Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia selenggarakan Pertemuan Nasional Komunitas dan Organisasi Masyarakat sipil bertajuk Mewujudkan Transisi Energi yang Adil, Inklusif, dan Transformatif di Indonesia pada 21-22 Juni 2023 di bilangan Jakarta Pusat. Pertemuan yang dihadiri lebih dari 70 orang perwakilan dari komunitas dan organisasi masyarakat sipil lokal dari sejumlah daerah di Indonesia tersebut bertujuan untuk memetakan permasalahan yang dihadapi masyarakat dari implementasi kebijakan transisi energi di Indonesia; Mendefinisikan transisi energi yang berkeadilan dari perspektif dan pengalaman komunitas dan organisasi masyarakat sipil; serta merumuskan rekomendasi transisi energi berkeadilan yang inklusif, dan transformatif dari sudut pandang komunitas lokal dan organisasi masyarakat sipil.

Aryanto Nugroho, Koordinator PWYP Indonesia, membuka pertemuan nasional ini dengan menyampaikan bahwa saat ini Indonesia tengah melakukan transisi energi dari energi kotor ke energi bersih. Tentunya transisi ini harus segera dipercepat realisasinya, agar tidak semakin berdampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan. Namun juga, penting untuk memastikan bahwa transisi energi berjalan secara adil serta memastikan dampak dan resiko-nya, khususnya untuk kelompok rentan, bisa dimitigasi.

Aryanto memantik pertanyaan terkait pelibatan masyarakat pada setiap proses transisi energi.

“Apakah itu transisi energi berkeadilan? Dimanakah posisi masyarakat, perempuan, nelayan, petani dan kelompok rentan lainnya pada putaran transisi energi? Apakah masyarakat sudah cukup dilibatkan pada setiap proses transisi energi?” tanya Aryanto.

Ia mencontohkan, salah satu proyek transisi energi yang saat ini dijalankan Indonesia adalah Just Energy Transition Partnership (JETP). Proyek yang bertujuan memobilisasi USD 200 miliar untuk membantu mengimplementasikan upaya dekarbonisasi ini, diharapkan membanti Indonesia beralih dari pembangkit listrik berbakar energi fossil sekaligus mempercepat pengembangan energi terbarukan. Namun demikian, menjadi pertanyaan besar, sejauhmana transparansi dan akuntabilitasnya? Bagaimana pelibatan masyarakat sipil, khususnya masyarakat terdampak dalam proyek tersebut? Apakah JETP juga menjalankan prinsip keadilan dalam transisi energi?

Aryanto berharap forum pertemuan nasional masyarakat sipil ini dapat mengakomodasi masukan yang dirasakan langsung oleh komunitas tapak, sehingga masyarakat dapat merasakan transisi energi yang adil bagi semua. Harapan lainnya, perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan semua elemen masyarakat semakin dilibatkan dalam putusan-putusan terkait dengan transisi energi yang berkeadilan.

Pertemuan Nasional ini diawali dengan Diskusi Panel bertajuk Mendorong Transisi Energi yang Berkeadilan, Inklusif, dan Transformatif di Indonesia, yang dimoderatori oleh Aris Prasetyo, Jurnalis Kompas. Hadir sebagai pembicara pada diskusi panel ini diantaranya adalah Adhityani Putri, Sekretariat JETP Indonesia; Ahmad Ashov Birrry, Koalisi Bersihkan Indonesia; Chandra Sugarda, Senior GEDSI Expert; dan Rina Prasarani, Ketua Bidang II Advokasi Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia.

Aris Prasetyo, memantik diskusi dengan menyajikan pertanyaan kunci bagi para narasumber. Bagaimanakah keterlibatan kelompok rentan, disabilitas, usia lanjut, dan perempuan dalam transisi energi?; Indonesia mendapatkan hibah sekitar Rp 300 T untuk implementasi transisi energi berkeadilan melalui JETP, perlunya elaborasi lebih lanjut terkait dana dan proses apa saja yang akan dilakukan di Indonesia, serta pertanyaan kunci terkait perlunya transisi energi di Indonesia yang adil dan transformatif mengingat saat ini Indonesia masih sangat bergantung pada PLTU sebagai tenaga listrik di Indonesia.

Adhityani Putri, menyampaikan bahwa terdapat tiga subsektor besar terkait transisi energi yakni ketenagalistrikan, transportasi, dan penggunaan energi untuk kebutuhan industri. Transisi energi merupakan upaya mengubah perekonomian dalam proses melepaskan ketergantungan energi fosil pada ketiga subsektor tersebut tanpa mengabaikan pembangunan prioritas sebagai negara berkembang diantaranya adalah menghapus kemiskinan, mengembangkan perekonomian pusat dan daerah, dan meningkatkan taraf hidup rakyat indonesia hingga tercapainya keseimbangan.

