Jakarta – Perempuan berperan penting dalam mendukung isu transisi energi yang menjadi salah satu pilar Presidensi G20 Indonesia. Bahkan selain sebagai pengguna energi, perempuan adalah pahlawan hijau.
“Perempuan bisa kita dorong untuk turut berperan aktif menciptakan sumber energi alternatif yang lebih aman, terjangkau, dan memiliki multiplier effect yang positif,” kata Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Lenny N. Rosalin dalam webinar Konsultasi Publik G20 di Jakarta, Senin (27/6/2022).
Kesenjangan dari pekerjaan yang tidak dibayar atau unpaid care work, kata Lenny, mengakibatkan perempuan harus menanggung dampak dari penggunaan energi tradisional. Menurut Data World Health Organization (WHO) sekitar 4 juta orang di dunia meninggal sebelum waktunya akibat polusi udara di tingkat rumah tangga. Hal ini berpengaruh besar terhadap perempuan, terutama yang bekerja di dalam rumah tangga atau tugas domestik.
Selain perlu upaya menurunkan prevalensi orang yang meninggal dunia akibat polusi udara di tingkat rumah tangga, Lenny menilai pentingnya mengatur konsumsi energi yang lebih ramah lingkungan, terutama di lingkungan rumah tangga.
“Penggunaan energi yang bersih di tingkat rumah tangga akan memberikan dampak positif pada kesehatan keluarga,” ujarnya.
Ia lalu membandingkan kondisi di masa lalu ketika anak-anak belajar dengan memanfaatkan lampu minyak, sementara saat ini mereka menggunakan listrik. “Artinya kita memberikan kesempatan bagi mereka untuk belajar dengan kondisi yang lebih baik dan kita berkontribusi pada generasi masa depan,” ujar Lenny.
Lenny pun mengatakan bahwa penggunaan akses listrik juga dapat meningkatkan produktivitas perempuan. Jika pada masa lampau waktu dialokasikan untuk mencari kayu bakar, kini dapat digunakan untuk aktivitas lain yang lebih produktif.
Dalam acara webinar itu, Co-Chair Civil 20, Aryanto Nugroho menjelaskan tentang isu transisi energi yang tetap dibarengi dengan pendekatan Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya.
Ia lalu mencontohkan transisi energi fosil menjadi energi terbarukan. Misalnya panel surya. Transisi ke panel surya tentu membutuhkan teknologi dan baterai lithium yang berasal dari tambang nikel. Otomatis hal ini akan memicu pembukaan tambang nikel, smelter, pabrik baterai, pabrik mobil listrik, dan lain-lain.
Melihat fenomena yang terjadi, selalu saja pihak yang paling rentan dari semua proses transisi ini adalah perempuan, anak, maupun kelompok rentan lainnya.
“Karena itu transisi energi membutuhkan pendekatan GEDSI dalam perjalanannya,” kata Aryanto. (hw/ebs)
Sumber: tvonenews.com at line today