Sidang paripurna ke-5 DPR periode 2019-2024 pada pertengahan Desember 2019 lalu, menyepakati Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) menjadi salah satu RUU dari 248 RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024. Ketua Komisi 7 DPR menargetkan RUU Minerba akan diselesaikan paling lambat pada Agustus 2020.[1] Pembahasan RUU Minerba tersebut diketahui akan dilakukan melalui mekanisme carry over.

Penetapan RUU Minerba tersebut merupakan kelanjutan setelah sebelumnya juga menjadi Prolegnas 2015-2019. Pada 24 September 2019, RUU Minerba menjadi salah satu sorotan dalam aksi demonstrasi massa di DPR, bersamaan dengan desakan untuk menghentikan pembahasan RUU KPK. Aksi tersebut membuat Presiden yang diwakili oleh Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), Ignatius Jonan, mengirimkan surat kepada DPR RI untuk menghentikan pembahasan Revisi UU Minerba, untuk ditunda dan dibahas pada periode DPR selanjutnya.

Seiring dengan perkembangan tersebut, Publish What What You Pay (PWYP) Indonesia bersama dengan Koalisi Masyarakat Kawal RUU Minerba kembali menggelar Diskusi Publik bertema “Revisi UU Minerba: Persfektif Pelaku Industri dan Pemangku Kepentingan” pada Senin (20/1), di Balai Kartini, Jakarta. Dikusi publik sesi ke-2 ini turut menghadirkan Dr. Alexander Sonny Keraf, Menteri Negara Lingkungan Hidup RI Periode 1999-2001 yang juga Anggota DPR RI 2004-2009, serta para ahli, pelaku, dan wakil organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu seputar tata kelola pertambangan.

Dalam paparannya, Sonny Keraf mengaku sedih dengan pernyataan pejabat pemerintah yang menjelaskan tentang produksi batubara yang tidak memenuhi skala ekonomi nasional. Sebagai Ketua Panja UU Minerba dan orang yang terlibat aktif dalam penyusunan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dirinya menilai pernyataan tersebut melanggar amanat UU dan cenderung menyuarakan kepentingan pengusaha. Menurutnya, saat itu produksi batubara telah dibatasi 400 juta ton. “Kenapa 400 juta ton? Karena hitungan kita pada saat itu didasarkan dari seluruh izin yang diberikan dengan total produksi 400 juta ton, sehingga tidak boleh lagi ada izin yang dikeluarkan.” ujarnya. Dirinya menyesali kebijakan pemerintah yang kemudian meningkatkan kuota tahun 2020 menjadi 550 juta ton dan bahkan berpotensi menjadi 700 juta ton. Hal tersebut, kata Sonny Keraf, “menandakan pemerintah dikendalikan oleh kepentingan pasar atau pengusaha.”

Selain itu, semangat tata kelola pertambangan yang didasarkan pada landasan filosofi Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33 harus dilakukan demi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Nilai tersebut, tandas Sonny Keraf, dimplementasikan salah satunya melalui perubahan dari rezim kontrak ke izin. “ini penting untuk menegaskan kedaulatan negara kita”. Lebih jauh, luas lahan dan masa konsesi tersebut harus disesuaikan dengan amanat UU dengan prioritas pemberian pengelolaan kepada BUMN, serta melibatkan BUMD.

Penyusunan RUU Minerba sepuluh tahun lalu memiliki dinamika yang tidak terlepas dari konteks industri pertambangan di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Singgih Widagdo, Ketua Bidang SDA IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia). “Pada tahun 2009 lalu,” ujar Singgih, “bisnis batubara di Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan, setelah di tahun 1991, hanya menjadi eksportir batubara nomor 5 di dunia.” Hal tersebut menimbulkan pertanyaan krusial tentang apakah akan terjadi perubahan paradigma tata kelola pertambangan dari eksploitatif untuk pendapatan, ke arah membangun kedaulatan energi dan sumber daya mineral.

Djoko Widajatno, Direktur Eksekutif IMA (Indonesian Mining Association), dalam kesempatannya mengungkapkan hasil kajian akademik IMA terhadap UU No.4 Tahun 2009 yang dinilai tidak dapat terimplementasi dengan baik. Hal ini menyebabkan kekacauan dan ketidaktertiban dalam lalu lintas hubungan hukum, sehingga tujuan dan manfaat hukum (keadilan hukum dan kepastian hukum) tidak bisa dicapai. Sebagai pelaku industri, dirinya berharap ada perubahan yang besar terhadap UU Minerba kedepannya. Hal yang berbeda disampaikan oleh Ishaak, wakil dari Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), yang menganggap tidak terlalu perlu karena AP3I lebih berfokus di bidang perindustrian. Namun demikian, tambahnya, “beberapa anggota AP3I mengaku mengalami masalah pada aspek perizinan.”

Sementara itu,  Merah Johansyah, Koordinator Nasional JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), menekankan dampak kerusakan yang terjadi akibat aktivitas pertambangan. Ia mencontohkan apa yang terjadi di kampungnya, Samarinda, Kalimantan Timur, dimana terdapat Sungai Mahakam yang menjadi kumuh akibat operasi pengangkutan batubara, karena setiap hari ada sekitar 90-100 tongkang batubara yang lewat di atasnya.

Sumber: Presentasi Merah Johansyah, Jakarta, 20 Januari 2020.

Kepada pemerintah, Merah mengingatkan pentingnya memperhatikan daya dukung lingkungan dalam pemberian izin konsesi. Hal ini sangat penting demi keberlanjutan lingkungan hidup suatu daerah, di samping pertimbangan atas kerawanan bencana. Selain itu, Merah mengkritisi upaya pemerintah dalam melakukan pemulihan, rehabilitasi dan reklamasi, yang tidak mencapai target. “Sepanjang tahun 2014-2019, sudah ada 140 korban tewas di lubang tambang. 35 di antaranya berasal dari lubang tambang batubara di Samarinda, dan mayoritas adalah anak-anak.” (AA)

 

[1] https://www.cnbcindonesia.com/news/20191211185848-4-122342/ketua-komisi-vii-dpr-targetkan-ruu-minerba-kelar-agustus-2020