Jakarta-Mediaindonesianews.com: Struktur organisasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kini memasuki era baru dengan kehadiran Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Ditjen Gakkum) melalui terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 169 Tahun 2024 tentang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 5 November 2024.

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, menyambut baik dibentuknya Ditjen Gakkum ESDM yang juga merupakan tuntutan masyarakat untuk pengawasan yang lebih ketat dan penegakan hukum yang tegas.

“kehadiran direktorat ini diharapkan dapat mengatasi berbagai persoalan akut yang terjadi di sektor energi dan sumber daya mineral.” Katanya dalam rilis tertulisnya (8/11)

Menurutnya, sektor ini masih melekat dengan berbagai persoalan dan pelanggaran sebagai implikasi lemahnya pengawasan dan penegakkan hukum. Sebagai contoh, lubang tambang batubara yang dibiarkan menganga di Kalimantan Timur, yang menelan korban jiwa. Maraknya tambang ilegal, dimana lebih dari 2.700 titik tambang ilegal tersebar di seluruh Indonesia, terutama di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi (ESDM, 2023).

“Aktivitas tambang di pulau-pulau kecil yang marak terjadi. Misalnya, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan uji materiil UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) yang diajukan PT Gema Kreasi Perdana (GKP), seharusnya memperkuat tidak adanya aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil. Namun yang terjadi, justru sebaliknya, di Pulau Wawonii yang luasnya 715 kilometer persegi dan Pulau Kabaena seluas 873 kilometer persegi misalnya, aktivitas pertambangan di sana terus berjalan.” paaprnya

Aryanto mengungkapkan, di sektor hilir minyak dan gas bumi (migas) misalnya. Distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi sampai hari ini masih berada dalam bayang-bayang mafia BBM. Kasus Ipda Rudy Soik di Nusa Tenggara Timur semakin menegaskan keberadaan mafia BBM di Indonesia.

“Sederet persoalan-persoalan di atas menegaskan pentingnya sebuah pengawasan dan penegakkan hukum. Di satu sisi, dalam era digitalisasi perizinan saat ini, dan era perizinan berbasis risiko, penguatan pengawasan dan penegakan hukum adalah prasyarat utama,” ujarnya.

Lebih lanjut Aryanto menjelaskan bahwa, dalam hal implementasi tugas dan fungsi Ditjen Gakkum ESDM, PWYP Indonesia mendorong adanya mekanisme kelembagaan yang membangun kolaborasi, sinergi dan integrasi sektor ESDM dari hulu sampai hilir. Secara bersamaan, Ditjen Gakkum juga harus menjamin adanya ruang partisipasi masyarakat dan pengaduan masyarakat dalam pengawasan, terutama bagi mereka yang bersentuhan langsung dengan dampak aktivitas sektor ESDM

Sementara itu, Syaharani, Plt. Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mendorong agar ESDM segera membangun mekanisme kelembagaan pengawasan dan penegakkan hukum di daerah.

“Merespons banyaknya permasalahan penegakan hukum di daerah, dalam waktu dekat Kementerian ESDM untuk segera membangun mekanisme kelembagaan penegakan hukum di daerah. Salah satu isu saat ini, terkait minimnya Inspektur Tambang, sehingga pengawasan sulit dilakukan secara menyeluruh,” jelasnya.

Terpisah, Koordinator POKJA 30 Kalimantan Timur, Buyung Marajo mengingatkan kembali bahwa yang paling terdampak dari eksternalitas negative aktivitas pertambangan adalah masyarakat di daerah. Pemberian izin terhadap usaha pertambangan seringkali tidak transparan dan mengabaikan kelestarian lingkungan.

“Izinnya di Pusat (dikeluarkan pemerintah pusat), tapi dampak kerusakannya itu dirasakan oleh kami di daerah. Implementasi kebijakan pun seringkali koruptif, mengakibatkan konflik dan kerusakan alam, serta kriminalisasi,” katanya.

Buyung memaparkan, berbagai langkah dan upaya pengawasan serta dorongan penegakkan hukum di kepada pihak pemerintah, tak mendorong upaya signifikan terhadap penegakkan hukum di sektor sumber daya alam Kalimantan Timur.

“Sudah banyak dibentuk Satuan Tugas (Satgas), berbagai pertemuan, tapi tidak ada tindakan yang berarti. Justru yang terjadi, tambang ilegal semakin marak. Demikian juga lubang pasca tambang yang ditinggalkan tanpa reklamasi, hingga merenggut korban jiwa. Aktivitas pengangkutan batubara yang menggunakan fasilitas umum (jalan umum), semakin memperparah kerusakan infrastruktur jalan yang berakibat pada terhambatnya distribusi sektor ekonomi rakyat. Kerusakan infrastruktur tersebut, tentu menjadi beban keuangan negara/daerah,” urainya.

Menurut Buyung, keberadaan Ditjen Gakkum tentu dinanti-nanti dalam menjawab persoalan yang ada. Dengan harapan, terjadi peningkatan pengawasan dan peningkatan penegakkan hukum.

“Kami nantikan perubahan ke arah yang lebih baik lagi. Bukti jika negara menindak tegas pelanggaran yang dilakukan oleh rakyat maupun para oknum aparatur pemerintah dan keamanan yang melakukan pelanggaran atau perbuatan yang ilegal. Bahwa, sampai saat ini pun negara selalu lemah tak berdaya jika berhadapan dengan para pemodal dan pengusaha, yang berjaringan militer, misalnya. Padahal, pelanggaran itu terjadi tepat di depan mata mereka” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, tantangan kapasitas kelembagaan dalam penyelenggaraan pengawasan perizinan pertambangan, yakni salah satunya tentang rasio jumlah inspektur tambang. Jumlah inspektur tambang tidak sebanding dengan jumlah izin yang harus diawasi (PWYP Indonesia, 2021).

Saat ini, tercatat jumlah inspektur tambang di Indonesia sebanyak 492 (ESDM, 2023), sementara izin yang harus diawasi jauh lebih banyak berjumlah 4.409 izin, termasuk Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB) (ESDM, Januari 2024)***

Sumber: Media Indonesia News