- Dalam pidato kenegaraan Sidang Tahun MPR dan Sidang Bersama DPR RI-DPD 2021, Presiden Joko Widodo dinilai lebih condong pada investasi yang berorientasi eksploitasi sumber daya alam dalam pemulihan ekonomi dari pandemi COVID-19. Ekonomi berkelanjutan sempat juga presiden sebutkan, tetapi dinilai hanya ‘pemanis.’
- Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, arah pembangunan hijau yang dimaksud Jokowi masih belum jelas, konkrit dan terukur. Harus mulai memikirkan pola pembangunan berkelanjutan, termasuk program-program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim karena potensi ancaman bencana akan makin besar ke depan.
- Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, pernyataan Jokowi sangat kontradiktif karena UU Cipta Kerja tidak mengarah pada ekonomi “hijau dan biru” atau ekonomi berkelanjutan. Kalau presiden serius mengimplementasikan ekonomi berkelanjutan secara lingkungan hidup, seharusnya segera mengeluarkan perppu membatalkan UU Cipta Kerja.
- Presiden pidato pakai pakaian adat Baduy, tetapi soal masyarakat adat sama sekali tak disebut dalam pidato kenegaraan itu. Keberpihakan presiden pun dipertanyakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), karena agenda-agenda perlindungan masyarakat dan wilayah adat lamban. Pakaian adat itupun dinilai sebatas pembungkus badan.
Presiden Joko Widodo memakan pakaian adat Baduy, lengkap pada pidato kenegaraan Sidang Tahun MPR dan Sidang Bersama DPR RI-DPD 2021. Selain pakaian, presiden juga kenakan ikat kepala atau telengkung atau koncer/roma, tas terbuat dari anyaman, ikat pinggang (beubeur), golok pamor dan sandal kulit berwarna hitam. Pakaian adat ini dari bahan alam sekitar Ciboleger, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten. Ma’aruf Amin, Wakil Presiden gunakan pakaian adat Mandar, Sulawesi Barat.
Pada pidato tahunan tiap 16 Agustus yang jadi gambaran arah kebijakan pembangunan pemerintah ke depan tahun ini dinilai lebih condong pada investasi yang berorientasi eksploitasi sumber daya alam dalam pemulihan ekonomi dari pandemi COVID-19. Ekonomi berkelanjutan sempat juga presiden sebutkan, tetapi dinilai hanya ‘pemanis.’
“Pidato Jokowi tadi memperkuat keberpihakan negara hari ini memang sangat condong berpihak pada investasi,” kata Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Dalam pidatonya, presiden mengatakan, fokus pemerintah menciptakan sebanyak mungkin lapangan kerja baru yang berkualitas. “Implementasi Undang-undang Cipta Kerja terus kita percepat,” katanya.
Dia jelaskan, soal bagaimana pemerinah sangat mempermudah semua level dan usaha untuk berinvestasi. Bahkan, target investasi bisa terpenuhi, sebesar Rp900 triliun.
Perkembangan investasi, katanya, harus jadi bagian terintegrasi dengan pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkeadilan.
“Ekosistem investasi dan kolaborasi di dunia usaha ini juga untuk memperkuat perkembangan ekonomi berbasis inovasi dan teknologi. Khusus, ke arah ekonomi hijau dan ekonomi biru berkelanjutan,” kata Jokowi.
Sayangnya, komitmen presiden tak didukung kebijakan-kebijakan menuju perbaikan lingkungan hidup. Syahrul menyayangkan, Jokowi hanya melirik pendekatan pemulihan COVID-19 hanya dengan persoalan investasi dengan acuan UU Cipta Kerja.
“Dalam UU Cipta Kerja itu banyak aspek yang berimplikasi serius terhadap pengelolaan sumber daya alam dan persoalan lingkungan.”
Dari sisi lingkungan, dalam penerapan prinsip kehati-hatian sudah mulai hilang dan sumber daya alam makin tereksploitasi.
Pada pidato penyampaian RUU APBN Tahun Anggaran 2022, presiden juga sempat mengatakan tahun mendatang, Indonesia masih berhadapan dengan ketidakpastian tinggi.
Presiden menyinggung, soal ancaman perubahan iklim pada awal pidato.
“Kita juga harus bersiap menghadapi tantangan global lain, seperti ancaman perubahan iklim, peningkatan dinamika geopolitik, serta pemulihan ekonomi global yang tidak merata. Karena itu, APBN 2022 harus antisipatif, responsif, dan fleksibel merespons ketidakpastian, namun tetap mencerminkan optimisme dan kehati-hatian,” katanya.
Perubahan iklim, sudah nyata di Indonesia. Bencana hidrometeorologi kian meningkat, perubahan musim makin tidak menentu, kenaikan muka air laut di pesisir Jawa, polusi udara dan lain-lain terjadi.
Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, arah pembangunan hijau yang dimaksud Jokowi masih belum jelas, konkrit dan terukur.
“Kita harus mulai memikirkan pola pembangunan berkelanjutan, termasuk program-program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim karena potensi ancaman bencana akan makin besar ke depan,” katanya saat dihubungi melalui pesan singkat.
Saat ini, pemerintah Indonesia memiliki komitmen iklim dalam bentuk updated nationally determined contributions (NDC) dan agenda bersih karbon (net sink) sektor hutan dan lahan (forest and other land use/FoLU) pada 2030.
Nadia bilang, kunci mencapai ini ada pada konsistensi kebijakan menurunkan deforestasi dan degradasi serta mempercepat pemulihan ekosistem termasuk restorasi gambut maupun rehabilitasi mangrove.
“Di tengah ancaman krisis iklim yang dampaknya bisa lebih parah dari COVID-19, investasi yang dikejar pemerintah haruslah investasi hijau. Yang dapat membawa Indonesia bertransisi cepat ke pembangunan rendah karbon dan mencapai net zero emissions lebih cepat dari 2060, sebaiknya 2050.”
Pemerintah, katanya, harus segera mendorong pertumbuhan ekonomi rendah karbon dibandingkan terkunci pada pembangunan tinggi karbon seperti saat ini.
Pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan hidup, katanya, sudah jadi keharusan dan setiap investasi masuk perlu berwawasan lingkungan. Kebijakan pun, katanya, harus selaras dengan updated NDC dan Agenda Indonesia FoLU 2030.
Senada dengan Nadia, Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, pernyataan Jokowi sangat kontradiktif karena UU Cipta Kerja tidak mengarah pada ekonomi “hijau dan biru” atau ekonomi berkelanjutan.
“Terlihat dari pidato ini pencantuman hal-hal “hijau” sekadar tempelan dan tidak sepenuhnya dipahami presiden. Jika presiden serius ingin mengimplementasikan ekonomi yang berkelanjutan secara lingkungan hidup, seharusnya beliau segera mengeluarkan perppu membatalkan UU Cipta Kerja,” kata Yaya, sapaan akrabnya.
Kebijakan yang keluar saat ini pun, katanya, tidak mencerminkan upaya meminimalisir dampak perubahan iklim. Bahkan, insentif dan kebijakan yang keluar justru memfasilitasi sumber-sumber energi fosil seperti batubara.
“Serta biodiesel sawit yang dalam produksinya justru menerapkan pola-pola tidak berkelanjutan.”
Syahrul mengatakan, pidato itu tak memuat solusi pemulihan ekonomi nasional dalam mengatasi perubahan iklim.
Jokowi juga singgung sektor soal pangan. Syahrul bilang, ada beberapa rentetan kebijakan pasca UU Cipta Kerja dengan pembangunan ke depan agak mengkhawatirkan termasuk sektor pangan.
Dia sebutkan seperti proyek pengembangan lahan pangan skala besar (food estate), bukan ketersediaan pangan tetapi memberikan porsi untuk perusahaan.
“Masyarakat akan sulit mengakses pangan. Lokasi food estate ini berimplikasi serius terhadap lingkungan, ada deforestasi, pelepasan karbon banyak. Ini tidak nyambung dengan komitmen pemerintah.”
Meski Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terus memperbarui komitmen iklim, namun tak tergambar dalam kerangka kebijakan pemerintah. Kerangka kebijakan Indonesia, kata Syahrul, lebih condong pada investasi eksploitatif.
“Kebijakan perlindungan masih mempertahankan soal gambut, permasalahan gambut itu tidak terselesaikan masih tetap ada, memperbolehkan membuka lahan gambut dan perlindungan sebatas puncak kubah. Itu problem untuk mewujudkan ekonomi hijau. Apakah hijau hanya label?”
Minim keberpihakan masyarakat adat
Presiden pidato pakai pakaian adat Baduy, tetapi soal masyarakat adat sama sekali tak disebut dalam pidato kenegaraan itu.
Keberpihakan presiden pun dipertanyakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), karena agenda-agenda perlindungan masyarakat dan wilayah adat lamban. Pakaian adat itupun dinilai sebatas pembungkus badan.
“Presiden Jokowi ini memang berkali-kali pakai baju adat sebagai bungkus, gula-gula pemanis saja,” kata Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN kepada Mongabay.
“Sikap dan tindakan (Jokowi) sangat bukan Baduy. Paradigma pembangunan ala Baduy begitu menghormati bumi, tapi Indonesia dibuatnya sangat jauh dari itu.”
