Siaran Pers PWYP Indonesia
Untuk dipublikasikan pada 10 Juli 2019 dan setelahnya
Jakarta — Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mendesak Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk konsisten menegakkan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) dalam penyelesaian isu perpanjangan usaha Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B).
Polemik ini makin mengemuka setelah Presiden mengembalikan draft revisi ke-6 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) kepada Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), yang akan menjadi landasan hukum dalam pemberian perpanjangan usaha kepada sejumlah pemegang PKP2B yang dalam waktu dekat akan berakhir. Dan kemudian, Kementerian ESDM juga mencabut Surat Keputusan (SK) pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang sebelumnya diberikan kepada PT. Tanito Harum yang diterbitkan pada pertengahan Januari 2019 yang lalu.
Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia mengungkapkan, “Terlepas dari adanya surat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan surat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi draft revisi ke-6 PP 23 Tahun 2010, tarik ulur ini tidak akan berkepanjangan, selama semua pihak konsisten berpegang pada mandat UU Minerba,”.
Maryati mengingatkan bahwa isu ini harus dilihat dalam kerangka proses renegosiasi atas KK dan PKP2B sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Minerba, meliputi 6 isu strategis, yaitu: luas wilayah kerja, kelanjutan operasi pertambangan, penerimaan negara, kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban divestasi, kewajiban penggunaan tenaga kerja, barang dan jasa pertambangan dalam negeri. Selain patuh pada UU, diperlukan adanya evaluasi dan pengawasan yang lebih baik terkait kinerja perusahaan perusahaan ini baik dalam pelaksanaan tata kelola pertambangan yang baik, maupun dalam kontribusinya bagi perekonomian dan pembangunan, ” imbuhnya.
Pasal-pasal dalam UU Minerba sudah sangat jelas mengatur hal tersebut, bagaimana tahapan, mekanisme maupun batas waktunya. Termasuk soal PKP2B misalnya, mulai pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang harus diawali dengan penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang dilanjutkan dengan lelang WIUPK, prioritas pemberian IUPK untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), maupun luas wilayah operasi produksi pertambangan batu bara maksimal 15.000 hektare.
“Pada dasarnya, polemik ini banyak dipicu oleh polemik regulasi dan pelaksanaan kebijakan yang sepotong-sepotong, sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum, serta pengawasan yang lemah, termasuk oleh lembaga legislative” jelas Maryati.
Terkait dengan adanya 7 (tujuh) PKP2B Generasi-1 yang berakhir dalam waktu dekat, yaitu PT Tanito Harum, PT Arutmin Indonesia, PT Adaro Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Multi Harapan Utama, PT Kideco Jaya Agung, dan PT Berau Coal, penting untuk terlebih dahulu dilakukan evaluasi secara menyeluruh dan transparan terhadap sejumlah PKP2B tersebut. Tak hanya aspek teknis, kewilayahan maupun penerimaan negara semata, namun juga harus memperhatikan aspek lingkungan maupun kepatuhan terhadap pelaksanaan norma-norma Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk memastikan adanya konsultasi, meminta pertimbangan dan hak menyatakan pendapatan secara bebas dan tanpa paksaan (Free Prior Inform Consent–FPIC), khususnya dari masyarakat sekitar tambang dan Pemda.
Selain itu, Pemerintah perlu menyusun kebijakan yang komprehensif terkait peran BUMN dalam pengelolaan pertambangan batubara ke-depannya (termasuk jika akan mengelola wilayah Eks-PKP2B). Mulai dari aspek perencanaan, teknis sampai dengan tata kelola BUMN-nya itu sendiri. Tentu saja ini menjadi momentum sekaligus tantangan besar bagi BUMN untuk membuktikan kapasitas dan integritasnya dalam mengelola sumberdaya alam, khususnya batubara.
“Koordinasi antar Kementerian ESDM maupun Kementerian BUMN harus lebih intens dan meminimalisir ego sectoral. Jangan sampai publik menduga polemik ini, sebatas ‘rebutan’ lahan saja.” tegas Maryati
Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi dan Pengembangan Program, mengingatkan DPR, khususnya Komisi 7 untuk terus mengawal polemik ini, tentu saja dalam kerangka UU Minerba yang berlaku saat ini. “Jangan sampai, justru DPR mengeluarkan statemen yang kontraprouktif dan malah bertentangan dengan semangat UU Minerba”
Polemik ini sekaligus menjadi momentum yang tepat untuk mempercepat proses renegosiasi ataupun melakukan perbaikan sistemik melalui revisi UU Minerba. “Sayangnya, kami masih melihat draft RUU Minerba yang disusun DPR justru sebaliknya, mengubah secara subtantif pasal 169 dari UU Minerba yang berlaku saat ini, dimana KK dan PKP2B mendapatkan perpanjangan otomatis selama 2 (dua) kali 10 (sepuluh) tahun dalam bentuk IUPK; KK dan PKP2B juga diberikan hak untuk mengusahakan kembali wilayah yang mendapat IUPK dengan luas wilayah sesuai dengan rencana kerja seluruh wilayah tambang dalam penyesuaian KK atau PKP2B.”
Sekali lagi publik berharap DPR dapat lebih transparan dalam melakukan pembahasan draft RUU Minerba sekaligus tetap berpegang pada semangat renegosiasi sebagaimana UU Minerba saat ini. “Draft RUU Minerba yang baru tidak boleh malah jauh melangkah mundur ke belakang.” tegas Aryanto. #
Contact Person :
- Maryati (maryati@pwypindonesia.org) (+6282125238247)
- Aryanto (aryanto@pwypindonesia.org)