Rancangan Perpres tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Terorisme dinilai sebagai upaya progresif pemerintah dalam menyiapkan perangkat hukum untuk pelaksanaan beneficial owner.

Pemerintah menggodok aturan yang nantinya mewajibkan korporasi untuk memberikan informasi tentang siapa pemilik manfaat sebenarnya (Beneficial Owner) dari perusahaan. Pengaturan prinsip mengenali penerima manfaat dari korporasi ini dilatarbelakangi karena banyaknya korporasi yang dijadikan sarana oleh pelaku tindak pidana yang merupakan penerima manfaat.

Peneliti dari Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Agung Budiono, mengatakan komitmen pemerintah menyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencehgan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Terorisme untuk mengungkap identitas pemilikan atau pengendali sejalan dengan upaya penegakan prinsip transparansi di sektor migas dan minerba. Hal itu tertuang dalam StandarExtractive Industries Transparency Initiative (EITI/ Inisiatif Transparansi dalam Industri Ekstraktif) tahun 2016.

“Ini secara political will sangat maju. Dengan ini semua korporasi harus deklarasikan siapa pemilik manfaatnya,” kata Agung saat diwawancarai hukumonline di Jakarta, Rabu (31/5) kemarin.

Laporan tahunan EITI yang dirilis akhir Mei 2017 lalu, menunjukkan satu terobosan di mana tertuang komitmen Indonesia dalam menerapkan beneficial owner. Pemerintah Indonesia juga telah menjabarkan peta jalan (road map) transparansi beneficial ownership, di mana era keterbukaan ini dimulai sejak tahun ini kemudian pengungkapan nama, domisili, dan kewarganegaraan orang atau sekelompok orang yang mengontrol perusahaan-perusahaan khusus di industri migas dan minerba dimulai tahun 2020.

Secara garis besar, pelaksanaan peta jalan in dibagi tiga tahap. Tahap Pertama, penentuan definisi, tingkat keterbukaan informasi, dan penentuan cara paling efektif terkait beneficial owner untuk manajemen data dan cara pengumpulan data pada tahun 2017. Tahap Kedua, penentuan kementerian atau lembaga yang bertanggungjawab dalam pelaporan beneficial owner sekaligus pengembangan kerangka institusi dan hukum pada tahun 2018. Dalam tahap ini juga akan dilakukan kajian terkait regulasi yang menghambat atau mendukung pelaksanaan serta sosialisasi aturan transparansi ini pada industri ekstraktif. Tahap terakhir, pada tahun 2019 masuk ke tahap pelaksanaan.

“Tujuan EITI ini untuk meningkatkan kepatuhan dan reputasi dari negara. Artinya ketika, bisnis tambang transpasran, maka governance akan lebih baik,” kata Agung.

Dari pelaksanaan beneficial owner ini, lanjut Agung, diharapkan berdampak ke seluruh sektor industri, tidak hanya ke industri migas dan minerba misalnya dampak keterbukaan pemilik manfaat ke penerimaan di sektor perpajakan. Ambil contoh misalnya, perusahaan A di Indonesia menjual batu bara dengan nilai Rp 700 juta ke perusahaan B dengan seharga Rp 750 juta, yang sebetulnya merupakan anak usaha perusahaan A. Dari penjualan itu, perusahaan A mendapat untung Rp 50 juta.

Singkat cerita, perusahaan B menjual kembali batu bara itu ke perusahaan C yang berada di tax haven country seharga Rp 1 miliar. Artinya terdapat untung senilai Rp 250 juta yang dihindarkan pajaknya oleh perusahaan dan anak usahanya itu. kata Agung, bila nantinya regulasi tentang prinsip mengenali pemilik manfaat diberlakukan, maka perusahaan yang mencoba melakukan penghindaran pajak dengan mengalihkan keuntungan (profit shifting) dapat dengan mudah dibidik dan dilacak aliran keuangan sebagai bukti.

