Majelis Hakim Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) pada Kamis (20/1) lalu mengabulkan dua gugatan sengketa informasi terkait data dan dokumen sektor tambang batubara yang tidak dibuka oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Putusan tersebut menegaskan informasi pertambangan seharusnya terbuka sejak awal pengajuan dan perpanjangan izin.
Gugatan Sengketa Informasi Publik yang diajukan oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur dilatari oleh tidak terbukanya Kementerian ESDM dalam memberikan informasi dan data tentang kontrak dan dokumen evaluasi kinerja lima perusahaan raksasa pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Petambangan Batubara (PKP2B) yang masa berlaku kontraknya sudah dan akan habis.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, Pradarma Rupang, mengatakan ada empat hal yang dimohonkan pihaknya kepada ESDM RI untuk dibuka, yaitu kontrak karya 5 perjanjian karya PKP2B di Pulau Kalimantan yang masa izin dan kontraknya akan berakhir mulai 2021 dan 2022; catatan perkembangan diskusi pemerintah tentang evaluasi perpanjangan izin dan kontrak; rekaman dan atau notulensi rapat pemerintah tentang proses evaluasi terhadap izin yang mengajukan perpanjangan izin dan kontrak; dan daftar nama, profesi, jabatan serta pihak-pihak dan juga lembaga yang terlibat dan diundang dalam evaluasi perpanjangan dalam mengevaluasi kontrak PKP2B yang akan berakhir.
Rupang megatakan kontrak karya ini penting dibuka karena masyarakat di wilayah Kaltim terhubung langsung dengan entitas empat perusahaan yang pada akhirnya masyarakat menanggung krisis ancaman keselamatan dan sejumlah konflik yang tidak dapat diselesaikan.
“Konflik ini terus-menerus berlapis dan terus menumpuk yang diharapkan ada kejelasan pertanggungjawaban atas pelanggaran, penegakan hukum dan mengenai urusan kewajiban perusahaan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat di sekitar tambang,” katanya. dalam diskusi yang dilangsungkan secara online pada Senin (31/1).
Selama ini, kata Rupang, mengenai hal-hal terkait hak dan kewajiban masyarakat yang terdampak perusahaan tambang tidak pernah diketahui masyarakat.
“Kehadiran perusahaan tambang ini menyangkut kemaslahatan dan hajat hidup orang banyak. Bagaimana persoalan mengenai sumber air bersih rakyat hilang dengan kehadiran aktivitas mereka di hulu sungai. Hal ini juga berdampak pada perubahan ekosistem yang menyebabkan satwa liar ramai datang ke persawahan karena daerah asalnya dirusak,” sambungnya.
Rupang turut mempertanyakan berapa sebenarnya yang diterima negara dari kehadiran perusahaan dan ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa terjawab ketika masyarakat tidak bisa mengakses kontrak karya antara pemerintah dan perusahaan. “Kita tahu, banyak hak masyarakat yang seharusnya diterima yang dinyatakan di dalam kontrak tetapi tidak pernah diuraikan oleh pemerintah,” katanya.
Posisi dan dasar hukum mengajukan gugatan sengketa informasi publik tercantum dalam Pasal 10 Undang-Undang No.3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menjelaskan mengenai peran dan partisipasi masyarakat dalam wilayah pertambangan.
Penyusunan dan penetapan wilayah pertambangan harus diselenggarakan secara transparan, partisipatif dan bertanggungjawab. Bahkan, terpadu dengan mengacu pada pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat terdampak dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, hak asasi manusia dan sosial budaya serta berwawasan lingkungan dan dengan memperhatikan aspirasi daerah.
Rupang juga menjelaskan penting bagi masyarakat melakukan uji formil dalam pengajuan permohonan informasi ini. “Semua kejahatan dan pelanggaran pengrusakan perusahaan turut dipercakapkan dan ditagih tanggung jawabnya dalam proses evaluasi,” ujarnya.
Sejalan dengan itu, kuasa hukum penggugat M. Jamil mengatakan ada perubahan fundamental yang merampas hak asasi setiap warga negara untuk terlibat dalam proses evaluasi terkait dengan jenis industri pertambangan di wilayah mereka.
