Jakarta – 5 (lima) hari lagi, tepatnya  pada 17 Februari 2019, Komisi Pemilihan Umum akan menggelar #DebatPilpres2019 putaran kedua dengan tema Energi, Pangan, Infrastruktur, Sumber Daya Alam (SDA), dan Lingkungan Hidup. Tema debat putaran kedua ini sangat strategis karena berkaitan dengan bagaimana cara mengelola sumberdaya alam, baik yang terdapat di permukaan bumi, air dan kekayaan alam lainnya yang terkandung di dalamnya, yang sejalan dengan mandat Konstitusi untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat, di masa sekarang maupun bagi generasi mendatang.

Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, koalisi masyarakat sipil beranggotakan 35 Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, yang concern mendorong reformasi tata kelola sumber daya alam Migas, Pertambangan dan energi, menawarkan agenda prioritas bagi kedua kandidat dapat menerjemahkan visi-misi yang terkait dengan tema debat ini dengan lugas, jelas, dan tidak normatif, serta menjawab persoalan dan tantangan dalam konteks energi dan pengelolaan sumber daya alam.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menegaskan “Sebagai wujud kecintaan kami pada nusa dan bangsa, serta concern kami bagi kemajuan sektor energi dan tata kelola SDA, kami men-challenge kedua kandidat Capres-Cawapres untuk dapat mengelaborasi lebih jauh arah dan membuat prioritas dana arah strategi pembangunan yang lebih terarah, efektif, adil, dan berkelanjutan”. _”Setidaknya visi-misi dan program yang dibawa kandidat dapat menjawab problematikan mendasar bagi ketahanan energi dan pengelolaan sumber daya alam dalam kurun waktu minimal 5 (lima) tahun mendatang – secara komprehensif, konsisten, terukur dan berkelanjutan, baik di pusat maupun di daerah” imbuhnya.

5 (lima) tawaran agenda prioritas di sektor energi tersebut adalah

Pertama, bagaimana arah reformasi regulasi dan kebijakan di sektor energi? Apa pandangan kedua kandidat terhadap penyelesaian agenda revisi undang-undang Migas (UU.22/2001) dan UU Minerba (UU.4/2009) yang “mangkrak” di Parlemen? Sejauhmana kedua kandidat menerjemahkan makna “keselarasan” dan “harmoni” antar kebijakan dan regulasi sektor energi dengan sektoral? Misalnya, antara UU Energi dengan UU Migas-Pertambangan dan Ketenagalistrikan dan juga pada kebijakan turunan/teknis seperti RUEN-RUPTL-RKAB dsb. Yang tidak kalah penting lainnya, adalah komitmen dan konsistensi pelaksanaan kebijakan energi dalam implementasinya. Problem terbesar di sektor ini adalah adanya ketidakpastian hukum dan tidak adanya konsistensi pelaksanaan antar kebijakan ataupun antar regulasi.

Kedua, problematika Ketersediaan Energi, Menipisnya Cadangan, dan Pengendalian Konsumsi. Cadangan sumber daya energi Indonesia semakin menipis di tengah menurunnya eksplorasi, pencadangan, dan investasi hulu. Berbagai sumber data menyatakan: cadangan terbukti (proven reserve) minyak bumi diperkirakan akan habis kurang dari 10 tahun, batubara hanya tersedia sampai kurang  dari 28 tahun. Sementara cadangan gas bumi, meski masih dapat diproduksi hingga 43 tahun mendatang, dan potensi energi terbarukan melimpah, namun pemanfaatannya secara nasional masih sangat minim. Di sisi lain, Konsumsi energi kian tahun terus meningkat (energi per kapita tumbuh rata2 7% per tahun:2012-2017) seiring pertambahan penduduk, kebutuhan industri dan kemajuan pembangunan nasional. Sementara, distribusi dan kontinuitas pemenuhan kebutuhan antara Jawa-Luar Jawa, dan antara kota-desa masih ada ketimpangan. Bagimana kedua kandidata dapat menjawab problem Ketahanan energi ini dilihat dari aspek ketersediaan (availability) di berbagai wilayah dengan biaya yang  terjangkau (affordability), mudah diakses (accessibility), dapat diserap oleh pasar/pengguna (acceptibility), dan berkelanjutan (continuity)?

Ketiga, bagaimana arah dan strategi Pengembangan Infrastruktur Energi Nasional? Di tengah minimnya keberadaan kilang pengolahan minyak (refinary) maupun penyimpangan stok (storage) membuat Indonesia menghadapi resiko krisis energi, yang rawan kekurangan pasokan dan ketergantungan pada impor (bahan bakar dan bahan mentah). Belum lagi sedikitnya ketersediaan infrastruktur energi lain seperti LNG Plants, SPBG untuk transportasi, dan kebutuhan pengembangan  pipa jaringan gas bumi untuk konsumsi rumah tangga dan industri, membuat pemanfaatan cadangan gas bumi belum maksimal.  Selain itu, kurangnya integrasi dan adanya kesenjangan infrastruktur antara letak cadangan, jalur transportasi, dan area pemanfaatannya, menjadi tantangan tersendiri dalam pembangunan infrastruktur energi, selain kepastian regulasi dan perbaikan iklim usaha.