Just Energy Tranisition Partnership (JETP) telah ditandatangani pemerintah Indonesia dengan Negara G7 pada 12 November 2022 di sela-sela KTT G20. Join statement tersebut berisi tentang penandatanganan skema kemitraan pendanaan sebesar 20 Miliar USD yang terdiri dari pendanaan Publik 10 Miliar USD dan pendanaan swasta 10 Miliar USD. Untuk pendanaan publik berasal dari Negara G7 (Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Inggris, Jerman, Prancis Italia), Denmark, Norwegia, dan Uni-Eropa, adapun pendanaan swasta diharapkan dapat disalurkan melalui 7 bank GFANZ (Glasgow Financial Alliance for Net Zero) yang terdiri dari HSBC, Citibank. Standard Chartered, Bank of America, Deutsche Bank, MUFG dan Macquarie.

Transisi energi ini berdasarkan kesepakatan para ilmuwan dunia yang bersepakat untuk mencapai zero emisi di tahun 2050, kemudian tahun 2030 dianggap midtermnya sehingga semua target iklim dunia ada di tahun 2030. JETP mengambil patokan 2030 dan 2050.

Ada 3 target bersama yang ditandatangani oleh Indonesia dan IPG:

1) Mencapai PIK Emission.
Sektor energi khususnya ketenagalistrikan menghasilkan emisi yang tinggi karena masih menggunakan batu bara, konsumsi yang akan meningkat, produksi listrik yang juga terus berjalan. Menurut perhitungan ESDM pada tahun 2030, emisi kita 375 juta ton. Sehingga target PIK emission yang disepakati, 290 juta ton C02 puncak emisi CO2 sektor kelistrikan pada tahun 2030 dan segera menurun setelahnya di sektor ketenagalistrikan.
2) Net zero pada tahun 2050
3) Meningkatkan energi terbarukan sebanyak 34% di dalam ketenagalistrikan, dimana saat ini baru berkembang 12% saj.

Sejalan dengan target tersebut, Sekretariat JETP Indonesia sedang menyusun rencana investasi dan kebijakan yang komprehensif / Comprehensive Investment & Policy Plan (CIPP) yang direncanakan akan launching pada pertengahan agustus 2023. CIPP adalah dokumen dinamis, yang mengartikulasi pendekatan untuk mendorong transisi energi berkeadilan, memastikan ada distribusi manfaat yang adil, mitigasi resiko, sampai Indonesia mencapai target zero emisi. Rencana investasi & kebijakan komprehensif JETP (CIPP) dikembangkan untuk memastikan pandangan yang konsisten tentang strategi transisi energi.

Ahmad Ashov Birry, mendefinisikan keadilan adalah transparansi, akuntabilitas, dan partisipatoris. Dimana akuntabilitas harus jelas, kepada siapa kita dapat mendorong perubahan. Partisipatoris yang dibangun harus bermakna, yang mengakomodir dialog dua arah. Sangat disayangkan, selama ini proses pembangunan PLTU belum pernah menggunkan pendekatan partisipatoris. Keadilan juga memuat pemastian perlindungan HAM, dimana kasus-kasus ketidakadilan HAM tidak ingin terulang ketika dilakukan proses transisi energi. Keadilan ekonomi, keadilan ekologi, harus termuat dalam transisi yang transformatif.

Adapun beberangka langkah strategis yang dapat dilakukan dalam mengawal proses transisi energi di Indonesia, diantranya adalah percepatan pensiun dini batubara; reformasi PLN dan kebijakan energi, memunculkan rantau nilai energi terbarukan. Memperluas cakrawala transisi yang adil dengan ekonomi hijau, dekarbonisasi industri. Sehingga harus mendorong pada efisiensi sumber daya dan inklusif sosial.

Perspektif lainnya, Chandra Sugarda sebagai Senior GEDSI Expert menyampaikan bahwa komposisi masyarakat Indonesia terdiri dari 50 persen perempuan, 30 persen anak anak, 11 persen kelompok lansia, dan 10 persen penyandang disabilitas, dan komposisi lain diisi oleh masyarakat adat, kelompok lokal. Ketika membicarakan kelompok disabilitas dan masyarakat adat, sebagian besar dari mereka mengalami hambatan institusional.

