JAKARTA, KOMPAS — Selain pembukaan secara bertahap ekspor batubara, pemerintah juga menyiapkan skema baru dalam pemenuhan kebutuhan batubara dalam negeri dengan membentuk badan layanan umum atau BLU untuk pungutan batubara. Pembentukan badan yang sedang dimatangkan ini diharapkan bisa mengatasi masalah pasokan batubara untuk kebutuhan dalam negeri dalam jangka panjang.

Rencana pembentukan BLU tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam siaran pers, Senin (10/1/2022). Apabila BLU terbentuk, maka PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) membeli batubara sesuai dengan harga pasar yang berlaku. Apabila harga batubara di pasar lebih tinggi ketimbang harga pemenuhan kebutuhan dalam negara (domestic market obligation/DMO) batubara yang ditetapkan 70 dollar AS per ton, maka selisihnya akan dibayarkan oleh BLU menggunakan dana yang dihimpun dari perusahaan tambang batubara.

Namun, belum ada gambaran detail mengenai mekanisme yang akan dijalankan BLU tersebut. Pembahasan tentang kebijakan DMO batubara dan pembentukan BLU tersebut masih terus berlangsung.

“Kami masih menunggu pertemuan lebih lanjut dengan Menko Marinves untuk pembahasan komprehensif terkait hal tersebut,” ujar Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sunindyo Suryo Herdadi, saat dikonfirmasi, Selasa (11/1).

Terkait rencana pemerintah membentuk BLU untuk pungutan batubara, Kepala Departemen Riset Industri dan Regional Kantor Ekonom PT Bank Mandiri (Persero), Tbk Dendi Ramdani, mengatakan, pembentukan BLU merupakan ide positif yang bersifat jangka panjang. Realisasinya butuh waktu 1-2 tahun karena pemerintah mesti membentuk organisasi dan mengeluarkan peraturan sebagai landasan hukum. Tantangan keberadaan BLU adalah pengelolaan uang pungutan.

Adapun solusi jangka pendek untuk pasokan batubara ke pasar domestik, imbuh Dendi, adalah dengan penjadwalan pengiriman suplai DMO. Ketika perusahaan tambang batubara akan mengekspor, kewajiban pemenuhan DMO mesti dipenuhi dulu. Selain disparitas harga DMO batubara dengan harga pasar internasional, seretnya pasokan batubara ke pasar domestik lantaran juga disebabkan pemakaian listrik rendah dan ada masalah perhitungan di PLN.

“Pada tahun 2020, target DMO batubara 155 juta ton dan realisasinya 131,9 juta ton. Kemudian, tahun 2020, target DMO sebesar 137,5 juta ton dan realisasinya 121,3 juta ton. Dugaan saya ada berbagai faktor penyebab di balik hal itu,” kata Dendi.

Dari sisi pelaku usaha, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, saat dikonfirmasi, mengatakan, pihaknya menyambut baik rencana pemerintah untuk membentuk BLU. Mengenai detail bentuk dan cara kerja BLU, asosiasi belum bisa berkomentar apapun. “Kami sekarang masih fokus kepada pembukaan ekspor batubara secara bertahap,” ucapnya.

Konsistensi

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, Mulyanto, berpendapat, pemerintah mesti mengkaji rencana pembentukan BLU untuk pungutan batubara dengan cermat. Pasalnya, pembentukan BLU berarti menambah pembentukan lembaga baru dalam rantai pasok batubara. Ia khawatir skema BLU tidak berjalan efektif.

“Saya cenderung tetap menggunakan skema DMO batubara yang ada sembari terus dilakukan perbaikan-perbaikan. Jalankan saja kebijakan DMO batubara secara konsisten dan kekurangannya disempurnakan bertahap,” ucap Mulyanto.

Pemuatan batubara ke tongkang di Pelabuhan PT Tunas Inti Abadi di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Rabu (26/9/2018). Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, batubara tersebut juga diekspor ke India, China, Thailand, Filipina, dan Vietnam.

Mulyanto sepakat perlu dibuat kontrak jangka panjang untuk pembelian batubara oleh PLN. Selain sebaiknya PLN membeli langsung batubara tanpa melalui trader (pedagang), sistem logistik PLN juga perlu pembenahan agar pembelian batubara menjadi lebih efisien. “Jangan terus gonta-ganti kebijakan. Lebih baik dibenahi dulu apa yang sudah ada,” katanya.

Keraguan terhadap pembentukan BLU sebagai solusi mengatasi masalah pasokan batubara ke pasar domestik juga disampaikan Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho. “Pemerintah semestinya membuat solusi pengiriman suplai batubara secara berjadwal jangka menengah-panjang. Apabila letak masalahnya di kelalaian pengawasan pemenuhan DMO batubara, pemerintah seharusnya meningkatkan pengawasan,” ujarnya.

Selain itu, Aryanto menilai ada persoalan paradigma di balik ketidaklancaran suplai batubara ke pembangkit listrik PLN, yaitu batubara masih dianggap sebagai komoditas penyumbang devisa. Dengan paradigma seperti itu, ada kecenderungan pemenuhan pasar ekspor diprioritaskan terlebih dahulu sebelum menjualnya ke pasar dalam negeri. Apalagi di saat harga batubara sedang tinggi.

Sumber: Kompas