JAKARTA, KOMPAS — Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, pemerintah akan mengubah mekanisme kewajiban pemenuhan kebutuhan batubara dalam negeri atau DMO batubara. Semula jadwal pemenuhan itu tidak ada. Kini setiap eksportir batubara wajib memenuhi ketentuan DMO sebesar 25 persen dari total produksi tahunan setiap mereka hendak mengekspor batubara.

Khusus untuk kebutuhan batubara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), mereka wajib memasok batubara yang sesuai dengan spesifikasi PLTU, yaitu 4.200-5.700 kilo kalori per kilogram (kcal/kg). Harga patokan domestic market obligation (DMO) batubara masih sebesar 70 dollar AS per ton.

”Mekanisme baru ini akan mempermudah pengawasan pemenuhan DMO dan lebih menjamin stok batubara di dalam negeri. Selain itu, tidak ada alasan lagi bagi mayoritas eksportir yang menyatakan tidak bisa memasok batubara kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) karena kalorinya rendah,” kata Lutfi ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (4/1/2022).

Sebelumnya, mengacu kepada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri, persentase penjualan batubara untuk DMO listrik dan bahan baku industri ditetapkan 25 persen dari rencana jumlah produksi batubara tahunan yang disetujui. Spesifikasi acuan batubara untuk kelistrikan adalah pada kalori 6.322 kcal/kg, total kelembaban 8 persen, sulfur 0,8 persen, dan kandungan abu (ash) 15 persen.

Lutfi menambahkan, terdapat 613 eksportir batubara yang terdaftar dan wajib melaksanakan komitmen DMO. Dari jumlah itu, sebanyak 418 perusahaan atau 68,91 persen sama sekali tidak menjalankan komitmen DMO sepanjang 2021. Mereka beralasan kadar kalori batubara berada di bawah spesifikasi batubara untuk PLTU.

Kendati begitu, ada juga perusahaan yang telah memenuhi ketentuan DMO di kisaran 75 persen hingga 100 persen, yaitu sebanyak 30 perusahaan. Bahkan, sebanyak 93 perusahaan telah memenuhi kewajibannya lebih dari 100 persen.

Lutfi juga menyatakan, saat ini sudah ada komitmen sejumlah perusahaan untuk memasok batubara bagi PLN sebanyak 6 juta ton. Jumlah itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan batubara PLTU yang sebanyak 5,1 juta ton pada bulan ini. Namun, pendistribusian pasokan batubara tersebut masih terkendala.

”Kami bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan berupaya memperlancar hambatan logistik tersebut,” kata Lutfi.

Terkait dengan larangan ekspor batubara, pemerintah masih akan melihat perkembangan stok batubara di dalam negeri. Normalisasi (pencabutan larangan ekspor) pasti akan dilakukan, tetapi menunggu hasil pencermatan dan evaluasi atas persoalan tersebut.

Sementara itu, Kementerian BUMN berkomitmen untuk memperlancar pasokan batubara di dalam negeri. Dua langkah utama akan ditempuh, yaitu memperbaiki kontrak jangka panjang dan mengurai hambatan logistik.

Komitmen tersebut merupakan hasil rapat koordinasi Kementerian BUMN dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, Kejaksaan Agung, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Senin (3/1) malam. Pertemuan tersebut dilakukan setelah Presiden Joko Widodo memberikan pengarahan terkait prioritas untuk mendahulukan pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri sebelum mengekspornya.

Alat berat mencampur batubara dengan cangkang sawit di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Senin (11/10/2021). PLTU Sintang salah salah satu lokasi yang memiliki ketersediaan bahan bakar co-firing dalam hal ini cangkang sawit yang besar. Penghematan bahan bakar batu bara dapat dihemat hingga 10 persen dengan metode co-firing menggunakan cangkang sawit. KOMPAS/AGUS SUSANTO

Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, Kementerian BUMN mendapat mandat dari Presiden untuk merampungkan persoalan ketidakpastian kebutuhan energi, terutama batubara, di dalam negeri. Salah satu upaya yang akan dilakukan adalah memperbaiki kontrak jangka panjang kebutuhan batubara domestik.

