“Dan terjadi lagi… Kisah lama yang terulang kembali..”
Sepenggal lirik lagu Noah berjudul Separuh Aku ini mungkin bisa menggambarkan kasus demi kasus korupsi yang menjerat pejabat di sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba). Terbaru, pada 9 Agustus 2023, Kejaksaan Agung (Kejagung) RI resmi menahan Ridwan Djamaluddin, mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan sejumlah pejabat lainnya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pertambangan ore nikel di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Padahal belum lama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah menetapkan setidaknya 10 tersangka kasus manipulasi tunjangan kinerja birokrasi di Ditjen Minerba pada pertengahan Juni tahun ini.
Kasus korupsi yang terus menerus terjadi dan berulang ini menunjukkan bahwa sektor pertambangan minerba masih masih menjadi sektor yang rawan terjadinya korupsi.
Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus dugaan korupsi yang kerugian negaranya ditaksir mencapai Rp 5,7 triliun tersebut. Kejagung harus mengusut jika ada keterlibatan oknum-oknum pejabat lainnya, kalangan pelaku usaha, politisi maupun aktor lainnya. Mengusut jika ada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dari aliran uang yang mengalir. Termasuk jika harus menerapkan tindak pidana pencucian uang maupun tindak pidana korporasi bagi perusahaan-perusahan yang terlibat di pusaran kasus ini. PWYP Indonesia juga mendesak Kejagung untuk transparan kepada publik dalam setiap tahapan penanganan tindak pidana korupsi ini.
PWYP Indonesia mendesak Presiden Jokowi dan Menteri ESDM untuk melakukan perbaikan tata kelola secara menyeluruh dan terintegrasi.
Kasus ini menegaskan bahwa tindak pidana korupsi di sektor pertambangan minerba merupakan kasus berkategori “state capture”, dimana korupsi tak semata administratif yang melibatkan suap atau uang pelicin, melainkan korupsi melalui akarnya, yakni korupsi melalui peraturan. Kejagung menyebut bahwa kasus ini berawal dari rapat terbatas guna membahas dan memutuskan untuk melakukan penyederhanaan aspek penilaian Rencana Kerja Anggaan dan Biaya (RKAB) perusahaan pertambangan, sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri ESDM Nomor: 1806K/30/MEM/2018 tanggal 30 April 2018.
Jenis korupsi yang bisa membuat dan mengubah kebijakan untuk memuluskan kepentingan kelompok tertentu ini-lah yang harus menjadi perhatian Pemerintah.
Upaya pencegahan harus mulai difokuskan pada penyusunan regulasi dan kebijakan perizinan di sektor pertambangan minerba. Pemerintah harus memastikan proses penyusunan kebijakan dan regulasi dilakukan secara transparan dan partisipatif, tidak hanya diputuskan dalam rapat-rapat terbatas yang hanya melibatkan pejabat dan pengusaha tertentu saja. Namun harus dibuka kepada publik, termasuk pelibatan kelompok masyarakat sipil dan masyarakat terdampak.
PWYP Indonesia juga mengingatkan bahwa salah satu problem pemicu adanya “state capture” adalah minimnya perhatian pada maraknya potensi konflik kepentingan di sektor pertambangan minerba, misalnya adanya dari rangkap jabatan pejabat kementerian menjadi komisaris BUMN atau perusahaan pertambangan.
kasus ini juga membuka tabir “gunung es” problematika terkait rawannya terjadi tindak pidana korupsi dalam pengurusan RKAB pertambangan minerba. Dari data Kementerian ESDM (Agustus 2023) yang mencatat 31 pemegang Kontrak Karya (KK), 59 Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B), 9 Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), 852 IUP Produksi Mineral, 908 IUP Produksi Batubara misalnya, mengharuskan petugas Ditjen Minerba untuk melakukan review terhadap RKAB jumlah tersebut. Meskipun, sudah ada sistem yang terdigitalisasi, namun dengan banyaknya RKAB yang harus di review dengan petugas review membuka sejumlah celah, seperti antrian berlarut RKAB dan lainnya. Belum lagi jika dikaitkan dengan pembinaan dan pengawasan yang masih lemah.
Narahubung:
Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional PWYP Indonesia
aryanto@pwypindonesia.org
081326608343