JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta mengendalikan produksi batubara sesuai Rencana Jangka Panjang Menengah Nasional atau RPJMN 2015-2019. Produksi dikendalikan agar batubara bisa dimanfaatkan sebagai modal penggerak ekonomi dalam negeri serta mendorong peralihan ke sumber energi bersih. Namun, di sisi lain, ketergantungan pada batubara di sektor penerimaan negera masih tinggi.

Sesuai RPJMN 2015-2019, produksi batubara tahun 2015 semestinya 425 juta ton. Namun, realisasinya mencapai 461 juta ton. Tahun 2018, realisasi produksi hampir mencapai 500 juta ton, jauh melampaui patokan RPJMN yang 406 juta ton. Sementara patokan produksi tahun 2019 adalah 400 juta ton.

“Produksi yang tak terkendali dan mengejar tuntutan pasar ekspor sudah tidak wajar karena tidak mempertimbangkan keseimbangan cadangan dan daya dukung alam,” ujar Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas sumber daya ekstraktif, Maryati Abdullah, Rabu (2/1/2019), di Jakarta.

Maryati mencontohkan kasus tanah ambles di permukiman warga di Kecamatan Sanga-sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, akhir November tahun lalu. Penyebab kuat peristiwa itu diduga aktivitas tambang batubara. Penambangan yang masif juga menyisakan lubang bekas tambang yang sudah menelan sejumlah korban jiwa.

Masalah lainnya, produksi batubara yang difokuskan untuk ekspor demi devisa tidak cukup menarik bagi program penciptaan nilai tambah di dalam negeri. Tujuan penambahan lapangan kerja maupun dampak lain di sektor hilir tidak akan tercapai. Pengelolaan sumber daya alam ekstraktif sebagai sumber devisa harus diubah jadi modal pembangunan di dalam negeri.

“Sementara banyak negara lain sudah mengurangi pemakaian batubara sebagai sumber energi dengan beralih pada sumber energi terbarukan yang lebih bersih dan rendah emisi,” kata Maryati.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Sumber Daya Mineral, Batubara, dan Listrik, Garibaldi Thohir mengatakan, batubara masih berperan penting bagi sumber energi primer untuk pembangkit listrik di Indonesia. Ia mencontohkan penggunaan batubara di negara maju lain seperti Amerika Serikat dan China. Di Amerika, batubara jadi sumber energi primer kedua untuk pembangkit listrik setelah gas. Di China, bauran energi untuk batubara berkontribusi sebesar 58 persen.

“Sektor mineral dan batubara menyumbang penerimaan negara bukan pajak Rp 40,6 triliun pada tahun 2017. Terhadap penciptaan lapangan kerja, nilai penggandaan tambang batubara menyumbang hampir dua kali lipat,” kata Garibaldi saat berpidato di International Energy Agency (IEA) Coal Forecast to 2023, beberapa waktu lalu, di Jakarta.

Dorong hilirisasi
Dalam berbagai kesempatan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mendorong pengusaha batubara melaksanakan hilirisasi batubara di dalam negeri. Salah satu program hilirisasi yang diinginkan pemerintah adalah gasifikasi batubara, yaitu proses mengubah batubara menjadi gas.

Program tersebut dinilai dapat mengurangi ketergantungan impor elpiji yang mencapai 70 persen. Dari total konsumsi elpiji sebanyak 6,7 juta ton per tahun, Indonesia mengimpor hampir 5 juta ton per tahun. Nilai impornya setara 3 miliar dollar AS setahun.

“Pengusaha sebaiknya tidak hanya gali dan jual. Di negara lain, seperti China, batubara sudah bisa diproses menjadi avtur. Gasifikasi batubara harus terus didorong agar ketergantungan pada impor elpiji bisa dikurangi,” kata Jonan.

Akan tetapi, soal gasifikasi batubara, sejumlah pihak berpendapat bahwa pemerintah harus turun langsung memimpin program tersebut. Di satu sisi, belum ada aturan atau peta jalan yang menjadi acuan bagi pengusaha untuk melakukan gasifikasi batubara. Pemerintah mengaku sedang menyiapkan sejumlah regulasi terkait hilirisasi batubara.

Sebelumnya, PT Bukit Asam Tbk menggandeng perusahaan asal Amerika Serikat, Air Products and Chemical Inc, untuk membangun industri gasifikasi batubara di Indonesia. Nota kerja sama dengan Air Products and Chemical Inc sudah ditandatangani Bukit Asam bersama Pertamina beberapa waktu lalu. Perusahaan Amerika itu menguasai teknologi gasifikasi batubara yang nantinya akan dimanfaatkan Bukit Asam.

Proyek gasifikasi Bukit Asam akan mengubah batubara jadi bahan baku urea berkapasitas 500.000 ton per tahun, dimetil eter 400.000 ton per tahun, dan polypropylene 450.000 ton per tahun. Rencana lokasi unit gasifikasi batubara tersebut ada di kawasan tambang batubara Bukit Asam di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.

Sumber: Kompas