Sebagai negara anggota Extractive Industry Transparency Initiative (EITI), Pemerintah Indonesia memperkuat komitmennya dalam membuka data beneficial ownership (BO) untuk memerangi korupsi, pencucian uang, penghindaran pajak, dan pendanaan terorisme. Hal ini disampaikan oleh Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro dalam pembukaan Konferensi Global mengenai Beneficial Ownership Transparency yang berlangsung 23-24 Oktober lalu di Jakarta.

Konferensi global ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah Indonesia dalam memerangi korupsi serta menjalankan Automatic Exchange of Information (AEoI) yang sebelumnya telah disampaikan dalam 2016 Anti-Corruption Summit di London.

“Walaupun Indonesia masuk dalam 15 negara dengan GDP terbesar di dunia, namun tax ratio Indonesia masih sangat rendah, hanya lebih sedikit dari 11%. Bahkan dibandingkan dengan negara tetangga di ASEAN, juga dibandingkan negara-negara anggota OECD, ini masih sangat rendah. Salah satu alasan mengapa tax ratio masih rendah adalah karena kita tidak bisa melacak aset-aset yang berada di luar negeri. Karenanya, penting untuk mensukseskan keterbukaan BO,” papar Bambang.

Fredrik Reinfeldt, Kepala EITI Internasional dalam sambutan pembukanya menyampaikan bahwa konferensi global ini merupakan milestone dalam perjuangan bersama melawan korupsi. Terkuaknya Panama Papers menjadi capaian yang sangat penting dalam membuka data BO.

Pentingnya keterbukaan data BO juga dikemukakan oleh Yemi Osinbajo, Wakil Presiden Nigeria. Negara-negara Afrika kehilangan USD 50 milyar per tahun akibat aliran uang haram dari perusahaan-perusahaan anonim. Kerahasiaan di sektor ini membuat nyaman koruptor dan para kriminal. Untuk itu, mengungkap data perusahaan anonim merupakan cara yang efektif untuk melawan kasus aliran uang haram, korupsi, pencucian uang, dan pendanaan teroris.

“Ini bukan hanya masalah negara berkembang, namun menjadi persoalan global, yang membutuhkan strategi bersama untuk penyelesaian permasalahan ini,” pungkas Yemi.

Hadir sebagai panelis dalam plenary session “Ending Company Anonymity, The Key Fighting Corruption” adalah Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Menurutnya, sebagai negara yang tidak menganut sistem common law, Indonesia tidak membedakan antara legal ownership dan BO. Namun, sejauh ini Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri No 48 tahun 2017 tentang Pengawasan Pengusahaan pada Kegiatan Usaha di Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, dimana regulasi ini mewajibkan perusahaan tambang untuk membuka informasi tentang eksekutif, komisaris, dan share holder perusahaan.

Di sesi yang berbeda, Yanuar Nugroho, Deputi II Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Sosial, Ekologi, dan Budaya Strategis, Kantor Staf Presiden, menyampaikan bahwa dalam penerapan keterbukaan BO ini Indonesia akan menghadapi dua tantangan. Pertama, bagaimana mengintegrasikan data dalam format interchangeable yang akan menjadi pekerjaan utama dari inisiatif BO. Kedua, bagaimana melakukan verifikasi data BO yang sudah dibuka.

“Per 20 Oktober 2017, peraturan tentang BO sudah diparaf oleh 6 Menteri terkait. Payung hukum ini diharapkan dapat menjawab tantangan dalam penerapan BO,” ujar Yanuar. Ditambah dengan sudah terbentuknya peta jalan keterbukaan BO, diharapkan tidak lama lagi pemerintah sudah bisa memulai membangun data BO.

Konferensi global ini merupakan konferensi global pertama yang menempatkan transparansi BO sebagai fokus pembahasan. Hadir dalam konferensi ini adalah menteri, perwakilan pelaku usaha, masyarakat sipil juga akademisi dari 52 negara anggota EITI. [AN]