Menyeruaknya skandal Panama Papers mengindikasikan masifnya praktik penghindaran pajak, pencucian uang serta penyamaran aset hasil korupsi di negara suaka pajak (tax haven) yang melibatkan sejumlah politisi dan orang besar. Tentunya ini semakin memperkuat urgensi penerapan kebijakan transparansi beneficial ownership (BO) -siapa penerima manfaat sesungguhnya- di Indonesia.

Kendati berpotensi kuat untuk mencegah tindak korupsi hingga pencucian uang, pemangku kepentingan di Indonesia masih memiliki pandangan miring akan kebijakan BO (dalam konteks investasi), sebagaimana diungkap oleh Dadang Trisasongko, Direktur Eksekutif TI Indonesia dalam diskusi Perkembangan dan Peluang Advokasi Kebijakan BO pada 27 Mei lalu di Jakarta.

“Sejumlah pihak masih merasa transparansi BO akan menjadi penghambat investasi di Indonesia, karena pelaku usaha akan takut untuk memulai bisnisnya. Padahal BO bukanlah hal yang baru di Indonesia. Terdapat sejumlah regulasi yang mengatur BO, namun terpisah-pisah di instansi yang berbeda dengan definisi yang beragam. Menjadi tantangan serta keharusan bagi Indonesia untuk melakukan harmonisasi regulasi tersebut,” jelas Dadang.

Erika Westenberg, Senior Governance Officer Natural Resources Governance Institute menjelaskan pembelajaran dari praktek di negara lain, keberadaan payung hukum memiliki peran penting untuk menjamin keberhasilan implementasi kebijakan BO. Untuk kasus Indonesia, perlu dilakukan pemetaan aktor beserta peranannya terkait kebijakan BO untuk menghasilkan prinsip-prinsip utama BO yang harus dipatuhi bersama, namun ambang batasnya (threshold) bisa dibedakan tergantung dengan kebutuhan masing-masing instansi.

“Akan tetapi, penting juga mempertimbangkan momentum untuk menjaga peluang penerapan transparansi BO. Dalam jangka pendek, Indonesia bisa melakukan piloting di sektor yang rawan korupsi, seperti sektor industri ekstraktif, melalui kerangka EITI. Namun dalam jangka panjang, perlu melakukan pengarusutamaan BO pada sektor-sektor lain. Karena kebijakan BO yang bersifat sektoral juga hanya memberikan dampak sektoral, tidak menyeluruh”, tambah Erika.

Di akhir diskusi, Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menegaskan bahwa, Indonesia kental sekali dengan relasi yang kuat antara aktor politik dengan bisnis, sehingga sangat rawan terjadi conflict of interest. Advokasi BO penting dilakukan untuk mendeteksi serta mencegah hal tersebut. Langkah konkrit yang bisa diambil adalah dengan meningkatkan kesadaran publik terhadap isu ini serta terus mengawal pelaksanaan EITI yang mendorong penerapan BO untuk sektor industri ekstraktif. Penting juga melakukan studi kasus secara mendalam sebagai bahan untuk advokasi regulasi.