Indonesia adalah produsen batubara terbesar kelima di dunia setelah China, Amerika Serikat, Australia dan India. Meski demikian, Indonesia merupakan eksportir terbesar kedua setelah Australia dengan nilai ekspor mencapai 12,9 miliar USD di tahun 2016 (WTEx, 2018). Padahal cadangan batubara Indonesia sendiri berada di peringkat sembilan terbesar di dunia, yakni hanya 2,2% dari cadangan batubara dunia (BP Statistical Review 2016). Adapun cadangan batubara Indonesia mayoritas tersebar di wilayah Kalimantan dan Sumatera dengan masing-masing cadangan mencapai 18.882 dan 13.380 juta ton (Badan Geologi, 2016). Dengan menggunakan laju produksi tetap (461 juta ton per tahun-realisasi produksi tahun 2016) dan tidak ada penambahan data cadangan baru, maka cadangan batubara Indonesia diperhitungkan akan habis dalam kurun waktu 28 tahun mendatang, atau tepatnya hingga tahun 2046.
Sementara itu, tata kelola batubara di Indonesia masih dibayangi sejumlah permasalahan yang kritikal, mulai dari carut-marut perizinan hingga indikasi kerugian negara akibat ekspor ilegal dan transaksi yang tidak tercatat. Terkait perizinan, setidaknya masih ada 633 IUP yang berstatus non-clean and clear (KESDM, Januari 2018) dan 843.000 ha konsesi batubara berada di kawasan hutan lindung dan konservasi (KESDM, Desember 2016). Terlebih, hingga awal tahun 2018, persentase pemegang IUP yang menempatkan dana jaminan reklamasi dan pascatambang hanya 50% dari total keseluruhan IUP di sektor pertambangan minerba.
Pemerintah Indonesia telah mencanangkan kebijakan pengendalian produksi dan ekspor batubara sejak tiga tahun terakhir. Hal ini tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 dan kembali ditekankan dalam Perpres Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Melalui regulasi di atas, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan produksi batubara secara gradual menjadi 400 juta ton di tahun 2019 serta mengurangi porsi ekspor batubara secara bertahap dan menghentikan ekspor paling lambat pada tahun 2046.
Publish What You Pay (PWYP) Indonesia atas dukungan European Climate Foundation berinisiatif melakukan program yang bertujuan untuk memperbaiki tata kelola batubara di Indonesia dengan mewujudkan tata kelola yang berintegritas, transparan, dan akuntabel. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan penerimaan batubara digunakan secara bertanggungjawab dan selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, menutup celah korupsi guna mengendalikan potensi rente serta mengendalikan eksploitasi dan dampak sosio-lingkungan.
Program ini secara khusus fokus pada mata rantai perizinan, penerimaan, produksi dan tata niaga batubara. Pendekatan yang dilakukan dalam program ini mecakup 1) Penglibatan multi-pemangku kepentingan (multi-stakeholder engagement) dalam perbaikan tata kelola batubara, 2) Advokasi kebijakan berbasis fakta melalui penyusunan kajian penataan izin batubara, pemetaan celah dalam pengawasan produksi dan ekspor, serta efektivitas tata kelola penerimaan negara dari sektor batubara, 3) Peningkatan kesadaran masyarakat melalui kampanye kreatif.
Program ini menekankan kerja kolaborasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian dan Lembaga (K/L) serta pemerintah daerah terkait melalui inisiatif Koordinasi dan Supervisi di sektor mineral dan batubara (Korsup Minerba), utamanya dalam mengawasi pelaksanaan kebijakan serta kepatuhan perusahaan di rantai nilai perizinan, produksi dan ekspor batubara.
Dalam konteks yang lebih luas, program ini merupakan wujud nyata komitmen PWYP Indonesia dalam mendorong terwujudnya transisi energi di Indonesia dengan meningkatnya kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi primer, yakni 31% di tahun 2050, melalui pembatasan produksi, penggunaan, dan ekspor batubara sebagaimana yang dimandatkan oleh RUEN.