Reporter : Achmad | Senin, 13 Mei 2013 18:36:00

Berdasarkan standarisasi laporan keuangan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas Publish What You Pay (PWYP) menilai laporan pembayaran penerimaan negara sektor migas dan pertambangan rancu.

Padahal, kelengkapan informasi dan keakuratan data laporan menjadi titik krusial dari transparansi penerimaan negara. Selain itu keseriusan para pihak dalam menyampaikan laporan keuangan menunjukkan tingkat keinginan para pihak untuk transparan kepada publik.

Koordinator Nasional PWYP Maryati Abdullah mencontohkan, laporan Pajak penghasilan (PPh) badan migas misalnya, sebesar USD 4,579 miliar, sedangkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) hanya melaporkan USD 4,482 miliar. Terdapat selisih angka yang cukup signifikan yang mencapai USD 96.442 juta. Kemudian mengenai pembayaran over lifting migas, pemerintah mencatat penerimaan sebesar USD 796,8 juta, sedangkan KKKS telah menyerahkan USD 766,8 juta. Selisih laporan itu mencapai USD 29,997 juta.

“Perbedaan laporan ini karena pemerintah dan perusahaan menghadirkan basis data yang berbeda. KKKS menggunakan basis volume sedangkan ESDM menggunakan basis cash,” ujar Maryati di Warung Tjikini, Jakarta, Senin (13/5).

Contoh lain pada sektor pertambangan misalnya, Maryati membeberkan PPh badan perusahaan pertambangan batubara yang dilaporkan pemerintah sebesar USD 1,294 miliar, sedangkan pelaku usaha menyampaikannya sebesar USD 1,110 miliar. Artinya masih ada selisih USD 273 miliar. Untuk Pajak Bumi dan Bangunan, pemerintah hanya melaporkan USD 3,358 juta, sedangkan pelaku usaha melaporkan sebesar USD 20,123 juta, sehingga terdapat selisih sebesar USD 16,234 juta.

Board PWYP Sarmin Ginca selaku menambahkan, perbedaan pencatatan penerimaan itu mengakibatkan daerah penghasil migas dan pertambangan dirugikan lantaran berkurangnya dana bagi hasil yang diterima. Dia juga menyoroti laporan CSR yang diduga dilebih-lebihkan sehingga tidak berdampak signifikan ke daerah sekitar perusahaan tersebut.

“Kami minta memperluas komponen aliran penerimaan. Dana keamanan juga perlu dimasukkan, sebagai contoh Freeport yang memberikan dana keamanan ke aparat kepolisian,” ujarnya.

Pelaksanaan transparansi pendapatan industri migas dan pertambangan ini telah diatur dalam Peraturan Presiden nomor 26 tahun 2010.

Berdasarkan aturan tersebut, Maryati menjelaskan pihak pemerintah dan pelaku usaha sepakat untuk membeberkan laporan penerimaan negara pada 2009 terlebih dahulu. Untuk 2010 dan 2011 direncanakan pada akhir tahun ini (2013), baru akan dipublikasikan.

Total tercatat ada 128 perusahaan yang mengalami kasus selisih laporan penerimaan negara. Dengan rincian 57 perusahaan migas, 54 perusahaan batubara, 6 perusahaan tembaga dan emas, 7 perusahaan timah, 2 perusahaan bauksit dan 2 perusahaan nikel.

[noe]

Sumber : merdeka.com