun tak jelas. Luka kian lengkap ketika pengawasan dan pembinaan yang dilakukan pemerintah teramat lemah.

“Pemerintah dan DPR ini seolah lupa. Pemberian WIUP dan WIUPK di UU Minerba terdahulu, UU 4/2009 yang mengharuskan lelang.

Banyak aspek teknis, lingkungan, dan keuangan yang harus dipenuhi untuk menghindari banyak risiko,” sebutnya.

Dengan dipastikannya kampus menjadi salah satu penerima manfaat dari industri tambang. Maka muncul sebuah pertanyaan. Masih adakah tempat untuk independensi ilmu pengetahuan di negeri ini? (*)

Sumber: Kaltim Pos


Bagikan