Jakarta – Sesi kedua hari pertama dalam rangkaian Pertemuan Regional Organisasi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan menghadirkan dialog publik bertajuk “Pembiayaan Iklim dan Energi di ASEAN” yang menghadirkan tiga narasumber yang menjelaskan tantangan dan peluang dalam pembiayaan transisi ke energi terbarukan di kawasan ASEAN. Sesi ini dimoderatori oleh Dwi Rahayu dari The Prakarsa, dan para narasumber diantaranya Bernadette Victorio, Lead Project of Fair Finance Asia, Ramnath N. Iyer, Lead Researcher Pendanaan Iklim dan Energi Terbarukan di The Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) dan Jaeho Chung, Senior Investment Officer di Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB).
Bernadette Victorio memulai dengan memperkenalkan Fair Finance Asia (FFA), sebuah prakarsa dari Program Regional Oxfam yang bekerja sama dengan lebih dari 90 organisasi masyarakat sipil di sepuluh negara di kawasan ASEAN. Misi FFA adalah memastikan bahwa lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi di kawasan ini menjunjung tinggi hak-hak sosial dan lingkungan serta kesejahteraan masyarakat.
Bernadette menyoroti fokus FFA pada keselarasan lembaga keuangan swasta dengan norma dan standar internasional terkait dampak sosial dan lingkungan. Mereka bertujuan untuk mendorong lembaga-lembaga tersebut untuk mendukung inisiatif transisi iklim dan energi di Asia dan mempromosikan keuangan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Studi penelitian FFA berfokus pada transisi energi yang adil, pembiayaan batu bara, dan pembiayaan energi terbarukan.
Pada tahun 2021, FFA merilis studi “Masa Depan Tanpa Batu Bara“, yang mengungkapkan bahwa banyak lembaga keuangan Asia yang terus mendanai batu bara meskipun ada komitmen yang dibuat berdasarkan Perjanjian Paris. Studi lainnya, “Financing the Just Transition“, yang diluncurkan pada tahun 2022, meneliti aliran keuangan lembaga keuangan internasional dan Asia terkemuka terkait pembiayaan energi terbarukan. Terakhir, mereka melakukan studi kasus tentang mekanisme transisi energi bank-bank pembangunan Asia.
Studi-studi ini menyoroti lambatnya kemajuan dalam peralihan dari pembiayaan bahan bakar fosil di Asia dan menekankan perlunya pertimbangan sosial dan lingkungan yang lebih substansial dalam transisi energi. Bernadette membahas rekomendasi penting yang diuraikan dalam buku putih mereka, yang selaras dengan keharusan ilmu pengetahuan iklim dan memastikan perlakuan yang adil terhadap masyarakat yang terkena dampak transisi energi.
Selanjutnya, Ramnath N. Iyer, yang mewakili Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), membahas kondisi pendanaan iklim saat ini di kawasan ASEAN. Beliau menekankan pentingnya pembiayaan transisi ke energi terbarukan untuk mencapai tujuan iklim. Ramnath berbagi wawasan dari laporan terbaru dari Temasek, Bain, dan Gen Zero, yang mengungkapkan bahwa hanya $ 5 miliar yang diinvestasikan di sektor hijau di Asia Tenggara pada tahun 2021, dengan penurunan sebesar 7% dibandingkan tahun sebelumnya. Investasi asing di sektor hijau juga menurun sebesar 50% pada tahun 2022. Negara-negara berkembang hanya menerima 15% dari pendanaan iklim yang dibutuhkan, yang menunjukkan adanya kesenjangan pendanaan yang signifikan.
Ramnath membahas perlunya instrumen pembiayaan yang inovatif dan keterlibatan yang lebih besar dari bank pembangunan multilateral (MDB) dalam mendukung proyek-proyek hijau. Ia menekankan pentingnya pengalihan pendanaan dari bahan bakar fosil ke energi bersih. Ramnath juga menyoroti potensi obligasi hijau, pasar karbon, dan mekanisme penyeimbangan karbon dalam mendorong investasi untuk proyek-proyek bersih. Meskipun mengakui adanya tantangan, Ramnath tetap optimis akan ketersediaan pendanaan untuk mengatasi perubahan iklim. Ia mendorong pergeseran fokus dari sumber pembiayaan tradisional untuk mendukung inisiatif energi terbarukan.
Di akhir sesi, Jaeho Chung, Senior Investment Officer di Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), memberikan wawasan tentang komitmen dan pendekatan pembiayaan AIIB. AIIB berdedikasi untuk membangun infrastruktur berkelanjutan yang bertanggung jawab terhadap lingkungan, sosial, dan finansial sekaligus mengatasi perubahan iklim. AIIB telah menguraikan lima prioritas strategis, dengan infrastruktur hijau sebagai salah satu bidang fokus yang penting. Bank ini mendukung proyek-proyek energi terbarukan, termasuk tenaga surya, angin, air, panas bumi, dan hidrogen, serta infrastruktur sosial, kegiatan regional, dan infrastruktur teknologi.
Jaeho menyoroti upaya AIIB untuk mendukung proyek-proyek sektor swasta untuk menyediakan pendanaan bagi 50% proyek sektor swasta pada tahun 2030. Bank ini juga berinvestasi dalam ekuitas untuk tugas-tugas tertentu, terutama pada tahap pendanaan awal. Beliau membahas peran AIIB dalam menyetujui proyek-proyek di seluruh wilayah ASEAN, termasuk proyek-proyek hidro, angin, dan matahari, serta ketertarikan AIIB terhadap proyek-proyek yang akan datang seperti angin lepas pantai, hidro, dan panas bumi.
AIIB, bekerja sama dengan bank-bank pembangunan multilateral lainnya, berkomitmen untuk mendanai transisi menuju energi terbarukan dan membangun masa depan yang berkelanjutan bagi kawasan ASEAN. Adapun pembahasan pada sesi ini menekankan perlunya peningkatan pendanaan iklim, mekanisme pendanaan yang inovatif, dan komitmen yang kuat dari lembaga keuangan, pemerintah, dan organisasi internasional untuk mendukung transisi ke energi terbarukan di ASEAN.
Rangkaian Pertemuan Regional Organisasi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan yang dihadiri lebih dari 70 Organisasi Masyarakat Sipil ini diselenggarakan pada 29-30 Agustus 2023 di Jakarta. Ini merupakan pertemuan pemikiran, perpaduan pengalaman, dan bukti komitmen organisasi masyarakat sipil (OMS), pemerintah, dan pembuat kebijakan untuk memetakan arah menuju masa depan yang berkelanjutan dan berkeadilan secara kolaboratif, khususnya di kawasan Asia Tenggara
Penulis: Raudatul Jannah
Reviewer: Aryanto Nugroho