“Ini kan bisa ditindaklanjuti secara sektoral. Akhirnya bisa tahu, begitu di-declare NPWP, Ditjen pajak bisa tahu pajaknya. Jadi, ini punya dampak lanjutan kepada otoritas lain,” kata Agung.

Agung melanjutkan, selama ini upaya mengungkap pemilik manfaat sebenarnya sangat sulit dilakukan. Pengalaman PWYP Indonesia sendiri, melacak pemilik manfaat yang sebenarnya lewat dokumen yang terekam di sistem Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM seringkali tak membuahkan hasil. Permintaan dokumen resmi yang mesti ditebus dengan membayar biaya PNBP juga tak banyak membantu mengungkap siapa pemilik manfaat usaha grup tertentu.

“Kita cek ke AHU beli data AHU perseroan. Satu data itu (harganya) 500rb (mulai dari RUPS dan pendirian terakhir), ada nama direktur, komisaris, besaran pemilik saham. Tapi legal entity yang didapat dari AHU itu belum memadai. Kita dapatkan sampai layer 3 dan ke-4, tapi kita tidak bisa mencari kalau suatu PT berkedudukan hukum di luar Indonesia seperti negara tax haven. Data AHU saja tidak cukup sebenarnya. Makanya, penting buat kita untuk mendorong deklarasi beneficial ownership,” kata Agung.

Pelaksanaan peta jalan itu nantinya memang akan melibatkan sejumlah instansi, diantaranya Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Bappenas Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kantor Staf Presiden (KSP), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Bank Indonesia (BI).

Masing-masing kementerian/lembaga juga menyiapkan kajian untuk menentukan apakah butuh payung hukum untuk pelaksanaannya. Seperti misalnya draf rancangan Perpres tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencehgan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Terorisme yang dikoordinatori PPATK jadi salah satu contoh pengajuan payung hukum pelaksanaan beneficial owner.

Ketua Tim Penyusun Rancangan Perpres, Yunus Husein menjelaskan latar belakang dibuatnya Perpres ini untuk mengetahui transaksi-transaksi yang terjadi di korporasi apakah terindikasi tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme atau tidak. Hal ini sesuai best practice yang terjadi di internasional. Selain itu, penyusunan ini juga bermaksud agar Indonesia comply dengan rekomendasi 24 dan 25 Financial Action Task Force (FATF) on money laundering. Yunus melanjutkan, draf rancangan Perpres sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo. Artinya, rancangan Perpres itu hanya tinggal menunggu tanda tangan Presiden.

“Meminta transparansi untuk masalah beneficiary ownership dari badan-badan hukum, dari korporasi, dan dari legal arrangement atau transaksi, dia bisa terkait badan hukum dan siapa di balik transaksi,” kata Yunus kepada hukumonline akhir Mei kemarin.

(Baca Juga: Mengintip Rancangan Perpres Mengenali Pemilik Manfaat Korporasi)

Berdasarkan draf rancangan Perpres yang diperoleh hukumonline, yang dimaksud pemilik manfaat adalah orang perseorangan dalam korporasi yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi atau pengurus pada korporasi, memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham korporasi dan/atau memenuhi kriteria sebagaimana dalam Perpres ini.

Sedangkan yang dimaksud korporasi meliputi, perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, persekutuan komanditer, persekutuan firma atau bentuk korporasi lainnya. Dalam rancangan Perpres ini disebutkan, tiap korporasi wajib menetapkan paling sedikit satu pemilik manfaat.

Selain itu, Otoritas Berwenang yakni instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah yang memiliki kewenangan pendaftaran, pengesahan, atau pembubaran korporasi atau lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan dan pengaturan bidang usaha korporasi, juga dapat menetapkan pemilik manfaat di luar pemilik manfaat yang disebutkan oleh korporasi.

