Setelah Undang-Undang Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak disahkan, pemerintah Indonesia didesak untuk menyusun reformasi pajak dan menguatkan penegakan hukum agar pengampunan pajak tak lagi terjadi di masa mendatang.Selama ini, menurut Direktur Eksekutif Pusat Analisis Perpajakan Indonesia (CITA), Yustinus Prastowo, pemerintah tidak efektif dalam penegakan hukum karena kendala regulasi, administrasi, koordinasi, dan kompetensi.

“Padahal, di dalam perpajakan, kita mengenal daluarsa. Kewenangan Dirjen Pajak memungut pajak atau menetapkan pajak dibatasi lima tahun. Jadi praktis banyak sekali wajib pajak yang tidak bisa diperiksa karena keterbatasan kapasitas yang menyebabkan daluarsa,” ujarnya.

Di samping itu, tambah Prastowo, pemerintah punya keterbatasan akses informasi baik dalam negeri, ke perbankan, maupun ke luar negeri dalam rangka pertukaran data dengan negara lain.

Undang-Undang Tax Amnesty menjadi relevan karena dana triliunan rupiah di luar negeri yang tidak bisa dijangkau pemerintah itu kini bisa didulang. Namun, sebelum masa Undang-Undang Pengampunan Pajak berakhir 31 Maret 2017 mendatang, pemerintah punya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Undang-Undang ini harus yang terakhir. Undang-Undang ini harus ditempatkan sebagai jembatan untuk menuju comprehensive tax reform berupa penguatan sistem perpajakan, peraturan, maupun kelembagaannya. Dalam konteks itu, pemerintah masih punya pekerjaan rumah untuk mewujudkan reformasi pajak dan melakukan penegakan hukum yang kuat dan tegas. Jika pemerintah berhenti pada tax amnesty, ini yang bahaya,” jelas Prastowo.

Bahaya yang dimaksud Prastowo adalah para wajib pajak menjadi semakin leluasa untuk menghindari pajak serta memiliki persepsi bahwa pemerintah lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk menindak mereka.

Demoralisasi
Masalah hukum memang menjadi perhatian sejumlah aktivis antikorupsi setelah Undang-Undang Tax Amnesty berlaku. Maryati Abdullah dari lembaga Publish What You Pay, misalnya. Maryati memandang keinginan pemerintah untuk menambah pemasukan dari pengampunan pajak sejatinya tidak mengindahkan aspek hukum.

“Orang-orang dalam target kasus pidana hukum yang seharusnya dibawa ke peradilan perpajakan, kemudian kasus mereka diputihkan karena membayar sekian persen tarif tebusan, saya meragukan penegakan hukum selanjutnya. Tidak menutup kemungkinan di balik pidana pajak ada pencucian uang,” kata Maryati.

Dia juga menyoroti demoralisasi para wajib pajak dari kelas menengah ke bawah akibat pengampunan pajak orang-orang berduit. “Dalam jangka panjang, pengampunan pajak ini bisa mendemoralisasi kepatuhan dari para pembayar pajak. Karena ternyata negara lebih memfasilitasi orang-orang kaya yang tidak patuh. Menurut saya ini menyakitkan hati publik,” ujarnya.

Beberapa orang yang saya wawancarai di jalan mengamininya. Mereka mengutarakan keprihatinan atas pengampunan yang diberikan pemerintah terhadap warga Indonesia yang menghindari pajak. “Saya karyawan biasa yang setiap bulan dipotong gajinya untuk bayar pajak ke negara. Lalu negara justru mengampuni orang-orang yang mengemplang pajak? Ini tidak adil,” kata Susi, yang ditemui di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat.

Hartanto, yang bekerja di sebuah bank asing, lebih kritis. Menurutnya, tarif tebusan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak sangat kecil dibandingkan dengan aset yang dibawa warga Indonesia ke luar negeri demi menghindari pajak di Indonesia.

“Dengan tarif yang ditetapkan, ibaratnya kita ingin mendapatkan sesuatu yang kecil tapi memberi kelonggaran begitu besar kepada pengusaha yang membawa aset ke luar negeri,” kata Hartanto.

Tambahan pemasukan

Akan tetapi, pemerintah melalui Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menegaskan bahwa tambahan pemasukan dari dana yang didapat dari pengampunan pajak akan sangat berarti bagi anggaran pendapatan negara.

“Dengan adanya tax amnesty maka ada potensi penerimaan yang akan bertambah dalam APBN kita, baik di tahun ini atau tahun-tahun sesudahnya, yang akan membuat APBN kita lebih sustainable. APBN lebih sustainable dan kemampuan pemerintah untuk spending atau untuk belanja juga semakin besar sehingga otomatis ini akan banyak membantu program-program pembangunan tidak hanya infrastruktur tapi juga perbaikan kesejahteraan masyarakat,” kata Bambang.

Dia menjelaskan bahwa tarif uang tebusan tidak sama dengan tarif pajak 30% untuk individu Sebab, tarif pajak normal untuk individu dikenakan terhadap pendapatan, sedangkan yang tarif uang tebusan dalam UU Tax Amnesty dikenakan terhadap aset.

“Juga harus diklarifikasi bahwa tidak semua yang ikut amnesty adalah pengemplang atau wajib pajak nakal,” kata Bambang.

Melalui UU Tax Amnesty, para wajib pajak yang bersedia memindahkan asetnya dari luar negeri akan diberikan tarif tebusan sebesar 2% sampai 5%. Adapun wajib pajak yang mendeklarasikan asetnya di luar negeri tanpa memindahkan aset akan dikenai tarif 4% hingga dan 10%.

Saat Undang-Undang ini berakhir Maret 2017 mendatang, negara diperkirakan akan mendapat Rp165 triliun.
Meski terdapat tambahan dana dari pengampunan pajak, APBN-Perubahan 2016 muncul defisit Rp296,723 triliun atau Rp2,35% dari Produk Domestik Bruto.