”Kami juga akan memperbaiki sistem logistik dan infrastruktur untuk memastikan kebutuhan batubara dalam negeri terpenuhi,” ujarnya melalui siaran pers.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, kebutuhan batubara dalam negeri diperkirakan meningkat pada 2022 menjadi 190 juta ton. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan kuota DMO batubara pada 2021 yang sebanyak 137,5 juta ton. Target produksi batubara pada tahun ini juga lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Produksi batubara pada 2022 ditargetkan di kisaran 637 juta ton hingga 664 juta ton, di atas target 2021 yang sebanyak 625 juta ton.

Erick juga menuturkan, dalam rapat koordinasi itu terungkap, pasokan batubara pada November 2021 terganggu badai La Nina yang menerjang perairan Kalimantan. Faktor ini menyebabkan realisasi produksi batubara hingga awal Desember baru mencapai 560 juta ton atau sekitar 89,6 persen dari target.

Dalam rapat bersama itu, tambah Erick, juga disepakati, Kementerian ESDM akan mengeluarkan perubahan kebijakan DMO yang bisa ditinjau per bulan. Selain itu, para produsen batubara yang tidak menepati ketentuan DMO akan dikenai penalti tinggi, bahkan dicabut izin usahanya.

Pilihan rasional

Secara terpisah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho berpendapat, pelaksanaan kebijakan DMO sektor kelistrikan dan industri merupakan pilihan yang lebih rasional dalam mengendalikan produksi dibandingkan tetap melepas produksi batubara ke pasar ekspor tanpa pembatasan. Tujuan dan sasaran DMO lebih atraktif secara ekonomi karena memiliki rentang kendali kebijakan dan permintaan industri dalam negeri yang lebih mudah direncanakan ataupun dikembangkan.

”Pemerintah cukup meningkatkan pengawasan pelaksanaan DMO dengan regulasi yang konsisten dan sanksi tegas. Pengungkapan nama perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban DMO ke publik dapat dilakukan untuk mendorong kepatuhan pemenuhan DMO,” ujarnya.

Dari sisi PLN, tambah Aryanto, juga perlu melakukan perbaikan. Misalnya, membuat early warning system yang memungkinkan pengawasan kondisi ketahanan suplai batubara jauh-jauh hari. Ini untuk mencegah agar peristiwa pelarangan ekspor batubara 1-31 Januari 2022 tidak terulang.

Ketua Umum Asosiasi Pemasok Batubara dan Energi Indonesia (Aspebindo) Anggawira saat dihubungi secara terpisah berpendapat, selain masalah disparitas harga DMO batubara dengan harga batubara acuan yang tidak terhindarkan, masih ada sejumlah persoalan di bisnis suplai-permintaan batubara untuk kelistrikan. Misalnya, kebijakan PLN dinilai tidak mengutamakan kontrak jangka panjang, seperti letter of intent mitra PLN yang ada sekarang belum dinaikkan menjadi kontrak.

Anggawira menyarankan ketentuan pembayaran perlu dipertimbangkan agar ada perbaikan. Perusahaan tambang batubara yang ingin menaikkan suplai ke PLN perlu diberikan insentif. Dia mencontohkan, bentuk insentif bisa berasal dari mekanisme pembayaran, pajak, atau PLN menerbitkan surat kredit berdokumen dalam negeri.

Pada Senin lalu, Presiden Joko Widodo meminta BUMN beserta anak perusahaannya dan perusahaan swasta yang bergerak di bidang pertambangan, perkebunan, ataupun pengolahan sumber daya alam lainnya memprioritaskan kebutuhan dalam negeri sebelum mengekspor.

Sumber: Kompas


Bagikan