Jakarta – International Institute for Sustainable Development (IISD) bersama Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Menuju Rantai Pasok Nikel yang Lebih Bertanggung Jawab untuk Mendukung Transisi Energi Indonesia” di bilangan Jakarta Selatan, pada Rabu, 12 Februari 2025. Didukung oleh Viriya ENB, acara ini bertujuan memperkuat tata kelola nikel sebagai mineral kritis dalam mendukung pembangunan berkelanjutan dan transisi energi global, sekaligus mengatasi tantangan keberlanjutan dalam ekstraksi dan pengelolaannya.
Indonesia, yang menguasai 42% cadangan nikel dunia atau sekitar 5,03 miliar ton menurut U.S. Geological Survey (USGS) 2023, memainkan peran strategis dalam rantai pasok global untuk teknologi energi bersih, seperti baterai kendaraan listrik (EV) dan penyimpanan energi. Produksi nikel Indonesia bahkan menyumbang 51% dari total global pada 2023. Namun, dengan cadangan yang diperkirakan hanya bertahan 10 tahun pada tingkat ekstraksi saat ini, forum ini menekankan urgensi pengelolaan sumber daya yang bertanggung jawab.
FGD ini menghadirkan lebih dari 20 organisasi, melibatkan perwakilan pemerintah seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), asosiasi industri, perwakilan organisasi masyarakat sipil dan organisasi internasional seperti Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) dan International Energy Agency (IEA).
Diskusi difokuskan pada kerangka kebijakan dan regulasi ESG (Environmental, Social, and Governance), dampak lingkungan pertambangan, transparansi rantai pasok, serta hak masyarakat terdampak.
Tantangan Implementasi ESG
Tantangan dalam menerapkan ESG masih signifikan. Meidy Katrin dari APNI mengungkapkan bahwa biaya penerapan ESG cukup besar, sementara pasar tidak membedakan nikel berbasis ESG dengan yang tidak. “Harga nikel turun, sementara ESG menambah biaya operasional. Belum ada regulasi tegas yang mendorong kepatuhan,” ujarnya. Fauzan Arif dari Kementerian Perindustrian menambahkan bahwa meskipun ada Kebijakan Industri Hijau yang selaras dengan enam SDG, belum ada standar hijau khusus untuk nikel, padahal emisinya cukup tinggi.
Di sisi lain, Grita Anindarini dari ICEL menyoroti rendahnya kepatuhan industri terhadap standar lingkungan, seperti pembuangan limbah dan kompensasi masyarakat yang tidak memadai. “Pertambangan menyumbang pelanggaran terbanyak. Tanggung jawab perusahaan terhadap warga lokal, apakah hanya transfer pengetahuan atau penyerapan tenaga kerja, masih abu-abu,” tegasnya. Ia merekomendasikan regulasi yang lebih ketat dan transparan.
Menanggapi hal ini, Dr. Lyta Permatasari dari Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa pihaknya sedang memperkuat pengawasan AMDAL, menyederhanakan perizinan, dan merancang regulasi baru serta insentif untuk keberlanjutan. “Kami fokus pada mobilisasi sumber daya dan regulasi yang jelas untuk membantu pemangku kepentingan,” ujarnya optimistis.
Kegiatan ini ditutup dengan sejumlah rekomendasi untuk memperkuat koordinasi antar-regulasi ESG yang masih terfragmentasi, membangun mekanisme penegakan hukum yang kuat, dan terus memfasilitasi dialog multi-stakeholder. Dengan sinergi ini, Indonesia diharapkan menjadi pemimpin dalam rantai pasok nikel yang bertanggung jawab, mendukung transisi energi global sekaligus memberikan manfaat sosial dan lingkungan bagi masyarakat lokal.