Keempat, sejauhmana upaya kedua kandidat dalam mengendalika Resiko Ketergantungan Impor dan Subsidi Energi? Peningkatan konsumsi di tengah menurunnya pencadangan dan pengembangan infrastruktur, menempatkan Indonesia pada resiko ketergantungan impor energi, yang bahkan sejak tahun 2011 telah membebani dan membuat defisit neraca perdagangan. Sementara, subsidi energi justru mendominasi alokasi subsidi dari anggaran nasional (APBN), paling tidak dalam 5 (lima) tahun terakhir. APBN Tahun 2019 saja, mengalokasikan subsidi energi kurang lebih sebesar 156,5 Triliun Rupiah. Secara jangka panjang, alokasi subsidi sebagai pilihan populis di tengah ketergantungan impor dan defisit cadangan harus dikendalikan, karena dapat menjadi fait  accomply kebijakan yang menambah sensitifitas kerentanan daya beli.

Kelima, sejauhmana komitmen kedua kandidat terhadap Mitigasi Perubahan Iklim, Diversifikasi Energi dan Pengembangan Energi Terbarukan.  Indonesia bersama negara-negara G20 lainnya menyumbang 82% dari emisi gas rumah kaca di seluruh dunia. Meski berkomitmen dan telah meratifikasi kesepakatan Paris untuk mencapai penurunan suhu 1,5°C, namun laporan Brown to Green Tahun 2018 mengkhawatirkan negara2 tersebut justru mengarah pada kenaikan suhu hingga 3°C.  Salah satu penyumbang emisi GRK adalah energi yang bersumber dari bahan fossil (minyak, batubara, gas bumi, dll), yang saat ini masih mendominasi hingga lebih dari 65% dari sumber energi primer dalam bauran energi nasional. Sementara, diversifikasi energi ke sumber energi terbarukan (renewable) belum berjalan massif. Target bauran energi terbarukan 23% di tahun 2025 agaknya sulit tercapai. Padahal, cadangan sumberdaya energi terbarukan melimpah – namun saat ini baru mencapai 13% dari komposisi bauran energi nasional.

Selain menjawab persoalan-persoalan di atas? PWYP Indonesia juga mendesak agar kedua kandidat juga memastikan perbaikan tata kelola di sektor energi dan SDA berjalan secara transparan, akuntabel, dan berkelanjutan. 7 (Tujuh) agenda utama perbaikan tata kelola SDA tersebut meliputi aspek (1) Reformasi Tata Kelola Perizinan/Kontrak dan Pemanfaatan Lahan/Hutan; (2) Pengendalian Produksi/Penjualan dan Pengembangan PLTU Batubara; (3) Mengurangi Ketergantungan Fiskal dan Menggeser Paradigma Pemanfaatan SDA; (4) Peningkatan Nilai Tambah (Hilirisasi) & Efektifitas Divestasi Pertambangan; (5) Transparansi, Akuntabilitas dan Pemberantasan Korupsi Sektor SDA; (6) Meningkatkan Efektifitas Desentralisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam;serta (7) Meminimalkan Dampak Sosial dan Lingkungan Hidup dari Pengusahaan SDA.  

Lebih jauh lagi, agenda perbaikan tata kelola tersebut mulai dari mengubah paradigma (paradigm shifting) yang progressive dari pemanfaatan SDA yang dipandang sebagai sumber komoditas dan penerimaan negara semata menjadi trigger pembangunan yang efektif dan berdampak ganda bagi pembangunan ekonomi yang produktif, lenting (resilience) dan berkelanjutan;

Memastikan hak-hak masyarakat sekitar, pemenuhan standar kepatuhan perizinan, pemenuhan standar keseimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, serta penguatan pengawasan dan penegakan hukum dalam proses perizinan yang menyangkut pengelolaan SDA. Termasuk troses penawaran/perpanjangan/terminasi dan pelaksanaan kontrak kontrak konsesi wilayah migas dan tambang, harus dijalankan secara transparan, akuntabel, dan memperhitungkan resiko-resiko investasi dan penyertaan modal (pusat-daerah). Termasuk  meningkatkan efek berganda pengelolaan SDA bagi pembangunan nasional dan daerah.

“Kedua kandidat harus dapat mengelaborasi upaya pencegahan konflik kepentingan dalam pengusahaan sektor SDA, agar korupsi politik (state-capture) yang melanggengkan oligarki dan monopoli sektor SDA dapat dicegah seminimal mungkin. Termasuk sejauhmana upaya pengembangan sistem integritas dan pembukaan ‘kepemilikan manfaat sesungguhnya – beneficial ownership’ dari korporasi pemegang izin dan konsesi, agar praktek penghindaran pajak, pencucian uang, dan bentuk-bentuk korupsi, aliran uang haram (illicit financial flows) dan tindak pidana lainnya dapat dicegah dan diatasi sedini mungkin. “ _ tegas maryati Abdullah.

Aryanto Nugroho, manager advokasi dan pengembangan program PWYP Indonesia menambahkan “Last but not least, pengelolaan SDA bukan berarti over eksploitasi yang justru makin merusak lingkungan dan menghancurkan masa depan generasi mendatang. Diperlukan pengawasan dan penegakan hukum di sektor SDA, lingkungan hidup, termasuk penanganan korban lubang tambang secara adil sebagaimana terjadi di Kalimantan Timur dan wilayah lainnya.  Kedua kandidat harus tegas dan berpihak pada kepentingan masyarakat dalam mengatasi problem konflik sosial di sekitar area pertambangan, seperti problem perampasan lahan, kriminalisasi warga, dan mengakomodasi pertimbangan masyarakat dalam penolakan eksploitasi SDA seperti di pegunungan Kendeng, Kalimantan, dan berbagai wilayah konservasi dan kawasan lindung lainnya.

CP : Asri Nuraeni, Communication & Media Officer | Asri.nuraeni@pwypindonesia.org