Berbicara soal kerentanan gender, tidak hanya perempuan yang mengalami ketimpangan, contoh kasus yang didapati adalah anak laki-laki di area pesisir lebih tertinggal karena harus menemani ayahnya melaut, sementara anak laki-laki di area pedalaman lebih memiliki akses mendapatkan pendidikan.

Chandra memantik persoalan transisi energi yang dikontekskan dengan gender. Pada dokumen LTS-LCCR (Strategi jangka panjang untuk pembangunan rendah karbon ketahanan iklim) hingga 2050, dalam dokumen tersebut sudah diatur mengenai pentingnya pengarusutamaan gender (PUG) intergenerasi antar usia, masyarakat adat dan komunitas lokal dalam upaya transisi energi berkeadilan. Meskipun terdapat catatan bahwa dokumen ini belum menyentuh kelompok disabilitas.

Chandra menggarisbawahi pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam proses transisi energi yang berkeadilan, diantaranya adalah Pemerintah melalui kebijakan dan programnya yang harus berkeadilan dan mengintegrasi aspek GEDSI; Sektor swasta termasuk BUMN, harus mampu mengidentifikasi kelompok rentan yang terdampak beragam proyeknya; Komunitas CSO dan kelompok masyarakat sipil untuk mengawal pemerintah dan sektor swasta agar tidak meninggalkan kelompok manapun dalam proses pembangunan berkelanjutan; Akademisi untuk mengembangkan kajian-kajian transisi energi dan rekomendasi kebijakan yang objektif; serta media untuk memberitakan dan menggaungkan suara masyarakat terdampak.

Saat ini masih terdapat berbagai hambatan dalam melakukan transisi energi berkeadilan seperti kurangnya kapasitas nasional dalam membangun kebijakan yang mengisi kesenjangan. Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut diantaranya dengan menjadikan pengarusutamaan gender (PUG) dan perspektif GEDSI sebagau kebijakan, diturunkan pada rencana-rencana proyek pembangunan berkelanjutan.

Pendekatan spesifik GEDSI juga dapat diterapkan seperti meningkatkan kepemimpinan perempuan dan kelompok rentan; Meningkatkan partisipasi kapasitas perempuan dan kelompok rentan di lapangan kerja yang dibutuhkan dalam transisi energi; Mengembangan area kerja yang ramah bagi perempuan, masyarakat adat, dan kelompok rentan yang aksesibel bagi penyandang disabilitas.

Narasumber terakhir, Rina Prasarani, menjelaskan siapa saja yang masuk dalam kategori disabilitas, yakni orang-orang yang memiliki keterbatasan:

a) Disabilitas Fisik (gerak/mobilitas)
b) Disabilitas Intelektual (keterbatasan mengingat dan konsentrasi)
c) Disabilitas mental dan emosional
– Disabilitas Psikososial yakni orang dengan gangguan jiwa, bipolar, skizofrenia,dll
– Disabilitas Mental development misalnya orang dengan ADHD dan Autisme
d) Disabilitas Sensorik pada fungsi indra yang terdiri dari Netra (buta total, low vision) dan rungu (kesulitan mendengar, tuli total).

Selama ini kelompok disabilitas terhambat partisipasinya karena faktor eksternal. Kebutuhan antara masing-masing kelomppok rentan juga bebeda, dan saat ini belum ada paradigma untuk memberdayakan disabilitas, tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan pada saat transisi energi.

Terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dalam melibatkan kelompok disabilitas dalam transisi energi yakni partisipasi yang penuh dan bermakna, dengan cara mendengarkan langsung dari berbagai ragam disabilitas, karena konsep disabilitas yang terus berkembang; Solusi inklusif, memastikan pemahaman, perlakuan, analisa, dan kebijakan tidak bertabrakan satu dengan yang lainnya; dan membangun sensitivitas, membangun kepekaan atas keterbatasan dengan fasilitas yang belum tersedia.

Transisi energi yang berkeadilan, inklusif dan transformatif harus diarahkan pada bagaimana energi dapat bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat, tidak bertabrakan dengan kelompok lainnya sehingga perlu dihimpun dan diakomodir kebutuhannya. Untuk efisiensi proses tersebut, perlu adanya monitoring dan evaluasi untuk pendataan menggunakan data terpilah. Tentunya, kelompok-kelompok rentan tersebut adalah pihak yang lebih paham apa yang menjadi kebutuhan dan maslah yang dihadapi oleh mereka. Perlu ada suara bersama untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan.

Penulis : Chitra Regina Apris
Reviewer : Aryanto Nugroho & Mouna Wasef