Oleh: Askhalani
Status quo adalah istilah yang kerap muncul dalam konteks sosial, politik dan ekonomi. Status quo dalam tulisan ini merujuk pada kondisi yang lebih luas yang mendefiniskan keadaan kompleks tertentu secara khusus di Provinsi Aceh atas pengelolaan minerba, yang tentu memiliki perbedaan dengan wilayah lain di Indonesia pasca terbitnya UU baru tentang pertambangan mineral dan batubara.
Joko Widodo tanggal 10 Juni 2020 telah menandatangani Uu No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam UU terbaru tersebut atau lebih dikenal dengan istilah UU Minerba yang baru (UU No. 3/2020) dinilai secara positif oleh sebagaian besar pelaku usaha karena memberikan kepastian hukum dan kepastian investasi baik bagi pemegang IUP, IUPK serta KK dan PKP2B.
Dengan terbitnya UU No. 3/2020, paling tidak bagi industri pertambangan memiliki harapan ditengah kondisi Pandemi Covid-19 yang dampaknya sangat signifikan dan kemungkinan masih akan berkepenjangan.
UU Minerba ini, selain memberikan kepastian hukum bagi perpanjangan/konversi KK/PKP2B menjadi IUPK Operasi Produksi, juga mengatur beberapa hal penting diantarnya terkait kewenangan pengelolaan minerba yang sebelumnya didelegasikan oleh pemerintah ke pemerintah daerah, di UU Minerba ini kewenangan berada ditangan pemerintah pusat.
UU No. 3/2020 menetapkan sumber daya mineral dan batubara adalah kekayaan nasional oleh karena itu pengelolaannya dibawah kendali pemerintah pusat. Namun daerah tetap akan mendapatkan manfaat, bahkan diharapkan lebih besar, dari pengelolaan minerba pasca penerbitan UU No. 3/2020. Peran pemerintah daerah akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP) yang segera akan disusun. Selain itu, UU juga memperkenalkan izin baru yaitu Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB) yang kewenangannya didelegasikan ke pemerintah provinsi.
Dalam UU No. 3/2020 juga ditetapkan bahwa kewenangan perizinan atas IUP berada ditangan pemerintah pusat dimana sebelumnya kewenangan dalam pengurusan perizinan IUP berada ditangan pemerintah daerah dan salah satu argumentasi yang dijadikan landasan dalam UU No. 3/2020 menetapkan bahwa sumber daya mineral dan batubara adalah kekayaan nasional oleh karena itu pengelolaannya dibawah kendali pemerintah pusat.
Atas berlakunya UU No. 3/2020 inilah mengharuskan Pemerintah Aceh melakukan protes atas kebijakan terutama mengenai kewenangan pegelolaan atas perizinan IUP. Karena dengan berlakunya sistem kewenangan yang diatur dalam UU No. 3/2020 jelas merugikan bagi Aceh karena kewenangan terhadap Pengelolaan Minerba sudah diatur secara khusus dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh dan PP No 3 tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah Bersifat Nasional di Aceh.
Berangkat dari masalah di atas, Pemerintah Aceh melalui surat Nomor 543/11240 tertanggal 21 Juni 2021 yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh mengirimkan surat protes perihal kewenangan khusus pengelolaan minerba di Aceh, yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan dalil diantaranya bahwa Pemerintah Aceh menegaskan tentang kewenangan khusus yang dimiliki Aceh atas pengelolaan Minerba. Hal ini merujuk pada dalil pasal 173A UU No. 3/2020 yang secara khusus memberikan kesempatan kepada Aceh untuk dapat menjalankan kewenangannya sebagaimana termaktub dalam UU 11/2006 serta PP 3/2015.
Selain surat protes atas kewenangan pengelolaan minerba ke kementerian dalam negeri (kemendagri), tepatnya pada tanggal 29 Juni 2021 di Aceh dilakukan satu kegiatan diskusi multy pihak dengan menghadirkan para steakholder yang secara khusus membahas tentang Kewenangan Aceh pasca berlakunya UU No 3 /2020 dimana agenda ini dilaksanakan oleh GeRAK Aceh bekerjasama dengan PWYP Indonesia, Global patnership for Social accountability (GPSA) dan didukung oleh Dinas ESDM Aceh.
