Bahan tambang mineral mentah merupakan kekayaan dari kandungan perut bumi Indonesia dan harus dikelola sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Konstitusi UUD 1945 telah menegaskan mandat tersebut. Karena itu, menjual bahan tambang mentah ke luar negeri (ekspor) tanpa melakukan pengolahan dan pemurnian sama saja mengkhianati cita-cita luhur dari pengelolaan sumber daya alam.

Padahal, jika bahan mineral mentah diolah dan dimurnikan di dalam negeri dapat kita bayangkan berapa penambahan tenaga kerja dapat terlibat dalam industri pengolahannya, berapa rumah tangga keluarga yang ditopang sumber kehidupannya dari sini, berapa penambahan penghasilan bagi tenaga kerjanya, berapa banyak industri ikutan yang akan tumbuh, serta berapa banyak pajak yang bisa diraup oleh negara dari berkembangnya rantai perekonomian ini? Apakah kita masih mau mengorbankan ibu pertiwi demi pendapatan langsung dan sesaat dari ekspor bahan mentah tersebut?

Kajian Pusdatin, Kementrian ESDM (2012) menunjukkan peningkatan sebesar 10,23 kali lipat jika bauksit diolah menjadi alumina, mengingat harga bauksit di tahun 2011 sebesar US$ 29,00 per ton, sementara harga alumina mencapai US$ 274,00 per ton. Sedangkan jika alumina diolah menjadi aluminium, maka nilai jualnya akan menjadi US$ 3.822,00 per ton, 139,23 kali lipat dibandingkan dengan harga bauksit mentah.

Penelitian LPEM Universitas Indonesia tahun 2016 membuktikan bahwa pembangunan smelter untuk pengolahan dan pemurnian mineral bauksit di Kalimantan Barat dapat meningkatkan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar. Tanpa smelter, 10 orang pekerja pertambangan dapat menciptakan kesempatan kerja bagi sekitar 14 orang di Kalbar. Sedangkan dengan adanya smelter, 10 orang pekerja pertambangan ini dapat menciptakan kesempatan kerja bagi 19 orang di Kalbar.

Bagaimana Perundang-Undangan Mengatur Ini?
Secara kebijakan, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) Pasal 102 dan 103 telah menegaskan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral mentah di dalam negeri. Pasal 170 UU yang sama juga mewajibkan seluruh pemegang Kontrak Karya (KK) yang sudah berproduksi seperti PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, dan lain-lain untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU Minerba diundangkan, yakni Tahun 2014.

Sejalan dengan kebijakan ini, pemerintah menerapkan kebijakan larangan ekspor mineral mentah (tanpa pengecualian) di tahun 2012 melalui Permen ESDM No. 7/2012. Namun, dari rentetan kebijakan yang selanjutnya dikeluarkan, pemerintah justru terlihat plin plan. Sebut saja Permen ESDM No. 20/2013 yang memberikan tenggat waktu untuk eskpor mineral mentah hingga Januari 2014 dan Permen ESDM No. 1/2014 yang mengizinkan ekspor konsentrat hingga Januari 2017. Bahkan kini ada gelagat untuk kembali melakukan pelonggaran aturan (relaksasi ekspor).

Di tahun 2014, APEMINDO dan perusahaan mineral lainnya pernah mengajukan permohonan pengujian pasal 102 dan 103 UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi. Namun, putusan MK nomor 10/PUU-XII/2014 menolak permohonan APEMINDO. Menurut MK, dalih mengenai PHK besar-besaran jika larangan ekspor berlaku tidak akan terjadi jika perusahaan tambang sedari awal mempunyai komitmen kuat dalam pengolahan dan pemurnian mineral dengan mendirikan smelter atau bekerjasama dengan perusahaan lain yang mempunyai fasilitas tersebut.

Relakah kita jika bumi pertiwi kembali menangis karena dieksploitasi habis-habisan demi kepentingan ekonomi sesaaat? Karena itu kami meminta agar Bapak Presiden Joko Widodo, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk:

TIDAK MEMBIARKAN BAHAN MENTAH DIEKSPOR BEGITU SAJA!
Tolak berbagai kebijakan pelonggaran izin ekspor mineral mentah

Hal tersebut dikarenakan:

  1. Izin ekspor mineral mentah bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia yang memandatkan pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
  2. Izin ekspor memicu eksploitasi sumberdaya mineral dan batubara secara besar-besaran dan tidak bertanggung jawab. Terbukti, sejak 2011 hingga 2016 terdapat penambahan izin usaha pertambangan dari 9.662 IUP hingga 10.066 IUP. Padahal, 3.682 IUP Mineral berstatus non-Clear & Clean, 6,3 juta hektar diantaranya beroperasi di hutan lindung dan hutan konservasi; 24% perusahaan selama (2010-2012) tidak memiliki nomor pokok wajib pajak; 75% nya tidak membayar dana jaminan reklamasi dan pasca-tambang, juga perusahaan menunggak penerimaan negara sebesar 23 Triliun (2016).
  3. Pelonggaran ekspor mineral telah memicu eksploitasi sumber daya mineral yang berlebihan yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Degradasi fungsi lingkungan tidak hanya diwariskan oleh kegiatan pertambangan yang tidak berizin, namun juga berasal dari kegiatan pertambangan berizin, namun beroperasi di luar kawasannya.
  4. Pelonggaran keran ekspor dan kewajiban pembangunan smelter telah memunculkan ketidakpastian hukum. Inkonsistensi kebijakan dan kurangnya koordinasi antarkementerian (Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian dalam pengurusan izin industri smelter) – telah menyebabkan perkembangan industri smelter berjalan lambat.
  5. Pembukaan kembali keran ekspor konsentrat dan mineral mentah dapat mengacaukan upaya pembenahan dan penataan izin usaha pertambangan (IUP) di Indonesia yang telah dirintis oleh KPK, Kementerian ESDM, bersama Pemda dan instansi terkait.
  6. Sekali lagi, relaksasi ekspor konsentrat akan menjerat Indonesia kembali pada kegiatan ekonomi eksploitatif ala kolonial, dimana sumber daya alam hanya dipandang sebagai sebuah komoditas. Tidak ada penambahan nilai (added value) bagi perekonomian negara dan masyarakat.

Untuk menandatangani petisinya, klik di sini.