“Pasca revisi UU Minerba 3/2020 ada sejumlah perubahan fundamental yang menjadikan pembangkangan terhadap konstitusi karena itu merupakan kesejahteraan rakyat, dari awal saja masyarakat tidak mendapat informasi, mereka ditipu dan informasi disembunyikan dari mereka, padahal hal itu berkaitan dengan kelangsungan hidup mereka,” katanya.
Adanya gugatan sengketa informasi ini mencakup kontrak pengelolaan kekayaan alam Indonesia, kontrak ini memiliki dimensi publik sehingga masuk ke dalam kategori keputusan publik yang seharusnya dibuka dan melibatkan partisipasi publik secara luas.
Menurutnya, dikabulkannya gugatan tersebut merupakan kemenangan bagi publik yang selama ini terkena dampak dari operasional perusahaan tambang, serta penyembunyian data dan dokumen yang selama ini dilakukan oleh Kementerian ESDM yang merupakan perbuatan yang salah secara hukum.
Masih Memiliki Tantangan
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti, mengungkapkan kemenangan warga terdampak perusahaan tambang ini masih memiliki tantangan ke depannya. “Kemungkinan termohon yang sudah dikalahkan bisa mengajukan keberatan ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan kemudian bisa dalam waktu 14 hari dan kasasi,” ujarnya.
Bivitri melanjutkan, signifikansi putusan ini memberikan argumentasi sangat kuat bagi wilayah di lingkungan terhadap kontrak karya terkait bisnis pertambangan. Ia melihat kasus ini sebagai urusan publik karena usaha pertambangan ini berada di ranah publik yang berdampak langsung kepada masyarakat.
“Sudah ada yurisprudensi yang agak lama, tapi secara hukum komisi informasi tidak menggunakan putusan-putusan terdahulu untuk membangun argumentasi mereka untuk suatu kasus, sehingga yurisprudensi yang dulu yang sudah ada, tidak digunakan secara serta merta namun harus diangkat oleh kuasa hukum,” sambungnya.
Bivitri menguraikan ada dua signifikansi terhadap kontrak karya terkait bisnis pertambangan. “Pertama, kita harus mendorong persoalan ini menggunakan forum-forum alternatif yang sudah termasuk ke komisi informasi seperti komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman dan lain-lain,” katanya.
“Kedua, partisipasi masyarakat dalam pertambangan. Bisa dengan konstruksi hukum tapi juga argumentasi besar soal di mana wilayah pertambangan ini berada,” sambungnya.
Signifikansi tersebut akhirnya menjadi litigasi strategis yang digunakan untuk mengedepankan fakta tadi yang bukan lagi persoalan bisnis tetapi sudah menyangkut wilayah publik. Putusan ini menjadi dampak dan memiliki narasi kuat bahwa pertambangan itu urusan masyarakat luas karena berdampak bagi masyarakat dan lingkungan.
Di dalam kesempatan yang sama, Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho, mengatakan selain yurisprudensi yang harus dibuka, hal ini juga menyangkut persoalan etika bernegara.
“Ini merupakan etika bernegara yang sedang di tagih, kita perlu mengetahui perpanjangan itu untuk apa, apa dasar kebijakannya dan untuk kepentingan siapa, semua ini harus dipertanggungjawabkan. Detail dari dokumen-dokumen tersebut juga penting, terkait siapa yang terlibat dalam evaluasi berikut catatannya untuk me-highlight moral konflik kepentingan,” ujarnya.
Penyembunyian informasi mengakibatkan ancaman keselamatan dan bahkan melahirkan konflik yang tidak kunjung usai. Dengan dimenangkannya gugatan sengketa informasi tersebut, kata Bivitri, Kementerian ESDM tidak seharusnya menutup informasi. Informasi harus dijamin agar masyarakat mengetahui yang dilakukan pemerintah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan bernegara, yang mana keterbukaan informasi adalah kuncinya.
Sumber: Hukum Online