Jakarta – Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia (RI) ke-76, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyelenggarakan diskusi daring dengan tema “Refleksi HUT RI 76: Sudahkah Indonesia Merdeka dari Kutukan Sumber Daya Alam?” pada Sabtu (21/8). Hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut, Dadang Trisasongko, Anggota Badan Pengarah PWYP Indonesia; Nur Hidayati, Direktur Eksekutif WALHI Nasional; dan Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar IPB.

Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional PWYP Indonesia dalam sambutannya menyampaikan bahwa momentum Hari Kemerdekaan Indonesia ke-76 tahun ini sangat penting untuk menengok kembali bagaimana tata kelola dan praktik-praktik pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) yang telah berjalan selama ini.

“Bagaimana tata kelola SDA yang dijalankan selama ini? Bagaimana refleksi dan harapan untuk mewujudkan tata kelola SDA yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat? Dan sudah kah Indonesia bebas dari kutukan SDA?” ungkap Aryanto.

Menurutnya, besarnya penerimaan dari pengelolaan sumber daya alam seharusnya mampu meningkatkan kesejahteraaan rakyat dan menekan ketimpangan ekonomi di Indonesia sesuai dengan mandat konstitusi UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3.

Dadang Trisasongko, mengawali diskusi dengan membandingkan karakter pengelolaan SDA dari zaman orde baru dengan zaman reformasi. Menurutnya, karakter pengelolaan SDA yang berjalan selama ini tidak begitu banyak berubah yang ditandai dengan: lebih mementingkan pemodal besar; abai terhadap prinsip keberlanjutan; abai terhadap hak masyarakat adat dan lokal; tidak membuka ruang partisipasi bagi masyarakat; dan tidak transparan.

Lebih lanjut, Dadang menambahkan, bahwa permasalahan pengelolaan SDA di Indonesia tidak terlepas dari fenomen Political Corruption dan State Capture Corruption. “Fenomena State Capture Corruption dapat dilihat dari kelompok-kelompok korporasi besar punya pengaruh yang besar terhadap proses pembuatan kebijakan-kebijakan publik atau regulasi yang berkaitan dengan sumber daya alam.” jelas Dadang.

Fenomena tersebut berawal dari kondisi korupsi yang selama ini mengakar di Indonesia. Dadang mengungkapkan bahwa korupsi politik yang berkaitan dengan isu SDA sering terjadi pada tahap perizinan usaha dan perdagangan. Sedangkan korupsi dalam penegakan hukum banyak ditemukan dalam hal jual-beli putusan dari lembaga penegak hukum yang memberikan efek impunitas terhadap praktek-praktek terhadap korupsi politik.

“Tidak semua korupsi besar bisa diungkap karena memiliki jejaring politik yang luas, seperti di parlemen, lembaga penegak hukum, dan partai politik. Sehingga fenomena impunitas terhadap praktik korupsi merupakan sesuatu yang lazim ditemui dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.” imbuh Dadang.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, menjelaskan bahwa terdapat lima provinsi yang terindikasi mengalami kutukan sumber daya alam jika mengacu pada studi Rahma, dkk pada tahun 2021. Kelima provinsi tersebut, yakni Kalimantan Timur, Papua Barat, Papua, Riau, dan Aceh. Diketahui bahwa kelima provinsi tersebut sangat bergantung pada SDA jika dilihat dari dana bagi hasil SDA yang tinggi, hanya saja ketergantungan tersebut tidak berkorelasi positif dengan indeks pembangunan daerah yang berkelanjutan. “Justru daerah-daerah yang memiliki pendapatan besar dari ekstraksi sumber daya alam belum menunjukkan angka pembangunan daerah yang berkelanjutan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi fenomena kutukan SDA di tingkat sub-nasional.” ungkap Nur Hidayati.

Nur Hidayati juga mengungkapkan bahwa strategi pembangunan di Indonesia belum banyak mengalami perubahan sejak masa Orde Baru, di mana pengelolaan SDA hingga saat ini baru menempatkan pada ekstraksi bahan mentah dan kebutuhan ekspor. Hal ini berimplikasi cukup besar terhadap kondisi lingkungan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Jejak ini dapat dilihat misalnya dari data-data yang diungkapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang pelaksaan program Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Sektor Minerba tahun 2014-2018.

“Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa pendapatan-pendapatan yang diperoleh oleh negara dari ekstraksi tambang merupakan pendapatan yang semu karena terdapat banyak hal di balik pendapatan tersebut, terdapat kerugian negara yang sangat besar dan dampak lingkungan yang ditimbulkan apalagi jika kita berbicara soal pembangunan berkelanjutan untuk generasi yang akan datang.” sebut Nur Hidayati.

Direktur Eksekutif Nasional WALHI ini juga menyoroti soal UU Minerba baru (UU Nomor 3 tahun 2020), dimana terdapat tendensi pengelolaan sumber daya tambang akan diekstraksi secara habis-habisan pacsa disahkannya UU Minerba ini. Hal ini terlihat dengan adanya klausul Wilayah Hukum Pertambangan yang menjamin bahwa seluruh wilayah di Indonesia baik di darat dan di laut dapat diberikan izin-izin pertambangan. Menurutnya, penempatan Wilayah Hukum Pertambangan tersebut membuat seluruh kawasan berpotensi untuk ditambang, tidak peduli kawasan tersebut merupakan kawasan lindung, kawasan adat, ataupun kawasan konservasi. Selain itu, Yaya juga menambahkan bahwa UU Minerba ini telah menghapus pasal tentang hukuman pidana atas kejahatan korporasi dan atas pejabat atau birokrasi yang melakukan penyalahgunaan wewenangnya.

Sementara itu, Prof Hariadi Kartodihardjo, menekankan bahwa setidaknya terdapat dua poin utama sebagai refleksi bersama terkait pengelolaan SDA dan kutukan SDA. Pertama, hak menguasai negara berkaitan dengan legal yang tidak legitimate dan State Capture Corruption (SCC). “Jadi mekanisme menentukan hak-hak atas SDA terutama soal perizinan dari berbagai sektor, dengan proses-proses tata kelola yang buruk, legalitas dapat mudah diperoleh. Jadi pertanyaannya adalah ketika tidak mendapatkan legitimasi secara sosial, legalitas tersebut tetap jalan sehingga memunculkan berbagai konflik, dan di samping itu juga ada State Capture Corruption, yaitu suatu upaya-upaya yang mencoba memasukkan pasal-pasal tertentu untuk kelompok tertentu.” ungkapnya.

Kedua, terminologi kutukan SDA lebih tepat disebut sebagai kutukan akibat kebijakan dan politik, karena jika suatu wilayah memiliki kelimpahan SDA dapat dikelola dengan baik dalam konteks kebijakan dan politik maka tidak akan mengutuk wilayah tersebut. Prof Hariadi menekankan bahwa kutukan akibat kebijakan dan politik menyebabkan alokasi tidak adil dan tidak mengkalkulasi pemanfataan SDA terhadap lingkungan hidup. “Pembangunan yang katanya tumbuh 6.5 persen itu tidak pernah dikurangi dengan beban lingkungan hidup yang begitu dahsyat akibat tidak mengkalkulasi pemanfaatan SDA terhadap lingkungan hidup. Sehingga angka tersebut sangat dianjurkan tidak untuk dipakai karena tidak memberikan gambaran yang sebenarnya dari kondisi di lapangan.” pungkas Prof Hariadi.

Bahan Paparan Narasumber dapat di download melalui link berikut: https://drive.google.com/drive/folders/1XOGgjmKDSRqm3BqA047xK_7S-43dEXX1?usp=sharing