JAKARTA. Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah dan Asisten Program Al Ayubi menghadiri rapat perdana Tim Kelompok Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi Hukum terkait Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara pada Selasa 18 Februari 2020. Rapat perdana tersebut dibuka oleh Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, Liestiarini Wulandari, S.H., M.H., dan dipimpin oleh Dr. Busyra Azheri, S.H., M.H. selaku Ketua Pokja dan Dekan Fakultas Hukum, Universitas Andalas. Rapat ini juga dihadiri oleh anggota Pokja dari perwakilan Ditjen Minerba Kemen ESDM, serta Anggota Pokja dari Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional.

Kegiatan evaluasi yang dilakukan Pokja selama 9 (Sembilan) bulan ke depan akan menggunakan Pedoman Evaluasi Peraturan Perundang-undangan Nomor PHN-HN.01.03-07 Tahun 2020, yang terdiri dari 6 Dimensi, yakni: dimensi Pancasila, dimensi ketepatan jenis peraturan perundang-undangan, dimensi potensi disharmoni pengaturan, dimensi kejelasan rumusan, dimensi kesesuaian norma dengan asas materi muatan, dan dimensi efektifitas pelaksanaan. Keenam dimensi tersebut akan digunakan sebagai pisau analisis oleh Pokja untuk menilai sebuah peraturan perundang-undangan bermasalah atau tidak, untuk kemudian rekomendasi perbaikan dari Pokja ini akan disampaikan kepada Kementerian terkait agar ditindaklanjuti.

Maryati Abdullah, Koordinator PWYP Indonesia menekankan agar kajian dari tim Pokja ini juga merespon perkembangan yang sedang terjadi di DPR dimana terdapat RUU Cipta Kerja,  sebuah Omnibus Law yang berdampak juga pada sektor pertambangan. Cakupan kajian Pokja yang salah satunya akan difokuskan pada proses perizinan – merupakan bahasan yang selaras untuk memberikan penilaian apakah perizinan dan kemudahan perizinan sudah sesuai dengan strategi pemanfaatan pertambangan minerba kita. Lebih lanjut Maryati menekankan bahwa tata kelola pertambangan Minerba yang memperhatikan aspek kekinian yang juga menjadi konsen global di negara-negara kaya SDA sangat penting, termasuk bagaimana kita memandang SDA Minerba ini sebagai aset dan trigger pembangunan, bukan sekedar komoditas perdagangan. Dari sini Maryati mengemukakan pendapatnya lebih dalam bahwa strategi diversifikasi ekonomi, peningkatan nilai tambah dan hilirisasi serta krisis iklim global merupakan tantangan besar yang harus dijawab dalam pengelolaan SDA pertambangan Minerba ini. Sehingga, kajian Pokja dan Omnibus Law selaras dalam menjawab persoalan dan tantangan pengelolaan pertambangan ke depan. “Hal lainnya adalah menyangkut desentralisasi, kita perlu menimbang kembali filosofi desentralisasi pengelolaan SDA dengan strategi ekonomi yang ingin kita kembangkan, aspek keadilan bagi daerah harus dicarikan titik temunya, agar tidak menimbulkan kerenggangan hubungan pusat-daerah dalam tata pemerintahan ke depannya” imbuh Maryati.