Dia bilang, banyak janji Jokowi kepada masyarakat adat, belum terpenuhi sampai saat ini, seperti RUU Masyarakat Adat, pembentukan satgas masyarakat adat, hingga beberapa janji lain yang tertuang dalam Nawacita.
Masyarakat adat terus alami perampasan wilayah adat, kriminalisasi, konflik terus meningkat. Presiden, katanya, justru mendukung pengesahan UU tentang Mineral dan Batubara maupun UU Cipta Kerja, yang mengancam dan merugikan masyarakat adat.
Dalam masa pandemi, kata Rukka, perihal penanganan COVID-19 dan vaksin sulit terakses masyarakat adat. “Jokowi turut menyoroti situasi pandemi dan upaya yang sudah maupun tengah dilakukan pemerintah untuk mengatasi wabah. Tentu, tanpa menyinggung kondisi masyarakat adat di tengah pandemi.”
Senada dengan Siti Rahma Mary, Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Dia bilang, menghormati masyarakat adat tak cukup hanya memakai pakaian, sementara pengakuan terhadap tanah, wilayah, asal-usul, dan budayanya terabaikan dan masyarakat adat tergusur maupun ditangkapi.
Dia bilang, ada dua hal perlu ditekankan soal posisi konstitusi dalam menghormati masyarakat adat. Pertama, pengakuan dan penghormatan masyarakat adat harus disertai dengan pengakuan dan penghormatan hak-hak tradisionalnya.
Kedua, hak menguasai negara terhadap sumber daya alam harus dan hanya boleh demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Saat ini, pemerintah belum sepenuhnya melaksanakan perintah konstitusi itu,” kata Agung Wibowo, Direktur Perkumpulan HuMa Indonesia.
Transformasi energi?
Dalam pidato kenegaraan, isu energi terbarukan muncul, baik dari Presiden Jokowi maupun La Nyalla Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI.
Indonesia, kata Jokowi, perlu bertransformasi menuju energi terbarukan dan akselerasi ekonomi berbasis teknologi hijau. Hal itu, katanya, akan jadi perubahan penting dalam perekonomian Indonesia.
La Nyalla pun mengatakan, perlu ada kesiapan Indonesia menyongsong perubahan global dan tata dunia. “Apalagi ada ancaman bencana di depan mata, yaitu perubahan iklim,” katanya.
Melalui GBHN, pemerintah harus mampu merumuskan salah satu kedaulatan energi.
“Kita harus memastikan energi baru terbarukan jadi prioritas, termasuk keberanian sebagai bangsa besar untuk memanfaatkan nuklir sebagai energi yang pembangkit energi lebih murah, kemandirian pangan mutlak,” kata La Nyalla.
Nur Hidayati menegaskan, nuklir itu solusi palsu bagi perubahan iklim. Selain bahan baku berasal dari hasil pertambangan, energi nuklir juga menjebak pada potensi bahaya lain dengan dampak bisa fatal dan berlangsung ratusan tahun.
“Sebaiknya, penyelenggara negara serius mengatasi penyebab yang nyata dari perubahan iklim, seperti kerusakan hutan dan bahan bakar fosil, dan mengganti dengan sumber energi melimpah di nusantara yang memiliki potensi bahaya lebih kecil dibanding energi nuklir.”
Aryanto Nugroho, Koordinator Publish What You Pay Indonesia, mengingatkan, mencapai target energi terbarukan 23% pada 2025, Indonesia perlu mengendalikan atau mengurangi produksi batubara.
“Pemerintah perlu memikirkan langkah transisi energi lebih konkrit untuk mencapai target bauran energi, sekaligus mempertimbangkan makin menurunnya daya dukung lingkungan, meningkatnya emisi gas rumah kaca dan bagian dari strategi menjaga neraca sumber daya,” katanya.
Pengendalian produksi batubara, katanya, antara lain bisa dengan kebijakan domestic market obligation (DMO). Baru-baru ini, KESDM sudah berani mengenakan sanksi bagi 34 perusahaan batubara yang tak memenuhi DMO periode 1 Januari-31 Juli 2021.
Tindakan ini terungkap dari surat Dirjen Minerba Ridwan Djamaluddin kepada Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Dirjen Bea Cukai dan Dirjen Perhubungan Laut pada 7 Agustus 2021 yang melarang penjualan batubara ke luar negeri.
Ridwan meminta, pembekuan eksportir terdaftar kepada 34 perusahaan ini. Bagi PWYP ini adalah langkah awal keberanian pemerintah yang ditunggu publik.
Mengapa? Kalau melihat ke belakang, katanya, pemerintah justru memberi relaksasi bahkan penghapusan sanksi pada pelaku usaha batubara yang tidak menjalankan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Ketidakpatuhan ini, katanya, harus jadi catatan bagi pemerintah untuk evaluasi status izin perusahaan. Selain itu, tak satupun dari 34 perusahaan ini menyampaikan formulir laporan extractive industries transparency initiatives (EITI) kepada pemerintah.
