JAKARTA-Koalisi masyarakat sipil Publish What You Pay Indonesia mendesak agar Setya Novanto mundur dari posisinya sebagai Ketua DPR terkait dugaan pelanggaran etika yang dilakukannya selaku Ketua DPR RI. Setya Novanto diduga melakukan percobaan pemufakatan jahat, berdasarkan pada rekaman yang diperdengarkan secara terbuka kepada publik dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia mengatakan, kasus ini diindikasi salah satu bentuk memperdagangkan pengaruh pejabat publik dalam perpanjangan kontrak/ijin pertambangan Freeport Indonesia dan indikasi permintaan saham dalam proyek PLTU di Papua yang mengarah pada memperkaya diri sendiri/kelompok dan berpotensi merugikan Negara. “Oleh karenanya, sudah sepantasnya Setya Novanto mundur dari posisinya sebagai Ketua DPR RI,” tegas Maryati, Selasa (7/12) di Jakarta.

Menurut Maryati kasus pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla telah menodai kehormatan Presiden dan Wakil Presiden sebagai simbol Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga sudah sepantasnya kasus ini kuga diteruskan melalui proses hukum. “Standar etika pejabat publik juga harus diperketat. Terutama terkait integritas serta penghindaran terhadap klausa conflict of interest pejabat publik” tuturnya.

Menanggapi hal ini, Fabby Tumiwa, Direktur Executive IESR mengatakan MKD harus fokus pada pelanggaran etika Setya Novanto. “Pertemuan yang dilakukan SN, MR dan MS merupakan pertemuan bermuatan kepentingan ekonomi, yang jelas-jelas melanggar etika anggota DPR. Proses pro justicia lainnya biarkan berjalan secara alami,” katanya.

Selain itu, lanjut Fabby, terjadinya kasus ‘calo’ saham Freeport Indonesia ini semestinya membuat pemerintah terdorong untuk segera merevisi UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara. Poin penting yang perlu dimasukan adalah transparansi proses pemberian izin pertambangan dalam revisi UU Minerba.

“Proses transparansi perpanjangan izin pertambangan kedepannya perlu melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat, yang harus didahului oleh evaluasi atas kinerja pelaksanaan kontrak/ijin sebelumnya” tegasnya.

Direktur Executive Indonesia Parliamentary Center (IPC), Hanafi Ahmad menambahkan,”Perubahan sidang MKD saat memeriksa Setya Novanto yang tiba-tiba tertutup menunjukkan bahwa MKD tidak memihak kepada publik sekaligus menutup ruang bagi publik untuk mengawasi jalannya sidang. Padahal membuka sidang MKD merupakan kesepakatan anggota MKD sebelumnya, apalagi ini menyangkut persoalan yang telah menjadi polemik hangat di publik. Satu-satunya jalan bagi MKD untuk mengembalikan integritas dan kepercayaan publik kepada parlemen adalah menunjukkan keterbukaan, baik proses rapat di DPR maupun hasil rapat yang dapat diakses oleh publik. Kasus ini harus menjadi tonggak keterbukaan parlemen, bukan malah mengubur keterbukaan parlemen” imbuhnya.