Jakarta, PWYP Indonesia – Jelang Rakernas 2021, PWYP Indonesia gelar diskusi daring bertajuk “Transisi Energi Dalam Kerangka Pembangunan Regional Berkelanjutan”, pada Kamis (4/2). Hadir sebagai narasumber dalam diskusi ini Tony Susandy, Ditjen EBTKE ESDM; Satya Widya Yudha, anggota Dewan Energi Nasional (DEN); Hendriansyah, Kepala Dinas ESDM Provinsi Sumatera Selatan dan Grita Anindarini, Deputi Direktur ICEL.
Tony Susandy, perwakilan dari Ditjen EBTKE ESDM, membuka diskusi dengan menekankan bahwa diperlukan program percepatan untuk pemenuhan target EBT melalui pembangunan pembangkit EBT dengan biaya kompetitif serta penempatan EBT sebagai kegiatan pemulihan ekonomi nasional. Ia menekankan adanya total potensi EBT yang ada di Indonesia sebesar 417,8 GW, namun pemanfaatan/kapasitas terpasangnya masih 10,4 GW. Tony menjelaskan program percepatan EBT yang dilakukan melalui substitusi energi primer/final, konversi energi primer fosil, penambahan kapasitas EBT, serta pemanfaatan EBT non-listrik/non-BBM.
“Sejauh ini, Kementerian ESDM telah menjalankan sejumlah program untuk memenuhi target EBT, diantaranya kebijakan mandatori biodiesel untuk mengurangi impor dan menghemat devisa, program co-firing biomassa, pengembangan PLTS skala besar, konversi pembangkit listrik BBM ke EBT, program pengembangan PLTS atap bangunan, serta peluncuran kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) untuk meningkatkan ketahanan energi nasional”, jelas Tony.
Lebih Lanjut, Satya Widya Yudha menekankan pentingnya perubahan paradigma pengelolaan energi Indonesia, dari yang awalnya komoditas menjadi agen dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan modal pembangunan. Terdapat peraturan yang membahas hal tersebut yaitu PP 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Prioritas pengembangan energi dapat dilakukan dengan mengembangkan sektor industri di daerah yang kaya akan sumber daya alam terkait.
Terkait penyusunan RUED, Satya menjelaskan bahwa “Sejauh ini, terdapat 19 provinsi yang telah menetapkan Perda terkait RUED, 2 provinsi dalam proses pengundangan di daerah, 1 provinsi dalam proses fasilitasi nomor register di Kemendagri, 9 provinsi sudah memasukkannya dalam Propemperda 2021, dan 3 provinsi sudah memiliki draft Ranperda RUED namun belum memiliki anggaran tahun 2021.” paparnya.
Hendriansyah, Kepala Dinas ESDM Sumatera Selatan memberikan perspektif daerah dalam persoalan transisi energi dan pembangunan berkelanjutan. Ia mengakui bahwa Sumatra Selatan memiliki urgensi untuk menjalankan transisi energi karena produksi dan lifting dari sektor migas kian menurun tiap tahun. Hal ini didukung dengan besarnya potensi EBT yang ada di Sumatera Selatan, yaitu dengan total 21.032 MW dan baru dimanfaatkan sebesar 859 MW (4,08%). Selain itu, terbitnya UU No 3 Tahun 2020 tentang Minerba membuat keterbatasan kewenangan Provinsi dalam mengelola sektor minerba. Hal ini tentunya membuat Sumatera Selatan semangat berkontribusi dalam target pemanfaatan sektor EBT serta membantu mengurangi ketergantungan impor BBM.
Di sisi lain, Hendriansyah juga menjelaskan tantangan dalam pemanfaatan EBT di Sumatera Selatan, diantaranya menurunnya pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari migas dan minerba yang mengakibatkan adanya pengurangan tenaga kerja, serta mengeluarkan biaya untuk penggantian teknologi menjadi hemat energi dan energi terbarukan. “Namun Sumatera Selatan siap menjadi lumbung energi nasional dalam sektor EBT dengan memasok serta optimalisasi dan konservasi energi lokal dan nasional, dan pengembangan infrastruktur energi di daerah”, ungkap Hendriansyah.
Sementara itu, Grita Anindarini, Deputi Direktur ICEL Kembali mengingatkan energy trilemma atau piramida energi agar dapat mencapai transisi energi yang berkelanjutan, yaitu energy security, environmental sustainability, dan energy equity. Ia berpendapat bahwa banyak yang masih salah kaprah mengenai energi baru (contoh: gasifikasi batubara, nuklir) dan energi terbarukan/berkelanjutan (contoh: angin, surya). Energi baru dan energi terbarukan mendapatkan prioritas serta perlakuan yang sama dalam regulasi. Padahal resiko dan ancaman lingkungan keduanya berbeda. Untuk mengawasi hal tersebut, peran penting keterlibatan masyarakat dalam transisi energi diperlukan.
Selain itu, Grita juga menegaskan perlunya ruang partisipasi publik yang komprehensif sejak tahap awal pengambilan keputusan untuk membuka peluang adanya revisi berdasarkan informasi baru yang didapat dari masyarakat. Peran masyarakat sipil dapat berupa pengawalan dan pengawasan terhadap pemerintah dalam penyusunan RUEN/RUED, RUKN/RUKD, RUPTL, serta AMDAL, RTRW, dan KLHS, serta implementasinya.
Grita dalam penutupnya menerangkan bahwa kondisi kerangka hukum saat ini belum mendukung untuk pengembangan EBT. “Sudah hampir 14 tahun sejak terakhir EBT diatur dalam bentuk PP pada UU 30/2007.
Diperlukan regulasi/aturan lebih tinggi yang konsisten agar target bauran EBT dapat tercapai”, tutup Grita. Sebagaimana diketahui, target capaian terhadap bauran energi nasional dalam penggunaan energi baru terbarukan (EBT) pada tahun 2025 adalah 23%. Sementara capaian penggunaan EBT di Indonesia per tahun 2020 masih jauh dari target, yakni di angka 10,90%. (ka)