db3cd6af-ff1f-4f5f-b073-87cee16c421c_169

Jakarta – Dalam rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara, ada usulan untuk kembali membuka ekspor mineral mentah (ore). Usulan perubahan tersebut kontan memicu protes dari pengusaha yang selama ini sudah konsisten membangun pengolahan mineral (smelter).

Ketua Asosiasi Smelter dan Pengolahan Mineral Indonesia, Raden Sukhyar mengatakan, rasanya tak adil jika pengusaha tambang lain sudah berkomitmen membangun smelter, bahkan progresnya sudah lebih dari 80%, di saat bersamaan, pemerintah justru membuka lagi ekspor ore melalui rencana revisi UU Minerba tersebut.

“Banyak teman-teman yang sudah bangun smelter, bahkan ada 40 perusahaan yang smelternya yang progresnya sudah di atas 80%, terutama nikel yang paling banyak. Jadi kami minta maju terus (larangan ekspor ore),” tandas Sukhyar dalam diskusi Tarik Ulur Kebijakan Larangan Ekspor Mineral di Restoran Tjikini 5, Jakarta, Minggu (25/9/2016).

Diungkapkannya, jika pemerintah membuka kembali ekspor ore, hal itu tentunya merusak kepercayaan pengusaha yang sudah komitmen menjalankan hilirisasi.

Di sisi lain, hal itu juga dianggap tidak melindungi perusahaan yang sudah beritikad baik membangun smelter.

“Yang sudah jalan (bangun smelter) harus dilindungi. Ore harus diolah di dalam negeri, kalau tidak ini akan memukul investor yang sudah bangun. Kalau ada pengusaha yang sudah patuh, harusnya di-appreciate,” ujar Sukhyar yang juga mantan Dirjen Minerba ini.

Perlu diketahui, data Kementerian ESDM per September 2016, dari sebanyak 84 IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang ada di pusat, sudah ada 64 smelter yang saat ini tengah dibangun.

Dengan smelter terbanyak berasal dari perusahaan tambang nikel sebanyak 34 smelter, zirkon 11 smelter, bauksit 7 smelter, besi 5 smelter, seng 4 smelter, kaolin 4 smelter, dan mangan 2 smelter. (drk/drk)