PWYP Indonesia berkesempatan menghadiri Konferensi Open Data ke-3, mempresentasikan dampak dan progres dari open data terhadap industri ekstraktif, yang berlangsung di Ottawa, Kanada 28-29 Mei 2015. Dalam sebuah sesi “Data dan Ekstraktif” PWYP menampilkan bagaimana open data berdampak positif terhadap industri ekstraktif seperti pertambangan, minyak, gas, serta kehutanan.
Dengan menggunakan data yang tersedia dari EITI, PWYP melalui anggota koalisi yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, mampu melakukan monitoring terhadap produksi dan pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan tambang; masyarakat adat mampu mengakses beberapa dokumen seperti data AMDAL dan CSR; atau mampu memantau dana bagi hasil yang ditransfer pemerintah pusat ke daerah, juga mampu memonitor pembelanjaan anggaran.
Jensi Sartin, Program Manager PWYP Indonesia dalam presentasinya mengatakan bahwa advokasi masyarakat sipil bisa mendapat manfaat dari kemajuan teknologi dan informasi seperti halnya perkembangan gerakan open data. “Kita sebaiknya mengendalikan gelombang open data” ujar Jensi. Ia menjelaskan, bagaimanapun kita tidak seharusnya tenggelam dalam potensial jumlah data yang terbuka oleh gerakan open data ini, juga sebaiknya tidak kewalaha dengan teknologi itu sendiri.“Akhirnya, kita harus sadar bahwa dalam konteks (industri ekstraktif), dalam banyak kasus, mereka yang terdampak dari industri ekstraktif sebagian besar adalah mereka yang tidak mempunyai akses setara seperti teknologi”.
Seperti halnya daerah pilot PWYP yang mempunyai akses komunikasi terbatas. “Saya ingat ketika Kepala Desa meminta maaf karea tidak bisa membalas sms dengan segera. Saya tanya kenapa? Kepala Desa mengatakan tidak membalas pesan dengan segera karena untuk membalas pesan, dia harus mengakses sinyal hp dengan berjalan ke luar desa, memanjat pohon kelapa, baru menerima dan membalas sms”. Oleh karenya, pendampingan masyarakar harus menjembatani kesenjangan ini. “Bahkan menurut saya, kita perlu mengalokasikan sumber daya dalam memperluas akses sebelum memajukan teknologi” ujar Jensi.
Berdasar hasil kemajuan aplikasi open data sektor ekstraktif di Indonesia, Jensi percaya bahwa ada kesempatan yang luas untuk publik untuk menggunakan data sebagai salah satu alat dalam mengembangkan tata kelola dalam sektor ekstraktif juga dalam mengadvokasi hak-hak mereka. “Kita mendambakan format data yang terkoneksi, dimana data izin pertambangan terkoneksi dengan data produksi pertambagangan, ,terhubung dengan data penerimaan, dan terhubung dengan belanja anggaran, dan terhubungnya data antara pemerintah pusat dan daerah” ujar Jensi. Seperti halnya sistem yang terbuka sehingga bisa diakses public, seperti apa yang saya dan teman lakukan di hutan Kalimantan dalam memonitor pertambangan bauksit berkontribusi terhadap perkembangan desa.
Pembelajaran dari daerah pilot PWYP Indonesia dan Swandiri Institute menunjukkan bahwa monitoring yang dilakukan masyarakat bisa berperan signifikan dalam mengawasi industri ekstraktif yang sebelumnya nampak “tidak mungkin”. Arif Munandar dalam presentasinya, menunjukkan bahwa pemetaan partisipatif dengan menggunakan wahana tanpa awak (drone) efektif dan murah dalam mengawasi sektor ekstraktif. “Menggunakan drone yang dibuat sendiri, kita bisa memonitor dan memetakan hutan dan daerah operasi tambang, dan mengidentifikasi beberapa cacat dalam peta spasial daerah (RTRW) yang bersinggungan dengan izin tambang, hutan lindung, perebutan lahan, dan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tambang”. Akhirnya, PWYP Indonesia and Swandiri Institute berencana untuk mereplikasi dan memperluas pilot project di Kalbar ke provinsi lainnya di Indonesia.