Pemerintah menegaskan komitmen untuk mencegah dan memberantas korupsi serta upaya tindak pidana pencucian uang dengan memerangi penyalahgunaan kepemilikan perusahaan penerima manfaat atau beneficial ownership.

“Salah satu wujud komitmen tersebut adalah dengan memerangi penyalahgunaan peran perusahaan dan perwaliannya sebagai sarana melakukan korupsi serta meningkatkan transparansi beneficial ownership dari aktivitas perekonomian,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro, dalam Global Conference on Beneficial Ownership di Jakarta, Senin (23/10).

Bambang menuturkan, transparansi beneficial ownership menjadi isu yang sangat strategis dan lintas sektor, terutama terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi, tindak pidana pencucian uang, pendanaan terorisme, penerimaan negara dari perpajakan, industri ekstraktif serta investasi.

Khusus di industri ekstraktif atau industri yang yang bahan bakunya diperoleh langsung dari alam, terdapat standar global bagi transparansi penerimaan negara dari sektor ekstraktif yang dikenal dengan Extractive Industries Transparency Inititatives (EITI). Di Indonesia, prakarsa transparansi penerimaan negara dari industri ekstraktif tersebut dimulai pada 2007 ketika menyatakan dukungan bagi EITI.

Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang diperoleh dari industri ekstraktif, ditandatangani pada 2010. Sebagai negara anggota EITI, Indonesia telah mempublikasikan peta jalan (roadmap) transparansi beneficial ownership pada awal 2017. Pada 2020, Indonesia harus dapat mempublikasikan nama, domisili, dan kewarganegaraan orang atau sekelompok orang yang mengontrol perusahaan-perusahaan industri ekstraktif dalam Laporan EITI.

Keterbukaan beneficial ownership sendiri merupakan bagian dari kerangka prinsip anti Penggerusan Pendapatan dan Pengalihan Keuntungan atau yang dikenal dengan Base Erosion and Profiit Shifting (BEPS). Dorongan keterbukaan informasi ini terjadi hampir di seluruh dunia terutama negara-negara maju untuk mengejar para wajib pajak mereka yang menaruh serta mengalihkan kewajiban pajaknya di negara-negara suaka pajak (tax heaven).

Tren global berubah sehingga seluruh negara sepakat melawan praktik penghindaran dan penggelapan pajak yang banyak dilakukan di negara suaka pajak. Hal yang sama juga dilakukan Indonesia di mana sebelumnya telah berkomitmen dalam pertukaran informasi otomatis (automatic exchange of information/AEoI) mulai September 2018.

Bambang menambahkan, Indonesia sendiri saat ini tengah mendorong sistem data yang lebih baik, antara lain basis data beneficial ownership, data interfacing, data-data sumber daya alam, pembenahan data-data keuangan dengan data perpajakan, lalu juga ada kebijakan satu data dan satu peta.

“Pemerintah menyadari bahwa data beneficial ownership, data sumber daya alam, data peta, dan data pajak yang baik, merupakan beberapa prasyarat untuk mempercepat penggunaan pendekatan evidence based policy dalam pengambilan kebijakan dan prioritas pembangunan,” ujar Bambang.

Evidence based policyadalah proses pengambilan kebijakan yang dilakukan berdasarkan kajian bukti yang tepat, bukan berdasarkan tekanan politik atau naluri belaka. Bambang menekankan pentingnya transparansi kepemilikan perusahaan penerima manfaat atau beneficial ownership bagi perkembangan investasi.

“Transparansi beneficial ownership sangat erat kaitannya dengan investasi. Kepercayaan investor terhadap pasar finansial sangat bergantung pada ketersediaan data yang akurat, yang memberikan transparansi terkait beneficial ownership dan struktur kontrol dari suatu perusahaan terbuka,” ujar Bambang.

Bambang menuturkan, pentingnya transparansi tidak hanya untuk perusahaan terbuka, tetapi juga untuk perusahaan tertutup, terutama ketika bertransaksi dengan perusahaan asing yang memiliki standar compliance tentang transparansi informasi mengenai beneficial ownership dari mitra kerjanya.

Upaya pemerintah saat ini untuk mendorong kemudahan berinvestasi sekaligus menumbuhkan kepercayaan bagi investor, lanjut Bambang, juga harus dibarengi dengan upaya menghadirkan investasi yang berintegritas sekaligus berkualitas.

Ia mengingatkan, kemudahan berinvestasi jangan sampai dijadikan ruang bagi pelaku kejahatan korupsi untuk mengambil keuntungan pribadi. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mendorong pengungkapan siapa sebenarnya pemilik sesungguhnya dari suatu perusahaan yang akan melakukan investasi.

“Transparansi benefecial ownership dapat memberikan manfaat lebih jauh bagi perusahaan yang beroperasi di Indonesia, termasuk mengurangi risiko finansial,” ujar Bambang.

Staf Ahli bidang Kelembagaan Bappenas, Diani Sadia Wati, menambahkan dalam waktu dekat pemerintah akan menerbitkan Perpres terkait kepemilikan perusahaan penerima manfaat atau beneficial ownership. Saat ini, proses pembuatan perpres sedang dalam tahap finalisasi tingkat pemerintah.

“Kalau dari sisi Perpres-nya ini sebenarnya isinya nanti tentu ada ketentuan dengan langkah-langkah dari peraturan yang tadi, ya tidak hanya industri ekstraktif tapi juga lebih umum, lebih mencakup bidang-bidang pendanaan terorisme, lalu pencucian uang, karena memang ini saling berkaitan dengan satu sama yang lainnya,” papar Diani.

Sumber: Hukumonline


Bagikan