Publish What You Pay (PWYP) Indonesia selenggarakan PWYP Knowledge Forum (PKF) bertajuk “Inklusivitas dan Keadilan Gender dalam Transisi Energi di Indonesia” pada 11 April 2023 secara daring. Kegiatan ini menghadirkan Siti Maemunah, peneliti Sajogyo Institute sekaligus pendiri Tim Kerja Perempuan dan Tambang, sebagai narasumber. PKF kali ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman organisasi masyarakat sipil sekaligus menyebarluaskan gagasan inklusi dan keadilan gender sebagai prasyarat dalam pelaksanaan transisi energi.

Transisi energi telah menjadi isu krusial yang mendorong berbagai negara untuk mulai menggunakan energi terbarukan. Indonesia sendiri telah meratifikasi Paris Agreement yang disepakati pada KTT COP 21 tahun 2015, melalui Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement. Melalui perjanjian ini, Indonesia dan negara lainnya berkomitmen untuk mempercepat proses dekarbonisasi dan menjaga target suhu global pada tingkat 1,5 °C (UNFCC, 2016). Sebagai upaya untuk mempercepat dekarbonisasi, Indonesia dan negara-negara G7 meluncurkan Just Energy Transition Partnership (JETP) pada November 2022 (Joint Statement GOI dan IPG, 2022). Inisiatif ini diharapkan dapat mempercepat transisi Indonesia dari energi fosil menjadi energi terbarukan. Meskipun, berdasarkan catatan Koalisi Bersihkan Indonesia (2023), terdapat potensi bahwa dana JETP akan digunakan untuk mendukung solusi palsu yang terus bergantung pada industri batu bara.

Selain itu, meski pengakuan akan perlunya transisi yang adil telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir, belum terdapat narasi yang jelas untuk mengintegrasikan perspektif gender dan inklusi di dalam kebijakan dan perencanaannya. Berdasarkan hasil penelitian Oxfam (2022), perempuan dan anak perempuan dari rumah tangga berpendapatan rendah secara tidak proporsional dipengaruhi oleh kurangnya akses ke energi yang bersih dan terjangkau. Di banyak pedesaan, perempuan bertanggung jawab menanam bahan pangan untuk keluarga dan juga sumber pendapatan. Alih fungsi lahan untuk energi terbarukan dan ekstraksi mineral kritis akan membahayakan mata pencaharian perempuan dan ketahanan pangan rumah tangga.

Siti Maemunah, yang akrab dipanggil Mae Jebing, menyatakan bahwa transisi yang adil harus mempertimbangkan dan menangani konsekuensi dan dampak sosial yang lebih luas. Untuk mencegah agar praktek buruk pertambangan yang selama ini terjadi di daerah-daerah yang kaya akan tambang, perlu dipahami dengan baik bagaimana sejarah ekstraktivisme, ketidakadilan gender, dan pengabaian hak-hak masyarakat sekitar tambang. Pemahaman akan sejarah ini penting agar dapat menemukan solusi yang tepat untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan dan “no one left behind” dalam prosesnya.

Ekstraktivisme merupakan kegiatan yang membongkar dan memindahkan sumber daya alam dalam skala besar baik berupa bahan mentah yang tidak diproses (atau diproses sebagian), terutama untuk diekspor. Ekstraktivisme tidak hanya terbatas pada tambang mineral atau migas, namun juga hadir dalam pertanian, kehutanan, dan bahkan perikanan (Alberto Acosta, 2013). Mae, yg juga merupakan pemegang gelar Ph.D. dari The University of Passau, Jerman, ini menjelaskan bahwa jangan sampai transisi energi hanya dimaknai dengan substitusi sumber energi saja dan praktek buruk esktraktivisme masih dilaksanakan. Ia mewanti-wanti mengenai “politik bahasa” energi hijau dan ekonomi hijau. Juga mempertanyakan, “Apakah mengeruk nikel dari perut bumi dapat digolongkan sebagai bentuk energi hijau?” Mae pun menambahkan terdapat tiga hal kontradiktif yang terjadi saat ini yaitu memburuknya krisis iklim, pembesaran pasokan energi fosil dan mineral, serta tidak ada pembatasan laju konsumsi dan material energi.

Untuk itu, dalam upaya mewujudkan transisi energi yang adil dan berkelanjutan, perlu digunakan beragam pisau analisis, seperti analisis gender, sosial, dan interseksualitas. Interseksionalitas mengidentifikasi beberapa faktor yang meliputi jenis kelamin, ras, etnis, kelas, seksualitas, agama, dan disabilitas. Menyesuaikan rencana dan pelaksanaan transisi energi dengan memperhatikan ketersediaan sumber energi lokal dan kesepakatan dari masyarakat terdampak sejak awal fase perencanaan sangatlah penting. Sebuah transisi yang dirancang bersama, terutama kelompok yang akan terpengaruh dan mereka yang secara historis dirugikan akan menaikkan tingkat keberhasilan transisi itu sendiri dan juga memungkinkan terjadinya transisi yang lebih adil merata dan inklusif.

Penulis: Mouna Wasef
Reviewer: Aryanto Nugroho