JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta tegas menegakkan aturan pemenuhan kebutuhan dalam negeri batubara dan pemberian sanksi terhadap perusahaan yang tak memenuhi ketentuan tersebut. Sanksi sebaiknya tak cukup dengan denda, tetapi juga bisa berupa pelarangan ekspor hingga pencabutan izin operasi. Ketegasan pemerintah diperlukan untuk mencegah krisis pasokan batubara untuk kebutuhan di dalam negeri terulang.

Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengatakan, wacana pembentukan badan layanan umum (BLU) yang dilontarkan pemerintah dipandang kurang tepat. BLU akan menarik pungutan kepada perusahaan yang mengekspor batubara. Dana hasil pungutan dipakai untuk menutup selisih harga batubara untuk kebutuhan dalam negeri dengan harga pasar.

”Skema BLU dinilai terkesan mengemis kepada pengusaha. Saya mengusulkan agar sanksi diperberat bagi pengusaha yang tak memenuhi kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) batubara. Tidak sekadar denda, tetapi misalnya hingga pencabutan izin produksi atau larangan ekspor,” ujar Fahmy dalam diskusi daring bertajuk ”Krisis Batubara Dalam Negeri: Quo Vadis Tata Kelola Batubara”, Rabu (26/1/2022).

Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia Aryanto Nugroho menambahkan, kegaduhan terkait batubara di Indonesia terus berulang, bahkan sejak 10 tahun lalu. Ia menilai ada masalah dalam rantai pasok batubara untuk kebutuhan pembangkit listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), seperti disparitas harga, ketidakpatuhan perusahaan, hingga lemahnya pengawasan pemerintah.

”Perusahaan yang tidak mematuhi DMO itu sering terjadi. Bukan cuma sekali, tetapi sejak 2018. Namun, pemerintah inkonsisten. Bahkan, ada keputusan menteri yang menghapus sanksi karena pandemi Covid-19. Akibatnya, perusahaan seolah berpikir tidak akan dikenai sanksi apabila tidak patuh (aturan),” tuturnya.

Sebelumnya, pemerintah melarang ekspor batubara untuk periode 1-31 Januari 2022 lantaran ada krisis pasokan untuk kebutuhan PLN.

Peresmian terminal batubara PLTU Jawa 7, Jumat (5/7/2019), di Serang, Banten. Unit pertama PLTU berkapasitas 2×1.000 MW tersebut dutargetkan beroperasi Oktober tahun ini.

Efisiensi

Sementara itu, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Rabu (26/1), Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Darmawan Prasodjo menuturkan, kondisi ketersediaan batubara untuk kebutuhan pembangkit listrik sampai saat ini aman, dengan stok untuk 15-20 hari. Sistem pemantauan digital yang terintegrasi pun telah diterapkan.

Ia juga telah menindak tegas pemasok yang tidak memenuhi kontrak. “(Kepada yang tak patuh), kami melakukan terminasi kontrak dan (memasukkan ke dalam) daftar hitam sehingga pemasok tersebut otomatis tidak bisa lagi ekspor,” ujar Darmawan.

Pihaknya juga memperbaiki ekosistem logistik dan rantai pasok PLN dengan menjadi lebih efisien dan sederhana. Selain itu, dilakukan pula percepatan pembayaran tagihan transportasi dan pasokan batubara. Untuk transportasi dari sebelumnya 60-120 hari kerja menjadi maksimal 7-14 hari, sedangkan pasokan batubara, dengan sistem digital, dari 90 hari menjadi 30 hari.

Darmawan memastikan krisis batubara tidak akan terulang. “Banyak sekali lesson learned dari berbagai dimensi dan aspek. Pemerintah bertindak cepat, mengubah (satu) kebijakan menjadi kebijakan yang kuat. Bagaimana pengadaan (batubara) ke depan tak boleh terfragmentasi, tetapi harus terkonsolidasi,” ucaonya.

Sementara dalam proses penghentian operasi PT PLN Batubara, lanjut Darmawan, PLN akan mengaudit perusahaan tersebut secara komprehensif. Ia juga memastikan pembubaran PLN Batubara sesuai dengan regulasi yang berlaku. Adapun kontrak batubara ke depan akan tersentralisasi.

Sumber: Kompas