Jakarta, Portonews.com – Koalisi Masyarakat Sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mendesak Presiden Jokowi dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, untuk konsisten tak lakukan kebijakan pelonggaran (relaksasi) ekspor bahan mentah (ore material) dan konsentrat mineral. Dilansir dari Harian Kontan (14/2/2023), Pemerintah akan kembali melonggarkan larangan ekspor mineral mentah dikarenakan kemungkinan proyek smelter yang molor dari jadwal. Penelusuran Kontan menyebut mayoritas pengusaha mineral juga tidak keberatan apabila diberlakukan pengenaan bea tambahan ketimbang ekspor distop 100 persen.

Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menyebut, jika relaksasi larangan ekspor mineral mentah dilakukan kembali, ini merupakan langkah mundur dalam upaya mendorong peningkatan nilai tambah dalam kerangka percepatan transisi energi dan pembangunan berkelanjutan.
“Ini juga bertentangan dengan pernyataan Presiden Jokowi dalam pernyataan pers di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu 21 Desember 2022 lalu yang menyatakan bahwa mulai Juni 2023, pemerintah akan memberlakukan pelarangan ekspor bijih bauksit dan mendorong industi pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri,” jelas Aryanto pada Portonews, Kamis (23/2/2023).

PWYP Indonesia menegaskan bahwa rencana kebijakan relaksasi ekspor ini bertentangan dengan amanat Undang-Undang Mineral dan Batubara. Seperti diketahui, Pasal 103 Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada tahap kegiatan operasi produksi mineral untuk melakukan pengolahan dan/atau pemurnian mineral hasil penambangan di dalam negeri.

Juga akan bertentangan dengan Pasal 170A UU Minerba dimana Pemegang Kontrak Karya (KK), IUP, atau IUPK Mineral logam yang telah melakukan kegiatan Pengolahan dan Pemurnian; dalam proses pembangunan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian; dan/ atau telah melakukan kerjasama Pengolahan dan/atau Pemurnian dengan pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi lainnya, atau IUP Operasi Produksi khusus untuk Pengolahan dan Pemurnian atau pihak lain yang melakukan kegiatan Pengolahan dan/atau Pemurnian, dapat melakukan Penjualan produk Mineral logam tertentu yang belum dimurnikan dalam jumlah tertentu ke luar negeri dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak UU Minerba diberlakukan atau di Juni 2023. “Rencana kebijakan tersebut juga secara nyata bertentangan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PUU-XII/2014 yang memperkuat kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dan menyatakan bahwa semangat UU Minerba sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 karena kewajiban ini secara langsung maupun tidak langsung memberikan manfaat sebesar -besarnya bagi kemakmuran rakyat,” tegas Aryanto mengungkapkan, rencana relaksasi larangan ekspor mineral mentah dilakukan kembali, akan menambah daftar inkonsistensi Pemerintah yang harusnya mempercepat realisasi hilirisasi mineral, mulai dari terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 20 Tahun 2013, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014, Permen ESDM Nomor 5 tahun 2016, PP Nomor 1 Tahun 2017, Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018 sampai dengan Permen ESDM Nomor 17 Tahun 2020.

“Total 14 tahun sejak UU Nomor 4 Tahun 2009 diterbikan, waktu yang diberikan untuk Pemerintah dan pelaku usaha untuk membangun industri hilir. Bahwa sampai hari ini, progress hilirisasi masih belum sesuai target, bukan berarti solusinya adalah kebijakan relaksasi ekspor mineral mentah,” tegas Aryanto.

PWYP Indonesia justru menduga, lambannya perkembangan hilirisasi mineral dikarenakan Pemerintah terus menerus melakukan pelonggaran. Meskipun Pemerintah melakukan pembatasan minimum dari hasil pengolahan dan pemurnian, serta mensyaratkan adanya ketentuan-ketentuan bagi pengurusan izin ekspor misalnya kewajiban pembangunan smelter. Relaksasi ekspor mineral berdampak pada meningkatnya laju eksploitasi sumber daya alam.

Pelonggaran kembali keran ekspor mineral mentah dapat mengacaukan upaya pembenahan dan penataan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Indonesia. Selain itu, mengakibatkan pembukaan lahan hutan yang masif timbulnya praktik pertambangan yang tidak bertanggung jawab.

Laporan dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) tahun 2016 menyebutkan bahwa kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah telah menurunkan praktek pertambangan ilegal. Sehingga, dengan dibukanya keran ekspor mineral mentah, maka dapat dipastikan memicu keberadaan pertambangan ilegal. Dalam laporan tersebut, yang dimaksud dengan pertambangan ilegal bukan terbatas pada aktivitas yang tidak berizin, melainkan dapat berbentuk perusahaan berizin tetapi berproduksi di atas kuota atau menambang di luar areal yang diizinkan, atau menjalankan praktek pertambangan yang tidak baik.

Padahal telah banyak kajian yang dilakukan baik oleh Pemerintah maupun akademisi banyak manfaat secara ekonomi dengan adanya hilirisasi mineral. Kementerian ESDM (2023) misalnya menyebut hilirisasi bauksit dapat meningkatkan nilai ekspor sebesar USD 1.502,9 juta dan menyerap 7.627 tenaga kerja. Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Invetasi (Kemenko Marvest) (2022) bahkan menyebut hilirisasi mineral telah mendorong pertumbuhan investasi yang signifikan di industri pengolahan mineral, khususnya di industri nikel, tumbuhnya kawasan industri berbasis mineral di luar Jawa, dan Perkembangan perekonomian Indonesia baik lokal maupun nasional.

Alih-alih menyiapkan kebijakan relaksasi mineral mentah, sudah seharusnya Pemerintah fokus mendorong kebijakan untuk mempercepat hilirisasi mineral. Mulai dari regulasi, pemberian insentif, memperkuat pembinaan dan pengawasan, serta memastikan kepatuhan terhadap aspek lingkungan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Termasuk mitigasi resiko jika ada gugatan-gugatan di level internasional sebagaimana gugatan Uni Eropa di WTO atas kebijakan kebijakan hilirisasi nikel beberapa waktu lalu.

Aryanto juga mengingatkan bahwa kebijakan hilirisasi mineral tidak boleh berseberangan dengan tujuan dari transisi energi untuk adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim sekaligus pencapaian Sustainable Development Goals (SDG’s). Bahwa mineral akan semakin dibutuhkan untuk kebutuhan transisi energi, bukan berarti menjadi pembenar eksploitasi mineral secara besar-besaran. Prinsip-prinsip transisi energi berkeadilan harus tetap menjadi pedoman dalam implementasinya.

Sumber: Porto News