Penetapan pemilik manfaat lain oleh Otoritas Berwenang ini dilakukan berdasarkan penilaian yang bersumber dari hasil audit terhadap korporasi oleh Otoritas Berwenang, informasi instansi pemerintah, lembaga swasta yang mengelola data, informasi pemilik manfaat, menerima laporan dari profesi tertentu yang memuat informasi pemilik manfaat. Serta, informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Dalam rancangan Perpres juga disebutkan, korporasi wajib menunjuk pejabat/pegawai yang bertanggung jawab untuk menerapkan prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi, menyediakan informasi mengenai korporasi dan pemilik manfaat dari korporasi atas dasar permintaan Otoritas Berwenang dan instansi penegak hukum.

Penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat oleh korporasi dilakukan melalui identifikasi dan verifikasi. Penerapan tersebut dilakukan pada saat permohonan pendirian, pendaftaran dan/atau pengesahan korporasi, serta korporasi menjalankan usaha atau kegiatannya.

Informasi pemilik manfaat dari korporasi paling sedikit mencakup nama lengkap; nomor identitas kependudukan, surat izin mengemudi, atau paspor; tempat tanggal lahir; kewarganegaraan; alamat tempat tinggal yang tercantum dalam kartu identitas; alamat di negara asal dalam hal warga negara asing; Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan hubungan antara korporasi dengan pemilik manfaat. Seluruh informasi ini wajib dilengkapi dengan dokumen pendukung.

Korporasi wajib menyampaikan informasi benar disertai dengan surat pernyataan mengenai pemilik manfaat kepada Otoritas Berwenang. Jika diperlukan, Otoritas Berwenang dapat melakukan verifikasi kesesuaian antara informasi pemilik manfaat dengan dokumen pendukung. Korporasi wajib melakukan pengkinian informasi pemilik manfaat secara berkala setiap satu tahun.

Terkait pengawasan, rancangan Perpres ini memberikan amanatnya kepada Otoritas Berwenang. Dalam melaksanakan tugas pengawasannya, Otoritas Berwenang dapat menetapkan regulasi atau pedoman sebagai pelaksanaan Perpres ini, melakukan audit terhadap korporasi, dan mengadakan kegiatan administratif lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan Perpres ini.

Pengawasan oleh Otoritas Berwenang dilakukan berdasarkan hasil penilaian risiko tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme. Dalam melakukan pengawasan, Otoritas Berwenang bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Jika diperlukan, Otoritas Berwenang dapat berkoordinasi dengan lembaga terkait sesuai kewenangannya.

“Korporasi yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Peraturan Presiden ini dikenai sanksi dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 14 rancangan Perpres.

Sementara selain PPATK, Kemenkumham juga sedang menunggu Keputusan Presiden (Keppres) agar pengajuan Perpres dapat segera dilakukan. Pengajuan Perpres itu dilakukan karena tidak ada pendelegasian beneficial owner di peraturan yang setingkat undang-undang. dalam hal ini, Kemenkumham tidak bisa mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) apabila tak ada undang-undang yang memayungi beneficial owner.

Selain itu, KPK tengah melakukan kajian kedua yang juga berisi risk assessment pelaksanaan beneficial owner. Kajian akan menentukan beberapa hal penting seperti tingkat keterbukaan dan siapa yang dapat mengakses informasi beneficial owner. Kajian KPK diperkirakan akan selesai di bulan Agustus 2017. Pembukaan informasi BO ini menarik perhatian masyarakat setelah terungkapnya nama 1.038 wajib pajak asal Indonesia dalam kasus Panama Papers.

Walaupun tak semua berbuat criminal, namun ada beberapa yang terindikasi melakukan pelanggaran seperti manipulasi pajak, pencucian uang dan pendirian perusahaan fiktif atau perusahaan papan nama. Keseriusan pemerintah Indonesia untuk pembukaan informasi beneficial owner ditunjukkan dengan komitmen di forum anti-corruption summits yang berlangsung di London 12 Mei 2016. Indonesia juga bergabung dengan sejumlah inisiatif global yang memiliki persyaratan keterbukaan informasi beneficial owner. Selain EITI, Indonesia juga berpartisipasi dalam FATF dan pelaksanaanBO G20 Principles.

 

Sumber: Hukum Online