“Saat ini arah kebijakan terkait batubara harus selaras dengan tujuan konservasi energi dan lingkungan,” kata peneliti PWYP Indonesia Radikal Lukafiardi.
Saat ini, katanya, tepat bagi pemerintah mempercepat transisi energi dengan mengendalikan produksi batubara, menghentikan pembangunan PLTU baru, serta mempercepat penyediaan dan pengembangan energi terbarukan.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, usul penggunaan PLTS atap sebagai salah satu mesin pemulihan ekonomi pasca COVID-19.
Mengutip kajian USAID-NREL pada 2020, katanya, PLTS atap residensial 2.000 unit dengan kapasitas total sembilan megawatt dapat menyerap 710 tenaga kerja tahunan dengan GDP US$4,9 juta. Kajian IESR juga memperkirakan, setiap satu GWp akan menciptakan 22.000-30.000 tenaga kerja.
“Pertumbuhan PLTS atap dapat membuka lapangan kerja tambahan dari hadirnya industri PLTS dan tumbuhnya rantai pasok PLTS,” kata Fabby.
Kapasitas PLTS atap sebesar satu gigawatt, juga bisa memangkas 1,05 juta ton CO2 per tahun yang dapat berkontribusi terhadap target memangkas emisi gas rumah kaca 29% pada 2030 dan dekarbonisasi sebelum 2060.
Karena itu, kata Fabby yang juga Ketua Asosiasi Energi Surya Indoenesia (AESI) ini, pemerintah perlu serius membuat kebijakan yang mendukung penggunaan PLTS atap lebih masif di Indonesia.
Dia bilang, pemerintah perlu segera melegislasi revisi Permen ESDM No 49/2018 tentang penggunaan PLTS atap oleh pelanggan PLN.
“Perubahan ini diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat memasang PLTS atap yang dapat berdampak pada upaya mencapai target 23% bauran energi terbarukan.”
Ada pandangan yang menyatakan PLTS atap akan membawa kerugian bagi PLN. Fabby bilang, malah sebaliknya.
Masih mengutip kajian USAID & NREL, kalau kapasitas PLTS atap mencapai 3 GW, maka penurunan pendapatan PLN sangat kecil, hanya 0,2%.
Sampai Januari 2021, kapasitas PLTS atap di pelanggan PLN baru 22,63 MW. Pada sejumlah sistem, misal, di Jawa-Bali, peningkatan populasi PLTS atap yang menghasilkan listrik di siang hari dapat membantu memangkas biaya produksi listrik dari PLTG/PLTGU yang beroperasi di beban menengah (load follower).
“Dengan demikian peningkatan kapasitas PLTS atap di sistem Jawa-Bali justru bisa berdampak pada penurunan BPP (biaya pokok produksi) PLN.”
Hal sama bisa terjadi di daerah-daerah luar Jawa yang didominasi PLTD, dengan rata-rata biaya pembangkitan berkisar pada Rp1.300–Rp1.900/kWh. PLTS atap akan menurunkan biaya produksi.
Sisilia Nurmala Dewi, Koordinator Indonesia Team Leader 350.org, soroti lembaga pendana batubara. Dia mengatakan, menekan dampak perubahan iklim dapat dilakukan bank-bank BUMN dengan memperkuat komitmen terhadap lingkungan hidup.
“Salah satu wujud dengan menghentikan pendanaan untuk proyek-proyek batubara,” katanya.
Energi fosil yang membahayakan kesehatan ini, katanya, membuat bumi makin panas dan mengundang bencana ekologi makin sering terjadi dengan skala mematikan.
“Jika proyek-proyek batubara ini terus didanai perbankan, bencana ekologi akan lebih sering dengan durasi lebih lama dan intensitas lebih tinggi. Kini, di berbagai belahan penjuru dunia, terjadi banjir, badai, gelombang panas yang menimbulkan korban jiwa,” katanya.
Di Indonesia, BNPB pada 2020 mencatat terjadi 2.925 bencana didominasi bencana hidrometeorologi. Dengan rincian, banjir 1.065 kejadian, angin puting beliung 873 dan tanah longsor 572 kejadian.
Laporan Badan PBB, Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel Climate Change/IPCC) terbaru juga mengungkapkan, perubahan iklim makin cepat terjadi.
“Situasi ini akan makin buruk jika tidak ada aksi sekarang,” katanya.
Sumber: Mongabay (https://www.mongabay.co.id/2021/08/16/pidato-presiden-sebut-soal-ekonomi-berkelanjutan-apa-kata-mereka/)