Negara berkembang termasuk Indonesia secara nyata telah mengalami kekurangan pasokan vaksin di sejumlah daerah. Di tengah kejatuhan ekonomi nasional akibat pandemi, pemerintah Indonesia harus membayar mahal belanja vaksin COVID-19 dari luar negeri akibat harga vaksin yang dipatok mahal oleh para pabrik farmasi internasional, dan menciptakan beban ekonomi yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pemulihan ekonomi pasca pandemi.

“Yang dilakukan oleh negara-negara kaya adalah membeli vaksin dalam jumlah yang jauh di atas kebutuhan mereka, dan membuat negara lain yang tidak punya uang minggir dulu,” ungkap Lutfiyah Hanim, anggota C20 Indonesia dari Indonesia for Global Justice (IGJ) dalam webinar Road to G20 Indonesia 2022: Mewujudkan Akses Vaksin yang Terjangkau Bagi Warga pada Kamis, 19 Agustus 2021.

Penyebab ketimpangan akses vaksin dan obat-obatan di level internasional yang menyebabkan kegagalan penanganan COVID-19 di negara berkembang tidak lepas dari akar permasalahannya yaitu penguasaan dan monopoli perusahaan farmasi besar atas Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) vaksin COVID-19. Sejak awal pandemi, perusahaan farmasi global terus mengadopsi pendekatan “business as usual”, baik dengan mempertahankan kontrol ketat atas hak kekayaan intelektual mereka atau dengan mengejar keuntungan besar penjualan vaksin dan obat-obatan dan mengesampingkan nilai kemanusiaan di tengah pandemi. Terlebih hampir seluruh produk kesehatan dalam penanganan COVID-19, seperti alat tes, diagnostik, masker, obat-obatan, vaksin, dan ventilator dilindungi dalam hak paten, rahasia dagang, dan desain industri yang diatur dalam perjanjian HAKI atau TRIPS Agreement di organisasi perdagangan dunia (WTO). Hal ini bahkan diperparah dengan komitmen negara-negara maju yang belum kuat untuk mendistribusikan vaksin dengan adil, terutama ke negara-negara miskin dan berkembang.

“Per Juni 2021 hanya 1,4% (vaksin) yang dikirim ke Afrika, yang 2,4% ke negara lain yang berpendapatan rendah. Sisanya negara maju. Bisa dikatakan 94 dari 100 penduduk negara maju sudah divaksinasi. Sehingga boleh dikatakan keseimbangan (vaksin) tuh jomplang.” ujar Rudjimin, Koordinator Penanganan Sengketa Perdagangan dan Kekayaan Intelektual di Direktorat Perdagangan, Komoditas, dan Kekayaan Intelektual (PKKI), Kementerian Luar Negeri RI.
Presiden RI Joko Widodo sudah menegaskan bahwa posisi Indonesia mendorong inisiatif pengabaian HAKI vaksin COVID-19 atau juga disebut sebagai TRIPS waiver melalui forum-forum internasional. Indonesia akan memegang presidensi G20 mulai 1 Desember 2021 dan menjadi tuan rumah pertemuan forum ekonomi global terbesar ini pada November 2022. Mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger”, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyatakan bahwa momentum ini menjadi kesempatan emas untuk mengangkat isu pemulihan dari pandemi COVID-19 dan akses vaksin yang terjangkau bagi seluruh warga dan mendorong lahirnya kebijakan produksi dan distribusi vaksin secara global yang lebih cepat dan terjangkau melalui inisiatif pencabutan HAKI vaksin COVID-19.

Meski demikian, isu HAKI bukan kendala satu-satunya untuk mewujudkan akses vaksin yang terjangkau. Jika inisiatif pengabaian HAKI (TRIPS waiver) dilaksanakan pun, Indonesia masih menghadapi kendala keterbatasan teknologi. “Kalau sekarang TRIPS waiver disepakati, kita (melalui PT Bio Farma) bisa bikin (vaksin) tidak? Mereka akan bilang belum bisa bikin. Masih ada teknologi yang belum dimiliki PT Bio Farma untuk membuat vaksin. Perlu ada bantuan teknologi dari vaccine manufacturer”, ujar Rudjimin.

