Paris – Pada 5–7 Mei 2025, Mouna Wasef, Kepala Divisi Advokasi dan Riset Publish What You Pay (PWYP) Indonesia ikut ambil bagian dalam the 2025 OECD Forum on Responsible Mineral Supply Chains di Paris, Perancis. Forum ini mempertemukan lebih dari 1.000 peserta dari berbagai kalangan, mulai dari pemerintah, pelaku industri, hingga organisasi masyarakat sipil, untuk membahas tantangan besar dalam menciptakan rantai pasok mineral yang adil dan berkelanjutan. Selama tiga hari penuh, forum ini mengangkat isu-isu penting seperti transparansi, aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), keterlacakan (traceability) asal-usul mineral, serta tata kelola yang melibatkan semua pihak. Semua ini dibahas dalam konteks transisi energi yang kini tengah berlangsung secara global.
Traceability dalam rantai pasok mineral yang sangat kompleks, menjadi salah satu isu utama yang banyak dibahas. Para ahli sepakat bahwa sistem pelacakan yang baik butuh kerjasama banyak pihak, standar yang jelas, serta keterbukaan dari hulu ke hilir. Perwakilan industri juga menekankan pentingnya mendukung penambang skala kecil, misalnya lewat sertifikasi di tingkat lokasi tambang dan sistem berbagi data yang bisa membangun kepercayaan.
Topik utama lainnya adalah bagaimana penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) tidak hanya formalitas semata. Forum menyoroti perlunya perubahan perspektif di dalam perusahaan agar nilai-nilai ESG benar-benar jadi bagian dari cara mereka beroperasi. Regulasi seperti Critical Raw Materials Act dari Uni Eropa dan Corporate Sustainability Due Diligence Directive dinilai bisa jadi alternatif karena menghubungkan komitmen ESG dengan tanggung jawab hukum. Organisasi masyarakat sipil juga mendorong adanya pelaporan yang lebih serius, terutama terkait kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Mereka juga mendesak adanya aturan global yang lebih selaras agar tidak ada celah hukum yang bisa dimanfaatkan.
Pada sesi dampak meningkatnya produksi kendaraan listrik, Mouna menyuarakan masalah serius yang sedang terjadi di sektor nikel di Indonesia, yang notabene jadi bahan utama baterai kendaraan listrik dunia. Mouna mengkritisi perubahan regulasi, seperti Undang-Undang (UU) tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dan UU Cipta Kerja, yang kini memusatkan kewenangan izin tambang ke pemerintah pusat. Akibatnya, masyarakat lokal makin sulit dilibatkan, dan pengawasan lingkungan pun melemah. Mouna juga menyoroti beberapa masalah krusial, seperti pembukaan hutan yang tak tercatat, rehabilitasi tambang yang molor, proses izin yang tidak transparan, serta ketiadaan saluran pengaduan yang mudah diakses. Salah satu kasus nyata terjadi di Morowali Utara, Sulawesi Tengah, di mana sedimen dari tambang mencemari Danau Tiu dan menghancurkan mata pencaharian warga setempat, sayangnya, tanpa ada jalur keadilan yang jelas.
Mouna, yang juga wakil masyarakat sipil dalam Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI) Indonesia, mengusulkan sejumlah langkah penting: buka akses publik terhadap data perizinan dan lingkungan, penegakan yang lebih ketat untuk jaminan dana untuk reklamasi lahan dan terapkan Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) secara nyata. Reformasi ini sangat dibutuhkan untuk melindungi masyarakat dan alam, sekaligus menjaga posisi strategis Indonesia dalam transisi energi global.
Mouna juga mengingatkan soal integritas dan pencegahan korupsi di rantai pasok mineral, terutama untuk komoditas penting seperti nikel, kobalt, dan lithium. Meski Indonesia sudah tergabung dalam EITI, implementasinya masih perlu ditingkatkan. PWYP Indonesia menekankan bahwa masih banyak data penting yang belum dibuka ke publik—mulai dari kontrak, izin, data penerima manfaat utama perusahaan, hingga laporan pengeluaran sosial dan lingkungan. Tanpa keterbukaan, risiko korupsi tetap tinggi dan akuntabilitas jadi lemah.
Sebagai penutup, Forum OECD Paris menegaskan bahwa menciptakan rantai pasok mineral yang adil dan bertanggung jawab tidak cukup hanya dengan niat baik. Butuh komitmen nyata, transparansi, kerja sama lintas sektor, dan aksi berkelanjutan. PWYP Indonesia hadir untuk menekankan pentingnya tata kelola sektor mineral yang berpihak pada keadilan sosial dan lingkungan. Harapannya, transisi energi global tidak hanya menguntungkan segelintir orang, tapi benar-benar membawa manfaat untuk semua.