JAKARTA, KOMPAS – Pengesahan perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dikhawatirkan berdampak signifikan terhadap perekonomian domestik. Selama ini persoalan investasi dan keuangan negara erat kaitannya dengan kasus korupsi.

Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, kondisi perekonomian global tengah dihadapkan pada potensi resesi yang mulai terindikasi di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat. Untuk itu respons kebijakan dalam negeri jangan kontra produktif, seperti dengan merevisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Respons Indonesia terhadap kondisi global dan domestik saat ini dengan cara-cara biasa saja tidak cukup. Jangan ditambah dengan respons kontra produktif,” kata Enny dalam diskusi bertajuk urgensi pemberantasan korupsi bagi perekonomian, investasi, dan perbaikan fiskal di Jakarta, Rabu (18/9/2019).

Respons Indonesia terhadap kondisi global dan domestik saat ini dengan cara-cara biasa saja tidak cukup. Jangan ditambah dengan respons kontra produktif.

Suasana diskusi bertajuk urgensi pemberantasan korupsi bagi perekonomian, investasi, dan perbaikan fiskal di Jakarta, Rabu (18/9/2019).

Selama ini keluhan utama investor adalah ketidakpastian regulasi dan perizinan yang berbelit. Keluhan berangkat dari penegakan hukum yang lemah karena praktik-praktik gelap antara eksekutif, legislatif, dan pelaku usaha masih terjadi. Ironisnya, revisi UU KPK tidak memberi solusi atas permasalahan ini.

Menurut Enny, sebagian praktik gelap terkuak ke publik dalam kasus korupsi yang banyak menjerat kepala daerah, pejabat badan usaha milik negara (BUMN), anggota dewan, hingga pengusaha. Kasus korupsi ini menjadi sumber penyebab ketidakpastian regulasi dan perizinan selama bertahun-tahun.

“Ini bukan perkara sederhana tentang pelemahan atau penguatan KPK. Revisi UU KPK memiliki dampak berganda yang langsung mengena perekonomian Indonesia,” kata dia.

Di sisi lain, indeks persepsi korupsi Indonesia, yang dirilis Transparency International Indonesia, meningkat dari 37 pada 2017 menjadi 38 pada 2018. Artinya, Indonesia dipersepsikan makin bersih dari korupsi, tetapi upaya pemberantasan masih perlu diintensifkan.

Menurut Enny, investor bukan tidak tertarik masuk ke Indonesia, tetapi kesulitan merealisasikan investasinya. Mengutip data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)pada 2017, persetujuan investasi asing mencapai Rp 2.000 triliun, tetapi yang terealisasi hanya sekitar Rp 400 triliun.

Realisasi Investasi 2017-2018. Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal

epanjang Juni-Agustus 2019, menurut catatan Bank Dunia, Indonesia juga kehilangan peluang menangkap relokasi investasi yang dilakukan 33 perusahaan asing. Sebanyak 23 perusahaan memilih Vietnam, dan 10 perusahaan lainnya pindah ke Kamboja, India, Malaysia, Meksiko, Serbia, dan Thailand.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Univeritas Gadjah Mada, Yogykarta, Fahmy Radhi, berpendapat, korupsi rawan terjadi pada investasi dan bisnis di sektor minyak dan gas (migas). Korupsi di sektor migas ini melibatkan mafia, korporasi internasional, dan lokasi terjadinya korupsi di luar teritorial Indonesia.

Korupsi rawan terjadi pada investasi dan bisnis di sektor migas. Korupsi di sektor ini melibatkan mafia, korporasi internasional, dan lokasi terjadinya korupsi di luar teritorial Indonesia.

Reformasi regulasi

Secara terpisah, Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Perekonomian Bambang Adi Winarso mengemukakan, reformasi perizinan usaha dan regulasi menjadi agenda prioritas nasional. Pemerintah berkomitmen memberikan kepastian hukum bagi investor dan pelaku usaha.

Selama periode 2016-2017, simplifikasi ditempuh dengan mencabut 430 regulasi dan merevisi 166 regulasi. Pemerintah juga menggabungkan 237 regulasi menjadi 30 regulasi. Reformasi ini melibatkan 21 kementerian dan lembaga di tingkat pusat.

Sementara itu, pada 2000-2015, pemerintah di tingkat pusat maupun daerah tercatat menerbitkan 12.471 regulasi.


Bagikan