C20 Indonesia juga menyoroti anggaran vaksin pemerintah Indonesia yang dinilai belum mencukupi dan birokrasi vaksin nasional yang rumit. “Jumlah (vaksin) yang dibeli masih kurang, ini tercermin dari anggaran program pemulihan ekonomi nasional yang dialokasikan untuk vaksin boleh dibilang masih kecil. Belum lagi soal birokrasi vaksin di Indonesia yang masih complicated (rumit), ditambah lagi dengan kurangnya dukungan rantai distribusi vaksin Indonesia.”, tegas Tatat, anggota C20 Indonesia dari lembaga Oxfam in Indonesia.

Dalam mewujudkan akses vaksin yang terjangkau, C20 Indonesia menyuarakan sejumlah rekomendasi untuk mengoptimalkan peran diplomasi Indonesia pada G20 2022.

  1. Negara G20 secara konkret segera menyepakati pelaksanaan pengabaian HAKI atau TRIPS Waiver untuk penanganan COVID19 secara efektif dan berkeadilan.
  2. Mendorong organisasi multilateral selain G20 dan komunitas CSO global untuk secara konkret memberikan dukungan pengabaian HAKI atau TRIPS Waiver dalam penanganan COVID19 dan tuntutan jaringan manufaktur vaksin yang didistribusikan secara geografis
  3. Mewujudkan komitmen kerjasama multilateral untuk berbagi teknologi dan langkah teknis (know-how) dalam membangun dan memperkuat kemampuan manufaktur/industri farmasi di negara berkembang dalam rangka memproduksi vaksin, obat-obatan, dan produk kesehatan lainnya yang dibutuhkan di masa pandemi.
  4. Kerja sama investasi dan pembiayaan yang dibutuhkan untuk peningkatan kapasitas produksi dan distribusi vaksin, obat-obatan, dan produk kesehatan lainnya yang dibutuhkan semasa pandemi.
  5. Komitmen untuk tidak meninggalkan kelompok marjinal dalam perluasan cakupan vaksinasi dengan kebijakan pro rakyat (misalnya memudahkan administrasi kependudukan untuk kelompok marjinal yang belum memiliki KTP secara lebih merata)
  6. Kontribusi masyarakat sipil dalam memastikan pemutakhiran dan sinkronisasi data calon penerima vaksin adalah salah satu bentuk partisipasi dan kolaborasi masyarakat sipil dan pemerintah yang patut diapresiasi dan dilakukan di berbagai negara.

Sebagai wadah masyarakat sipil, C20 Indonesia mendorong adanya partisipasi aktif masyarakat dalam menyuarakan isu ini. “Kita dorong kesadaran masyarakat untuk memperbanyak vaksin, kita memperkuat kontrol terhadap akuntabilitas sosial dari pelaksanaan vaksin itu sendiri. Jangan sampai ada kebocoran dari sisi dana, jangan sampai datanya tidak transparan.” tutup Maryati Abdullah, anggota C20 Indonesia dari lembaga Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.

C20 Indonesia adalah sebuah engagement group resmi untuk G20 2022 yang terdiri dari 25 organisasi masyarakat sipil di Indonesia, salah satunya adalah INFID yang sekaligus menjadi ketua C20 Indonesia. C20 Indonesia terbagi ke dalam tujuh working group yang bergerak pada isu kesehatan, energi, pembiayaan program pembangunan berkelanjutan, kesetaraan gender, anti korupsi, pajak digital, serta pendidikan. C20 merupakan wadah aspirasi masyarakat sipil yang dibentuk dengan tujuan untuk membawa suara-suara publik ke atas meja negosiasi sebagai agenda yang dibahas dalam pertemuan G20.

NARAHUBUNG:

Intan Bedisa (08111231332 – intanbedisa@infid.org)

Maryati Abdullah – maryati@pwypindonesia.org