Dalam kegiatan ini beberapa hal substansi khusus menjadi catatan diantaranya soal pentingnya mempertahankan kewenangan Aceh terhadap pengelolaan perizinan IUP sebagaimana mandatori UUPA dan PP kewenangan Aceh, juga terkait dukungan penuh dari publik Aceh dalam rangka mendukung Pemerintah Aceh untuk menyurati Kementerian terkait baik Kemendagri maupun ESDM terutama pada upaya legistimasi tentang kewenangan Aceh atas proses perizinan IUP yang menjadi hak mutlak: harus dipertahankan.
Merujuk pada persoalan diatas dan didasarkan yang didasari surat yang dikirimkan oleh Pemerintah Aceh, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui surat dengan No 118/4773/OTDA tertanggal 22 Juli 2021 perihal Kewenangan Mineral dan Batubara di Aceh yang ditandatangani oleh Dirjen Otda menjelaskan bahwa (1) Kewenangan Aceh dalam pengelolaan sektor Minerba yg terdapat dlm UU Otsus 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh Tetap (2).
Dimana dalam pelaksanaan kewenangan tersebut harus memperhatikan hal sebagai berikut: (a) NSPK yang ditetapkan Pemerintah melalui ESDM termasuk di dalamnya adalah terkait dengan tatacara perizinan, kebijakan pertambangan nasional dan penggunaan teknologi informasi pembinaan pengawasan pertambangan sebagai bagian dari akuntabilitas dan transparansi, (b) Mengingat ketersediaan SDM, maka pengawasan pertambangan oleh inspektur tambang dibawah koordinasi dan kewenangan Pemerintah Pusat. Dimana Aceh melakukan peningkatan kapasitas SDM inspektur tambang dgn supervisi pemerintah pusat, yang kemudian secara bertahap pengawasan akan dilakukan oleh pemerintah Aceh, (c) Penegasan kembali mengenai Penanaman Modal Asing, tetap menjadi kewenangan Pusat sebagaimana selama ini telah berjalan.
Peluang Perbaikan Tata Kelola Minerba
Keberhasilan atas pengembalian kewenangan atas Minerba bagi Aceh menjadi sesuatu yang sangat berharga. Hal ini bukan hanya dimaknai sebagai satu keberhasilan, yang paling urgent adalah bagiamana Aceh segera mefokuskan diri dalam mempercepat mekanisme perbaikan tata kelola minerba yang saat ini masih belum berjalan optimal, salah satunya adalah terkait dengan optimalisasi pengawasan atas Pertambangan.
Selain itu, yang perlu mendapat fokus utama untuk dikaji yaitu menjadikan UU PMA sebagai salah satu referensi. Terutama bagaimana membangun koordinasi dengan BKPM mengenai PMA.
Beberapa temuan di korsup KPK terkait persoalan mengenai proses peralihan PMA yang tidak diinformasikan ke daerah, misalnya proses penagihan laporan data produksi dan penagihan tunggakan PNBP tetap dilakukan oleh Pemda padahal telah beralih ke PMA, sehingga SDM dan biaya pemda menjadi tidak efisien.
Dengan merujuk pada poin akhir dari surat Mendagri yang menyebutkan bahwa Penanaman Modal Asing tetap menjadi kewenangan Pusat adalah salah satu keuntungan sebab dengan proses PMA di Pusat maka daerah tidak memiliki resiko kerugian atas potensi dispute di arbitrase international (bila pemerintah kalah, resiko atas keuangan pemerintah pusat, dan DBH daerah penghasil tidak terkurangi atas realisasi penjualannya).
Namun demikian, tetap diperlukan peran daerah dalam izin-izin PMA terutama dalam pengawasan bersama, dan aspek local content, tenaga kerja dan standard sosial, serta aspek lingkungan. Atas fakta dan kondisi di atas, maka Pemerintah Aceh melalui ESDM perlu segera melakukan pembenahan khusus terhadap materi surat yang disampaikan oleh Kemendagri diantarnya mengenai pentingnya peran serta keterlibatan publik, khususnya mengenai tata kelola perizinan dan sistem pengawasan dan pembinaan kegiatan pertambangan, termasuk melalui optimalisasi ICT (E-PNBP, MODI dll). Juga mengenai mekanisme monitoring secara partisipatif (Lapor/136, dan pengembangan sistem complain handling/feedback loop mechanism di badan publik).
Penulis adalah Koordinator GeRAK Aceh.
Sumber: AJJN